Share

Menginginkan semuanya

Nayya mendumal. Pagi ini ia sedikit kecewa dengan calon suaminya yang menyuruhnya bertandang ke rumah orangtuanya. Pernikahan mereka tinggal menghitung hari. Satu Minggu dari sekarang tepatnya. Rencananya, pernikahan ini akan diadakan secara pribadi tanpa keluarga dan teman yang tahu. Namun, Nayya selalu merengek setiap malam. Ia merayu Rayyan hingga akhirnya pria berstatus duda itu luluh. 

Alasan Nayya mendumal adalah karena ia datang bertandang sendiri tanpa ditemani oleh Rayyan. Nayya tahu, pastinya ada konsekuensinya jika pernikahan dilaksanakan terbuka. Salah satunya ini, pihak keluarga yang akan ikut campur.

"Kamu tidak datang ke rumah orangtuamu? Aku takut kesana sendiri," rayu Nayya. Tangannya mengusap pinggiran lengan jas Rayyan. Bibirnya mencebik lucu dengan pipi yang menggembung.

Rayyan menoleh. Masih membereskan dasinya, ia merapikan semuanya sendiri. Nayya, bahkan tidak ada kesadaran untuk membantunya. 

"Nanti aku pulang cepat. Hari ini ada rapat dengan departemen marketing. Ada kesalahan mingggu lalu yang ia belum sempat diperbaiki." Rayyan mengecup kening Nayya lalu beranjak keluar meninggalkannya. 

Nayya mendengus sebal. Pertemuannya dengan keluarga Rayyan membuatnya pusing kepala. Waktu dulu saja sebelum Rayyan dijodohkan dengan Lily, ibu Rayyan tak menyukai dirinya. Mengancamnya bahkan hampir pernah mencelakai dirinya. Hanya saja Nayya bertahan karena janji yang Rayyan berikan padanya.

Selepas kepergian Rayyan ke kantor, Nayya bersiap juga untuk pergi ke rumah calon mertua. Berkali-kali ia mematut diri di depan cermin tapi tetap saja terasa ada yang kurang. Bukan karena wajahnya, tapi penampilan dan pakaian yang ia pakai. 

"Aku tidak punya dress, aku harus pakai apa? Lagipula, kenapa sih Rayyan harus meladeni keinginan orangtuanya?" gumam Nayya. 

Nayya memutar otak pintarnya. Pikirannya mengajak langkahnya berjalan menuju kamar lantai bawah tempat Lily dulu tinggal. Ia masuk dan membuka pintu lemari Lily yang terlihat berdebu. Matanya membelalak senang, seperti mendapat undian. Bibirnya tersenyum melihat apa yang ia dapatkan dari isi lemari tersebut.

"Wah, masih ada pakaian Lily. Aku harus coba." 

Nayya menyambar satu dress berbahan satin lembut berwarna hijau tosca. Dress cantik selutut dengan lengan pendek yang terlihat elegan. Ia menyimpulkan bahwa ini adalah dress mahal, terlihat dari bahannya yang terlihat mewah.

Nayya mematut kembali dirinya di depan cermin. Menggoyangkan dress itu lalu tersenyum.

"Ternyata aku lebih cantik dari Lily."

Setelah persiapan selesai, ia pun berangkat menuju mansion keluarga Rahadirja. Keluarga yang terkenal dermawan dan banyak dihormati oleh kalangan pengusaha dan pejabat. Harta kekayaannya yang tak habis tujuh turunan tak membuat keluarga itu congkak. Malah, mereka terlalu baik pada para pesaing yang tak suka dengan kehebatan mereka. 

Mansionnya begitu besar. Nayya sampai berdecak kagum pada nuansa exterior yang kelihatan seperti rumah klasik namun tetap terlihat minimalis dan indah. Senyumnya makin terbuka lebar tatkala satu orang asisten membukakan pintu pagar.

"Mbak Nayya ya? Masuk mbak, sudah ditunggu tuan dan nyonya," ujarnya sambil mengantar Nayya masuk kedalam mansion.

Pertama kali melihat interiornya, ternyata tak berbeda jauh dengan eksteriornya. Unik tapi tetap terlihat menarik. Tangan Nayya refleks memegang benda yang terpajang di kiri dan kanan sepanjang jalan masuk ke ruangan tamu. 

Nayya menganga lebar melihat pemandangan yang terlihat di depannya. Asisten yang mengantarnya tadi menghilang, Nayya ditinggal sendiri di ruangan besar seperti lobby hotel. Namun senyuman Nayya luntur seketika saat ia sadar jika yang ia lihat tadi adalah keluarga besar Rayyan. 

Duduk di tengah, ibu dan ayah Rayyan lalu di samping kiri dan kanannya adalah kakak Rayyan beserta suaminya. Lalu sebelah kanan ada Abizar yang waktu itu datang ke rumah.

Nayya tersenyum kikuk, ia pun membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat dan perkenalan. 

"Selamat pagi, ayah ibu. Mbak Kirey dan juga Abizar. Ah, sama mas Jana dan Adit," sapa Nayya. 

Tak ada senyuman. Hanya raut wajah datar yang mereka tunjukkan hingga membuat Nayya terus menerus menelan ludahnya. 

"Silakan duduk," ujar ibu Rayyan mempersilakan Nayya untuk duduk di salah satu kursi. 

"Pertama-tama, selamat untuk kamu karena telah berhasil membuat menantu kesayangan keluarga Ardiwira Rahadirja bercerai dengan anak saya. Niat kamu mendekati Rayyan dan menikahinya sudah hampir terwujud. Saya dan keluarga besar tak bisa berbuat banyak. Inginnya, melarang namun ternyata Rayyan malah menantang," ujar Ardiwira, ayah Rayyan.

Nayya menginterupsi perkataan calon mertuanya, lalu tersenyum merasa menang di atas angin. Ia pun menimpali," Berarti, Rayyan benar-benar tulus mencintai saya. Dia tidak mau kehilangan saya dan memilih kebahagiaannya. Bukankah itu benar, tuan Ardiwira?"

Senyum kemenangan menguar di wajah Nayya. Ia berhasil menskak calon ayah mertuanya. Namun, ternyata pemikirannya salah, Ardiwira tak terpengaruh sedikitpun. Ia malah tertawa mengejek jawaban yang baru saja Nayya berikan. Apalagi istrinya, orang yang amat sangat menentang wanita yang akan dinikahi anaknya ini. Dia malah terlihat sinis seperti ingin mencibir habis-habisan calon menantunya. 

"Kamu percaya diri sekali. Bedakan antara ia mencintai kamu atau hanya memanfaatkan saja. Tapi, terserah pemikiran Rayyan. Dia yang punya hidup, biar dia yang menjalani," ketus Ardiwira. 

Air muka Nayya berubah merah padam. Andai saja ia sudah menikah dengan Rayyan, akan ia balas semua kata-kata kasar keluarga Rahadirja. 

"Baiklah, mari kita makan siang. Katanya, Rayyan juga akan datang sehabis meeting. Ah, Abizar coba cek agenda hari ini apakah meetingnya sudah selesai? Suruh Rayyan segera pulang," titah Ardiwira yang diangguki Abizar.

Makan siang berlangsung khidmat. Semua anggota keluarga menikmati santapan tanpa ada suara sedikitpun. Memang, keluarga Ardiwira terkenal akan sopan santunnya. Tak jarang orang yang baru melihat terasa segan dekat dengannya. 

Setelah selesai, Ardiwira dan keluarganya kembali mengajak Nayya berbincang di ruang tamu sembari menunggu Rayyan yang sedang dalam perjalanan pulang. Mereka semua terdiam, Nayya kikuk dan canggung untuk memulai obrolan. Tapi, ia memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu walau pastinya akan ditimpali dengan kalimat yang kurang enak.

"Adit, sudah kelas berapa?" sapa Nayya sambil mendekati Adit, anak Kirey yang sedang berlarian di ruangan dengan mainan di tangannya. 

"Kelas 1 A," jawabnya singkat. Lalu anak itu berlarian lagi sambil mengoceh tak jelas. 

Mata Lydia, ibu Rayyan menyipit. Tiba-tiba saja pandangannya fokus pada gaun yang dipakai oleh Nayya. Sejenak ia mengingat kembali apakah pernah ia melihatnya atau hanya ingatannya saja yang memudar.

"Nayya, kamu beli gaun itu dimana?" tanya Lydia. Nayya tersentak kaget dan menoleh. Wajahnya pucat, bingung harus menjawab apa.

"I-ini. Ehm, Rayyan yang belikan. Cantik sekali kan, Tante. Rayyan memang paling tahu yang terbaik untuk saya," ujarnya sambil terkekeh pelan.

Alis Lydia menukik. Raut wajah bingungnya membuat Nayya pucat. Apa mungkin Lydia sedang mengingat sesuatu? Pikir Nayya.

"Pa, masih ingat tidak waktu kita liburan sama Lily keliling Eropa tahun lalu. Kita kan mampir Paris, mama beli gaun satin untuk dia. Terus, pernah dipakai ke pesta ulang tahun kantor juga. Kenapa mirip sekali dengan yang Nayya pakai?" tanya Lydia pada sang suami. Ardiwira juga sempat menaksir sebentar hingga akhirnya ia pun bertanya. " Kamu beli dimana gaun itu?"

"Ehmm, Rayyan yang belikan," jawab Nayya gugup. Ia meremat gaun hingga membuatnya sedikit kusut.

"Ckck. Ternyata, selain merampas suaminya kamu juga merampas barang-barang milik Lily? Memalukan," sindir Lydia. Nayya terhenyak mendengar sindiran pedas itu. Kesabaran di dalam dirinya sudah habis. Dari dulu memang ia tak pernah dan tak akan direstui oleh keluarga besar Rayyan.

"Sudahlah, ma. Biarkan saja. Lagipula itu kan bekas dipakai Lily, mungkin saja sudah tidak muat atau memang Lily sengaja mengembalikan lagi pada Rayyan. Siapa tahu, anak itu akan berubah pikiran." Ardiwira membujuk sang istri. Nayya kira, ia akan dibela tetap saja ia yang dijadikan bahan bully oleh mereka. 

Suasana kembali hening, namun sekejap saja keheningan itu hilang. Terdengar langkah kaki seseorang masuk kedalam rumah dan semakin mendekat ke ruang tamu. Semua menoleh, ternyata Rayyan yang datang.

"Apapun yang papa katakan tentang Nayya, tidak akan mengubah keputusan aku untuk menikahinya. Kalau memang kalian tak suka, harap tidak meninggalkan komentar tak baik. Nayya juga manusia, dia punya rasa sakit hati," ujar Rayyan yang tampaknya marah karena mendengar Nayya diperlakukan tidak adil oleh orangtuanya. 

"Kamu pikir Lily tidak sakit hati?" timpal Lydia. Rayyan pun balas menyerangnya lagi. Ia pun berkata lantang pada ibu kandungnya," Bukankah kalian yang memaksa aku menikahinya? Kalian juga tak mengindahkan perasaan aku sebagai anak kalian. Bukankah aku juga pantas sakit hati?"

Lydia tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia mengeratkan tangannya, menahan emosi. Sedangkan Ardiwira masih tampak tenang menghadapi anaknya yang memang sudah buta akan cinta. Tak bisa membedakan mana intan mana pasir. 

Ia pun angkat bicara," Terserah kamu saja. Papa sudah tak peduli. Mau kamu jatuh, mau kamu hancur pun papa tidak peduli. Jangan salahkan papa yang lebih sayang pada Abizar dibandingkan dirimu."

Rayyan beralih menatap Abizar yang kini tersenyum menang melihat adegan di hadapannya.  

"Baik. Saya terima semuanya." 

"Satu lagi. Tinggalkan rumah yang kalian tempati sekarang, karena itu adalah rumah pemberian alm. Ayah mertuamu untuk Lily. Hanya Lily yang pantas menerimanya dan sementara biar Abizar yang tempati," tegas Ardiwira. Ia berdiri sambil menyilangkan tangan di punggung belakangnya. Satu tangannya maju dan mempersilakan sepasang calon pengantin tadi ke luar dari rumah. 

"Silakan ke luar dari rumah saya. Hadapi hidup kalian, jangan sampai menyesal," tambahnya. 

Lalu, Rayyan pun menarik Nayya ke luar meninggalkan mansion Ardiwira. Nayya ikut terseret hingga keduanya pun akhirnya berhenti saat tiba di luar rumah. Rayyan menarik napasnya lalu mengusak rambutnya kasar. Ia tak tahu harus pindah kemana sehabis ini.

"Ray, kita diusir dari rumah? Memangnya itu bukan rumah kamu?" rengek Nayya. Rayyan hanya diam tak menjawab. Lalu ia tersenyum menenangkan Nayya yang tampaknya ragu dan takut.

"Tenang sayang, aku akan cari rumah lagi yang lebih besar. Sabar, ya." 

"Tapi atas nama aku, ya?" Rayyan mengangguk ragu. Nayya tersenyum lalu mengecup dahi Rayhan. "Terima kasih ya, sayang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status