Share

Mencari dirinya

Kebiasaannya di pagi hari, kini berubah bagi seorang Lily. Dulu, ia sangat senang sekali membuat beraneka macam sarapan kesukaan Rayyan. Menyiapkan kemeja kerjanya, membersihkan sepatunya hingga memakaikan dasi pun ia lakukan setiap hari. 

Sejak satu bulan lalu, semenjak ia melepas status sebagai istri sah Rayyan kebiasaannya di pagi hari adalah memandangi foto mendiang ayahnya yang terpajang rapi dalam bingkai pigura emas. Ia merindukan ayahnya. 

Ia belum siap untuk ditinggal, namun takdir seolah memaksanya. Lily selalu menggenggam kalung pemberian ayahnya dua tahun lalu sebelum pernikahannya dengan Rayyan. Kalung emas putih dengan bandul bintang dan bulan berukirkan namanya di salah satu bandul. 

Kata ayahnya, bandul itu mempunyai fiosofi. Jadilah seperti bintang, walau letaknya jauh namun sinarnya terang hingga ke bumi dan jadilah bulan yang tetap setia mengitari bumi walau kadang terabaikan. 

"Masih memikirkan om Herman?" suara serak Tya mengejutkan Lily yang masih menggenggam kalung sambil menatap bingkai foto ayahnya. Ia menoleh dan mengangguk. "Ikhlaskan, jangan sedih nanti om Herman pasti ikutan sedih."

"Aku tidak sedih kok. Hanya kangen saja." 

Tya mengusap pelan lengan Lily dan mengajaknya keluar kamar, sudah waktunya sarapan. Lily pun mengikuti Tya dan ikut duduk menikmati sarapan bergizi yang sahabatnya buat.

"Hari ini kamu mau ikut ke kafe?" Lily mengangguk. Wajahnya tersenyum bahagia, karena sudah lama ia tak ikut menemani sahabatnya menjual aneka makanan dan minuman. "Butik kamu bagaimana?"

"Sudah ada yang urus. Besok saja aku kesana," jawab Lily. Di tangannya sudah ada satu sendok bubur kesukaan yang siap ia lahap. 

"Tapi besok jadwalnya cek ke dokter kandungan. Nanti biar aku saja yang antar, sepertinya Bagas tidak bisa." Tya membuka ponsel dan membuka kalender. Ia mengangguk, menggumam sebentar dengan suara lirih.

"Bagas kemana?" tanya Lily penasaran. Pasalnya, sudah dua hari ini ia tak melihat Bagas bersliweran di kafe atau rumah Tya. 

"Pergi ke luar kota. Katanya, dia mau kasih surprise untuk kamu. Nanti, kalau dia pulang kamu pura-pura kaget ya," saran Tya yang diangguki oelh Lily. Sahabatnya memang senang mengerjai Bagas.

"Iya kah? Kok surprise untuk aku, bukannya untuk kamu?" sindir Lily yang terasa seperti ledekan. Tya menghentikan acara makannya. Wajahnya tegang seperti ada sesuatu yang ia pikirkan. Lily merasa tak enak lalu mengoreksi ucapannya. "Maksud aku, siapa tahu kejutannya ternyata untuk kamu."

Lily tersenyum hingga terlihat seluruh giginya yang putih. Sebenarnya Tya tidak marah, hanya saja ia kesal dengan sikap Lily yang tampak berpura-pura tegar dan tak menyukai sosok Bagas. 

"Ly, sampai kapan kamu mengelak? Aku sudah katakan berkali-kali kalau aku tak menyukai Bagas. Sebaliknya, Bagas menyukai kamu Lily. Kembalilah kepada dia seperti dua tahun yang lalu. Dia masih menunggumu." Tya menggenggam tangan Lily yang mulai menunduk menghindari tatapan Tya. Tangannya gemetar, begitu pula bahunya. Napasnya terdengar naik turun dengan derunya yang sesak. 

"Bagas berhak dapat wanita yang lebih baik dari aku, Tya."

"Kalau dia maunya itu kamu, bagaimana? Please, lupakan masa lalu kamu dengan pria brengsek tidak punya otak itu," ujar Tya emosi.

Lily menimpali," Tapi dia adalah ayah dari anakku."

Tya menghela napas kesal. Ia berdiri dari duduknya dan menyambar piring yang masih menyisakan sepertiga bubur yang belum ia habiskan. Moodnya kembali turun tapi ia tak bisa melampiaskan. Lily masih sangat sensitif membahas perihal asmara dan hubungan dengan pria baru.

"Aku mau mandi. Kamu tunggu saja di teras." 

Tya meninggalkan Lily yang masih duduk di meja makan dengan rasa bersalah yang besar. Ia telah membuat sahabat baiknya kecewa. Ia paham sepenuhnya apa yang dibicarakan, namun ia juga tak dapat mengelak bahwa dalam hatinya masih tersisa sedikit rasa cinta untuk mantan suaminya. 

Suasana kafe milik Tya cukup ramai. Walaupun ukurannya tak terlalu besar, nuansa khas anak muda yang dibawanya bisa membuat banyak pelanggan datang. Khususnya mahasiswa. 

Lily yang datang hanya untuk melihat, kini ikut membantu sahabatnya meracik minuman dan terkadang ikut melayani mesin kasir. Ia sudah terbiasa. Dulu, saat pertama kali Tya membuka kafe ini dialah orang pertama yang membantunya. 

"Selamat datang di M kafe. Mau pesan apa kak?" sapa Lily dengan suara merdunya yang khas. Senyum manisnya terurai lembut di wajahnya. 

Satu pelanggan yang memang sering datang ke kafe Tya, memesan makanan dan minuman kesukaannya. Ia terkejut melihat Lily yang sangat asing terlihat di kafe ini. 

"Mbaknya baru kerja disini?" tanyanya. Tangannya menunjuk Lily, membuat wanita itu mengangguk disertai senyuman ramahnya. 

"Iya, saya baru disini." 

"Boleh kenalan?" 

Lily membelalakkan matanya. Pasalnya, yang mengajaknya berkenalan bukanlah pelanggan yang memesan tadi, tapi seseorang yang berdiri di belakang pelanggan itu sambil melambaikan tangannya. 

"Abi?" 

Lily terburu-buru menyelesaikan pesanan dan menitipkan kasir pada salah satu staf disana. Wajahnya semakin sumringah melihat sosok pria yang tadi menyapanya. Lily masih ingat dengan Abizar, salah satu sepupu Rayyan yang tinggal di Surabaya. Entah harus menangis atau bahagia, ia bisa bertemu dengannya di tempat ini.

"Apa kabar, Lily?" Abi mengulurkan tangannya, Lily menyambutnya. 

"Baik. Kamu apa kabar?" 

Abi mengajak Lily duduk di salah satu kursi kafe. Ia ingin bicara banyak pada Lily yang sudah lama tak ia temui. Abi bersyukur mantan istri sepupunya itu terlihat cantik dan segar. 

"Aku, baik. Aku cari kamu ke setiap tempat, tapi kamu tidak pernah ada. Kamu jarang ke butik?" tanya Abi. Sesungguhnya, ia sedikit curiga melihat perut Lily yang menonjol di balik dress longgarnya. Perawakan tubuh Lily pun semakin terlihat berisi. 

"Iya, sangat jarang."

Abi merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu undangan yang nampak rapi. Warnanya putih dan ada hiasan pita di ujungnya. Seketika jantung Lily berdetak kian cepat hampir membuat tubuhnya jatuh karena terasa hingga ke luar. 

"Ini, surat undangan dari Rayyan. Dia akan menikah Minggu depan. Tadi, dia suruh aku ke butik kamu tapi karena kamu tidak ada akhirnya aku kesini. Ingatanku cukup besar untuk mengingat bahwa kamu pernah ajak aku hang out di kafe ini setelah aku putus cinta," ujarnya sambil menunjukkan kartu undangan itu.

"I-ini..." Lily menaikkan wajahnya lalu menatap Abi dengan mata sendunya. 

"Maafkan kelakuan Rayyan, ya. Aku dan keluarga besar Rahadirja sebenarnya marah besar atas perlakuan dia terhadapmu. Paman, sampai memberi ultimatum padanya namun tak digubris. Sekarang mereka lepas tangan," lanjut Abi. 

Lily menarik menyambar undangan itu dan membuka lembarannya. Perlahan ia membaca nama Rayyan bersanding dengan nama Nayya. Secepat kilat ia menutupnya setelah butiran bening jatuh menuruni pipinya yang lembut. Giginya bergemeletuk dan tangannya mengepal kuat menahan kesal. Namun detik selanjutnya ia tersenyum. Senyuman yang penuh paksaan.

"Kalau tidak ada halangan mungkin aku akan datang. Terima kasih sebelumnya." Lily mengambil undangan itu dan menggenggamnya erat.

"Jika kamu tidak kuat, jangan datang. Atau kalau kamu mau, jadi pasangan aku satu hari juga tidak masalah," ujar Abi memamerkan lengannya lalu menimpali lagi," Lengan aku siap untuk menggandeng kamu."

Lily tersenyum. Abi memang seorang yang supel dan humoris. Sering Abi menghibur Lily saat sedang sedih bahkan bertengkar hebat dengan Rayyan saat berselisih. Sayangnya, Lily kehilangan sosok Abi saat pria itu memutuskan membantu perusahaan ayahnya disana. Lily merasa kehilangan salah satu orang yang menyemangatinya.

"Nanti pacar kamu cemburu."

"Kata siapa? Aku masih single. Kalau kamu mau, boleh daftar," celetuknya iseng. 

Ternyata, celetukan itu membuat seseorang yang tadi berdiri di meja pantry geram. Kini orang itu berjalan mendekati meja tempat Lily dan Abi duduk berbincang. 

"Kamu sepupunya Rayyan kan?" Abi menoleh, mengernyitkan dahinya sembari mengingat siapa wanita yang baru saja menegurnya. "Kenapa kesini?"

"Iya. Oh, ini mau berikan undangan untuk Lily. Terserah mau datang atau tidak, yang penting amanah sudah dijalani," ucapnya polos. 

Tya menyambar undangan itu dan membacanya. "Oh, si brengsek itu akan menikah? Luar biasa. Lily, kamu datang saja bawa Bagas dan pamerkan sama tamu undangan disana."

Lily menggelengkan kepalanya lalu berkata," Bagas bukan barang mainan. Biarlah, aku datang sendiri jika memungkinkan."

Abi baru ingat. Bagas yang Lily dan sahabatnya ini katakan adalah Bagas mantan kekasihnya sebelum Lily menikah dengan Rayyan. Kabarnya, ia juga masih menunggu status Lily yang saat itu masih menjadi istri Rayyan. 

"Bagas yang kerja di biro hukum?" tanya Abi. Kedua wanita di depannya menoleh dan mengangguk bersamaan. 

"Kamu kenal?" 

"Ehmm..pernah ketemu satu dua kali saat aku ke kantornya. Waktu urus surat perpindahan ahli waris." Abi ingat, saat itu ia berbincang dengan Bagas. Bahkan pernah makan siang bersama. Dari raut wajahnya jelas terlihat jika ia masih mencintai Lily. 

Apakah penantiannya kali ini membuahkan hasil? Abi cemas. Bahkan setelah berpisah dan resmi menjanda pun Lily tetap banyak yang mengincar. Bodoh sekali Rayyan yang melepas Lily. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status