Share

Tak tahu malu

Rayyan mengusap keningnya lalu memijitnya perlahan sembari mengeluh melihat tumpukan kertas yang berisikan laporan dari anak buahnya. Tugas rutinnya sudah menumpuk di hari pertama bekerja. Apalagi ditambah peristiwa tadi pagi yang membuatnya semakin emosi. Masalah yang seharusnya tak terjadi antara ia dan Nayya. Rasanya ratusan obat sekalipun tak bisa membuatnya mereda.

Saat ia tengah dipusingkan dengan segala urusan kantor, Nayya tiba-tiba saja datang dan mengagetkan dirinya. Nayya masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan langsung duduk di pangkuan Rayyan yang masih terlihat bingung. 

"Nay, minggir dulu. Aku lagi sibuk," tolak Rayyan saat tangan Nayya menggerayangi tubuhnya. Tak peduli jika Rayyan memprotesnya. Sekali lagi Rayyan menolaknya dengan menyingkirkan tangan Nayya. 

"Nay, aku lagi kerja." Rayyan menaikkan satu oktaf suaranya membuat Nayya mendengus. Ia berdiri dan tangannya menyambar gelas di atas meja Rayyan lalu menuangkan isinya ke atas kemeja Rayyan. 

"Ini akibatnya jika mengabaikan aku," ujar Nayya. Ia menarik dasi Rayyan dan membisikkan sesuatu di telinganya," Kita main disini bagaimana? Aku suka suasana kantor kamu."

Rayyan menutup matanya menahan sesuatu yang mendesah dari balik bibirnya. Rupanya Nayya tengah berbisik sambil mengumpat kata-kata kotor yang membuat pikiran suaminya melayang entah kemana.

"Nay, jangan sekarang. Kalau ada orang kantor lihat tidak hanya aku yang malu, tapi juga papa aku," tolak Rayyan kembali. 

Nayya kecewa namun ia tak menyerah. Bagi Nayya, tak ada sesuatu yang bisa menghalangi keinginannya. 

Nayya mengunci pintu ruangan Rayyan dan tirai kedua jendela ruangan itu. Lalu tangannya sigap mencari benda pengontrol ruangan dan menyetelnya menjadi kedap suara. 

"Aku tidak ingin ditolak, Rayyan." Nayya menyingkirkan kertas dari tangan Rayyan dan memaksa duduk di pangkuannya. Nayya membuka satu persatu kancing kemeja Rayyan. Nayya mulai menggerayangi dada bidang suaminya tak lupa dengan bibir sensualnya yang bergerilya dari leher hingga dadanya. 

"N-nay..." Rayyan menggeram pelan. Nayya semakin bersemangat. Ia bergerak menggoyangkan pinggulnya hingga geraman Rayyan semakin terdengar jelas. 

"Belum pernah merasakan seperti ini, kan. Sensasi bermain di kantor dengan pacuan adrenalin yang membuat semuanya semakin sexy," bisik Nayya di telinga Rayyan. Deruan napasnya yang merdu di telinga Rayyan membuat tangan Rayyan tak sadar menggerayangi punggung Nayya.

Setelah puas menggerayangi, ia pun dengan sigap membuka resleting belakang gaun Nayya dan menurunkannya perlahan. Satu tangannya berhasil membuka pengait di belakang punggungnya.

"Arghh..Nayya," desah Rayyan. Napasnya mulai memburu dan tak kuasa menahan nafsunya. Ia berdiri dan mengangkat tubuh Nayya dan menjatuhkannya di atas sofa besar di dalam ruangannya. 

Rayyan menumpukan tangannya pada sisi sofa dan mulai mencecapi bibir ranum Nayya yang seksi. Kemejanya sudah terlepas entah kemana menyisakan dada bidang yang masih digerayangi Nayya.

"Celana kamu sesak, sayang. Perlu aku buka?" Rayyan mengangguk. Perlahan Nayya membuka sabuk lalu menurunkan resleting celana Rayyan dan tersenyum puas melihat apa yang ingin ia lihat sebelumnya.

"Nay, ahhh. Please Nay, lebih cepat." Rayyan terus meracau saat Nayya memegang bagian pusat bawah Rayyan.

Karena tak kuat, Rayyan membuka kasar gaun Nayya dan melakukan penetrasi tanpa memberi aba-aba pada Nayya. 

"Auww..kasar banget. Tapi aku suka."

Menit demi menit desahan mereka mengalun memenuhi ruangan. Berbagai macam posisi mereka lakukan tanpa mengenal lelah. Nayya pun semakin liar. Ia mengajak Rayyan ke pinggir jendela kaca yang mengarah ke jalan besar dan meminta Rayyan untuk melakukannya disana.

"Kamu suka yang seperti ini? Hmm.." tanya Rayyan sambil berbisik di telinga Nayya dan sedikit mengecupinya. 

"I like it. Lebih cepat, sayang. Eunghh..." Nayya meminta lebih. Rayyan mempercepat gerakannya dengan posisi berdiri menghadap kaca dengan satu tangan melingkar di pinggang Nayya. 

Napas mereka memburu lagi. Kali ini keduanya merasakan pelepasan yang sungguh nikmat. Keduanya pun ambruk di atas sofa dengan posisi saling memeluk. 

"Kamu puas, sayang?" Rayyan mengecup pipi Nayya sekilas dan dibalas anggukan olehnya.

"Kamu tidak pernah mengecewakan. Aku suka," jawab Nayya. Tangannya masih memegang bagian bawah Rayyan hingga suaminya itu menggeram kembali.

"Lain kali kamu jangan minum pil itu, sayang. Aku mau kamu hamil," saran Rayyan. Nayya tak menggubris namun tiba-tiba ia duduk di atas tubuh Rayyan. 

"Aku belum mau hamil, sayang. Karirku masih bagus. Lagipula, kita kan masih muda. Masih butuh waktu untuk berdua. Iya kan, sayang?" rayu Nayya. Rayyan pun luluh. Ia hanya bisa mengangguk dan matanya terpejam menikmati sentuhan tangan Nayya yang membuatnya mendesah lagi. 

"Iya, sayang. Lakukan sesukamu."

Selagi mereka berdua berada di dalam, Abi yang terus menerus mengetuk pintu ruangan Rayyan mendecak sebal. Pasalnya, hari ini ada pertemuan penting dengan beberapa klien penting dan Rayyan harus ikut serta. 

Abi berkali-kali menghubungi ponsel Rayyan namun nihil jawaban. Sampai ia tak sabar lalu menyuruh sekretaris Rayyan untuk menghubunginya melalui interphone. 

"Fa, tolong telpon pak Rayyan," perintahnya pada Farah, sekretaris Rayyan.

"Maaf, Pak. Di dalam ada istrinya pak Rayyan. Tadi ruangan dikunci dan peredamnya juga dinyalakan," jawab Farah. Abi membelalakkan matanya. Tangannya mengepal kesal. 

"Sejak kapan?" tanyanya lagi. 

"Dua jam yang lalu," jawab Farah. 

Abi menggerutu. Tak sadar kakinya menendang pintu ruangan Rayyan lalu pergi menuju ruangannya lagi sambil menoleh ke arah sekretarisnya.

"Bilang sama bos kamu, dicariin sama saya dan harus segera menghadap ke ruangan. Segera," perintahnya membuat Farah ketakutan dan akhirnya mengangguk. 

'Rayyan...Rayyan..sejak kapan tidak profesional seperti ini.'

Selesai makan siang, Rayyan yang sudah mengusir Nayya bersiap menuju ruangan Abi. Ia tahu pasti ada sesuatu yang akan dibicarakan oleh adik sepupunya sekaligus bos besarnya di kantor. Tak hanya itu, sialnya hari ini Rayyan lupa jika ada janji dengan salah satu petinggi perusahaan yang akan mengajukan kerjasama. Bisa dipastikan Abi akan marah besar padanya. 

Rayyan mengetuk pintu ruangan. Terdengar suara menyuruhnya masuk dari dalam. Raut wajah sangar Abi adalah pemandangan pertama yang ia lihat saat memasuki ruangan. Tak pelak itu membuat Rayyan sedikit ketakutan. 

"Kamu tahu kan, ini kantor?" tegur Abi. Rayyan mengangguk pelan. "Lain kali pergunakan jam besuk tamu dengan baik. Pilah, mana tamu yang penting dan tidak penting." kata-kata ketus Abi membuat Rayyan teringat kembali tindakannya tadi di ruang kerja.

"Maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ujar Rayyan. Abi menyuruhnya untuk duduk dan menyerahkan dokumen pertemuan yang seharusnya ia ikuti tadi pagi. Abi sudah mengetiknya dengan rapi.

"Ini notulen yang tadi?" tanya Rayyan yang diangguki oleh Abi. 

"Pelajari. Sebenarnya om Ardi mau menyerahkan seluruh aset kantor ini sama kamu. Tapi melihat kinerja kamu yang seperti ini, jadi niatnya pun diurungkan." Abi menyindir Rayyan secara terang-terangan. 

"Benarkah?" Rayyan terlihat penasaran. Abi mengangguk dan menceritakan sebagian perbincangan ia dan pamannya.

"Iya. Bahkan sebelum kamu dan Lily bercerai. Ah omong-omong soal Lily, kamu diperintahkan paman untuk mencari mantan istrimu itu," ujar Abi di tengah pembicaraan penting tadi. Raut wajah Rayyan berubah masam. Nama Lily telah mengubah isi kepalanya tentang ayahnya. Ia kira hanya dengan menaikkan kinerja sudah cukup untuk membuatnya menduduki tahta tertinggi di perusahaan. 

"Untuk apa aku mencarinya? Sama saja papa menyuruh aku kembali sama dia. Tetap saja, jawabannya adalah tidak," tegas Rayyan.

Abi mengikik mendengar jawaban Rayyan yang arogan dan sombong. Andai saja dia tahu bagaimana kehidupan Lily saat ini, dia pasti akan menyesal telah mengatakan sesuatu yang memalukan tadi. 

"Jangan terlalu percaya diri, bung. Belum tentu Lily menginginkan kamu lagi. Paman menyuruhmu mencarinya karena ada suatu hal yang harus kalian bicarakan," jelas Abi panjang lebar. 

"Tetap jawabannya tidak. Aku tidak mau ambil resiko Nayya marah jika mengetahuinya," tegas Rayyan kembali.

Abi Tersenyum sinis. Tak habis pikir dengan pikiran picik dan bodoh Rayyan yang membuatnya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Rayyan terlalu menuruti keinginan Nayya bahkan sampai mengabaikan keluarga dan kerabatnya. Bukankah itu konyol?

"Serius? Ini pertaruhannya jabatan kamu. Begini saja, kamu cari dia lalu beritahu aku biar aku yang bicara," usul Abi membuat alis Rayyan berkerut. 

"Tidak. Jawabannya tetap tidak akan. Karena ini pertaruhannya dengan pernikahan aku," ujar Rayyan tak mau kalah. Abi menggedikkan bahu. Tampaknya ia pasrah akan kerasnya keinginan Rayyan.

"Ya sudah. Tapi jangan menyesal suatu hari nanti."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status