Drttt... drtt... drtt...
"AKBP Orlando Atmanegara, harap ke Timor Kupang Pati secepatnya. Ada bandeng 810 mengambang di rawa-rawa."
"Medan Demak?"
"Kemungkinan besarnya seperti itu. Makanya saya menugaskan Anda untuk mendapatkan laporan kongkritnya. Segera kabari saya setelah bandeng dibawa ke Rembang Solo untuk di lakukan otopsi."
"Siap 86!"
Orlando menutup percakapan via ponsel pintarnya, untuk segera melaksanakan tugas-tugas yang sudah menantinya. Sejak mengabdikan diri menjadi seorang aparat negara ini, hidup matinya memang sudah ia serahkan pada Allah dengan segala resiko yang mengikutinya. Dalam menangani semua resiko berat sehubungan dengan pekerjaannya sebagai seorang polisi, ia selalu bersikap pasrah dan wallahu a'lam bish- shawabi. Yang penting ia selalu bersikap professional dan amanah. Selebihnya ia menyerahkan semuanya pada kuasa Allah Subhanawata'ala.
Orlando merapatkan jaketnya. Tengah malam seperti ini cuaca begitu dingin merasuk hingga ke tulang. Dia membawa serta dua orang anak buahnya untuk membantunya memeriksa keadaan mayat yang diduga telah meninggal dunia akibat aksi pembunuhan. Hujan rintik-rintik mulai memercikan air pada jaket parasutnya. Keadaan di rawa-rawa ini pun semakin lama menjadi semakin hening dan mencekam. Orlando kian menyusupkan kedua lengannya dalam-dalam ke saku jaketnya. Mencoba mencari sedikit kehangatan di sana.
Dari jarak sekitar tiga ratus meter, dia melihat dua orang anak buahnya yang lain sedang menyeret sesosok tubuh kedaratan. Dari jarak sejauh ini saja Orlando tahu kalau korbannya itu pastilah seorang wanita. Karena roknya terlihat begitu panjang hingga menutupi mata kakinya. Tubuh itu menelungkup. Tergeletak dengan kedua lengan tertekuk bagaikan boneka kain yang dilemparkan sembarangan oleh pemiliknya.
"Apakah kantong jenazah sudah disiapkan? Kita akan langsung tandu saja jenazah ini dan membawanya ke Rembang Solo untuk diotopsi oleh Pak Raju. Sete—"
Uhukkk... uhukkk...
Mereka berlima sangat kaget. Karena sesosok tubuh yang mereka kira sudah meninggal itu tiba-tiba saja terbatuk-batuk hebat. Orlando dan Bripda Sahat segera mengangkat tubuh lemah korban dan membaringkannya ke tanah. Setelah korban batuk-batuk tadi, kembali tubuh itu terlihat diam dan tidak lagi bergerak mau pun bersuara.
Orlando mendekatkan telinganya ke dekat mulut dan hidung si korban dan merasakan apakah ada udara di pipinya. Ia juga memperhatikan apakah apakah dada si korban bergerak atau tidak.
Karena tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan, Orlando pun mulai memeriksa nadinya selama sekitar sepuluh detik. Karena masih juga tidak ada reaksi, Orlando memutuskan untuk melakukan resusitasi jantung paru-paru atau cardiopulmonary resuscitation, yang biasa di kenal dengan istilah CPR. CPR adalah tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. CPR bertujuan untuk membuka kembali jalan napas yang menyempit atau tertutup sama sekali.
Orlando memencet hidung korban sampai tertutup, dan meniupkan dua detik napas buatan. Usai meniupkan dua napas, Orlando menekan dada korban sebanyak 30 kali. Orlando coba menerapkan teknik 30 kompresi dan 2 napas sambil menunggu reaksi korban. Saat ia melihat dada korban mulai naik, ia kembali mengulangi prosedur tersebut hingga korban kembali terbatuk-batuk dan memuntahkan air rawa-rawa dari mulutnya.
Orlando perlahan mencoba mengangkat kepala korban kearah lutut. Rambut hitam legamnya seketika memercikkan air di celana panjangnya. Kulitnya tampak begitu pucat seperti tidak lagi dialiri oleh darah. Saat memegang belakang kepalanya, ada benjolan sebesar telur ayam di sana. Tetapi semakin lama Orlando rasanya semakin mengenal sosok wanita yang tergolek lemah dalam lengannya ini.
Walaupun dalam keadaan babak belur dan pakaian compang-camping tidak karuan, Orlando jelas mengenalinya. Bahkan Orlando yakin satu Indonesia raya juga mengenalnya. Dia adalah Candramaya Daniswara. Mantan penjaja cinta kelas atas yang akhirnya dinikahi oleh pengusaha tampan dan mapan Nayaka Bratadikara.
Dalam pekerjaannya sebagai seorang polisi, Orlando selalu saja bersinggungan dengan penjahat mulai dari kelas kakap sampai dengan kelas teri. Para penjaja cinta sesaat mulai dari tarif ratusan ribu sampai ratusan juta sudah sering dihadapinya. Tetapi seburuk-buruknya mereka, tidak ada yang menandingi buruknya wanita yang saat ini tergolek lemah dilengannya.
Maya, demikian wanita ini biasa dipanggil, telah menjalani professinya menjadi seorang wanita panggilan sejak ia tamat SMA. Keadaan keuangan keluarganya yang di bawah standard sementara ia mendambakan kehidupan glamour telah memaksanya memilih jalan yang salah. Karena yang dipunyainya hanyalah kecantikan tanpa ada isi sama sekali. Maka kehidupan malamlah yang dipilihnya sebagai jalan pintas menuju cita-citanya yang ingin menjadi seorang sosialita kaya papan atas.
Sewaktu kedua orang tuanya memintanya untuk berhenti melakukan kegiatan maksiat, ia malah mengancam ibunya agar bisa menghidupinya seperti ini, baru ia akan berhenti menjual diri. Jika ibunya tidak bisa memberikannya kemewahan dan kenyamanan seperti yang ia rasakan saat ini, maka ia meminta ibunya untuk menutup mulut dan matanya sekaligus kalau ibunya malu mempunyai anak seperti dirinya. Oleh karena itulah Orlando mengatakan bahwa Maya ini adalah seburuk-buruknya manusia dari manusia buruk lainnya.
Bahkan saat dia belum resmi bercerai pun, ia sudah main gila dan menjadi istri simpanan seorang politisi terkenal negeri ini. Saat istri sah sang politisi melabraknya, Maya malah membiarkan dirinya di hajar oleh istri sang politisi sebelum akhirnya ia melalukan visum dan menuntut istri sang politisi dengan tuduhan penganiayaan berencana. Maya baru mau mencabut tuntutannya setelah sang politisi menceraikan istri sahnya sebagai imbalan karena telah mencabut tuntutannya. Begitulah kejamnya manusia tidak berhati yang memiliki nama begitu indah, Candramaya Daniswara ini. Iblis pun sepertinya kalah sadis dengannya.
Orlando memperhatikan mata wanita itu mulai membuka perlahan. Tetapi sorot matanya tampak begitu kosong dan tidak bersemangat. Seingat Orlando, Maya ini tidak pernah memperlihatan tatapan rapuh seperti ini. Maya itu sangat licik dan banyak akalnya. Wanita itu terlihat merintih dan berupaya mencoba menarik kerah baju Orlando seolah-olah hendak meminta pertolongan. Orlando meletakkan lengan kekarnya di sekeliling tubuh sekal Maya dan mengangkatnya masuk ke dalam mobil. Sorot mata Maya terlihat ketakutan, kesakitan dan kebingungan.
Jika kebanyakan tubuh wanita itu kecil dan mungil maka tubuh Maya adalah kebalikannya. Tubuhnya sangat berlekuk seperti jam pasir. Maya bertubuh cenderung montok dan sintal. Tubuhnya menjanjikan kenikmatan dan kehangatan. Tidak heran memang jika menilik professinya sebelumnya. Panjang dan tebalnya rok yang dikenakannya melipat gandakan berat tubuhnya. Orlando mengangkat tubuh wanita itu setinggi dadanya, ia kemudian mendengus tidak nyaman saat air bercampur lumpur menetes dan membasahi pakaiannya.
"Saya akan segera membawa Anda ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut Bu Maya. Saya sama sekali tidak mengira saat seharusnya Anda sedang berpelesiran di Hawai dengan salah seorang penyokong hidup Anda yang lainnya, ini Anda malah saya temukan berpelesiran di rawa-rawa seperti ikan hampir mati yang menggelepar-gelepar didaratan. Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Anda Bu Maya?"
"Saya—saya tidak tahu. Saya— Saya tidak ingat. Tolong saya, Pak." Mata Maya kini terlihat liar penuh dengan kengerian. Dia tampak sangat ketakutan sekarang. Hembusan udara dingin tengah malam telah membuat tubuh dalam dekapannya ini merintih dan menggigil kedinginan. Orlando segera meraih selimut yang berada dibelakang jok mobilnya untuk menutupi bagian depan tubuh Maya. Akibat basahnya pakaiannya, semua lekuk tubuhnya terlihat menempel bagaikan kulit kedua.
Kepala wanita ini kian terkulai di bahu Orlando, napasnya terasa begitu dingin dan lemah menerpa dagunya.
"Anda akan membawa saya kemana, Pak?" Dengan suara serak dan lemah Maya berupaya bertanya. Sepertinya ia ketakutan akan dibawa pergi olehnya. Maya hari ini bertingkah sangat aneh. Setelah memanggilnya dengan sebutan Bapak, alih-alih memanggilnya pak polisi seperti biasanya. Dia juga selalu menyebut dirinya sendiri dengan sebutan saya. Padahal Maya selalu menyebut dirinya sendiri dengan kata gue. Satu hal yang paling aneh lagi adalah, dia terlihat takut padanya. Padahal Maya yang biasanya tidak pernah takut dengan laki-laki manapun juga. Malah semakin banyak laki-laki, semakin senanglah dia. Insting Orlando mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah disini. Wanita selalu saja takut terhadap orang asing. Padahal dari pengalamannya sebagai seorang penegak hukum, kasus pembunuhan wanita pelakunya itu seringkali justru orang yang mereka kenal dekat. Misalnya suami atau kekasih mereka.
"Kita akan kerumah sakit untuk mengobati luka-luka anda, Bu Maya. Supaya anda lebih cepat sembuh dan pulih seperti semula."
"Maya? Anda memanggil saya Maya. Siapa itu Maya?" Orlando melihat Maya tampak semakin kebingungan.
"Sudahlah, mungkin Anda masih bingung karena keadaan Anda yang sedang terluka seperti ini. Istirahatlah atau tidurlah sebentar kalau bisa. Saya harap setelah Anda menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Anda pasti akan segera pulih seperti sedia kala." Setelah mengatakan hal itu, Orlando merasa wanita yang berada dalam dekapannya ini mulai rileks dan tubuhnya juga sedikit lebih memberat. Ia kembali tertidur sepertinya. Setelah menidurkan Maya dalam posisi menyamping dibaris kedua mobilnya, Orlando segera meluncurkan mobilnya menuju kerumah sakit.
===================
Dia mendapati dirinya terbangun dalam mimpi buruk yang mengerikan dan menakutkan. Saat matanya terbuka pandangan pertamanya tertuju pada sosok pria berseragam aparat negeri ini yang saat ini juga balas menatapnya tajam. Seorang pria tampan berkulit terang dengan wajah cantik dan menarik. Sangat sulit menggambarkan pria bermata tajam dengan rahang kebiruan dan tubuh yang begitu besar dengan kata-kata cantik. Tetapi dia memang lelaki tampan yang cantik. Bulumatanya bahkan tampak begitu lentik seperti kepunyaan wanita pada umumnya. Wajah cantik tapi keras dan muramnya itu dilengkapi dengan hidung mancung lurus dan mulut merah yang lebar. Hanya tatap matanya yang sepertinya tidak disukai nya. Mata itu tampak janggal, sinis dan sedikit benci kepadanya mungkin?
"Apakah saya sudah mati?" Ia bertanya seolah-olah pada dirinya sendiri. Sekujur tubuhnya rasanya tidak ada bagian yang tidak sakit. Jarum infus terlihat menusuk tangan kirinya. Bernafas normal pun rasanya ia sulit. Lebih dari semua itu, lehernya terasa seperti bengkak parah. Dia bahkan kesulitan untuk menelan salivanya sendiri. Tubuhnya bahkan tidak bisa berhenti bergetar. Dia ini sebenarnya kenapa?
"Tidak Bu Maya. Anda belum saatnya untuk mati. Gemetar itu tidak lama lagi juga akan berhenti sendiri. Hal seperti ini memang sering terjadi pada kasus-kasus seperti anda." Sahut pria berseragam polisi ini datar. Ia pria yang rasa-rasanya pernah ia lihat dalam mimpinya sepertinya.
"Kasus-kasus seperti saya? Kasus apa? Saya kenapa dan anda siapa?" Ia bingung dengan banyaknya rentetan kejadian yang memenuhi benaknya. Dia sama sekali tidak ingat apa-apa. Pikirannya kosong bagaikan ruang gelap hampa yang sama sekali tidak terisi apa-apa. Dia mulai takut! Mengapa isi benaknya hanya berupa lembaran hitam dan kosong. Dia sama sekali tidak mengingat apa-apa. Dia bahkan tidak mengingat dirinya sendiri!
Perubahan emosi yang terjadi diwajah babak belur Maya diperhatikan dengan seksama oleh Orlando. Entah mengapa dia merasa air muka Maya ini sangat berbeda dengan Maya yang keras dan sombong seperti biasanya. Maya yang ini tampak rapuh dan sedikit lugu mungkin.
Orlando mengibaskan pikirannya sendiri. Lugu adalah kata yang amat sangat jauh dari seorang Candramaya Daniswara. Telah menjadi wanita penghibur di usia delapan belas tahun dan dua tahun menjadi istri seorang Nayaka Bratadikara, lugu adalah kosa kata yang amat sangat tidak cocok untuknya bukan?
"Anda tidak ingat kepada saya Bu Maya? Saya ini AKBP Orlando Atmanegara. Kita bahkan baru saja bertemu seminggu yang lalu di salah satu cafe saat anda menyanyi dengan riang dan gembira. Anda tidak ingat, Bu Maya?"
Masih segar dalam ingatan Orlando pertemuan mereka minggu lalu di salah satu cafe mewah yang kebetulan disinggahinya sekedar untuk melepas kepenatan akibat tekanan dalam pekerjaannya. Dan disana dia melihat Maya menyanyi dan menari heboh di panggung utama. Tubuhnya yang hanya di tutupi sekedarnya membuat para pengunjung pria tampak menelan saliva dan menahan hasrat. Itulah gambaran seorang Candramaya. Dan sepertinya sang pemilik nama telah melupakan jati dirinya sendiri.
"Siapa Maya?"
Ada moment kebisuan yang membuatnya ketakutan. Pria berseragam polisi ini tidak segera menjawab pertanyaannya. Ia sendiri berusaha berpikir keras untuk mengingat nama itu. Tetapi yang ada hanyalah kekosongan. Dia kembali gemetaran dan ketakutan saat tidak mengingat satu kejadian pun, apapun!
"Mengapa saya tidak bisa mengingat apa-apa. Bahkan nama saya sendiri pun saya tidak ingat. Pak polisi, tolong saya!!! Saya takut!! Saya bahkan tidak tahu apa yang tengah terjadi pada diri saya sendiri, saya takut!!!"
"Tidak apa-apa Bu Maya. Tidak apa-apa. Jangan takut. Ada saya disini. Sudah menjadi tugas saya untuk melindungi setiap warga negara dibumi pertiwi ini. Jangan takut."
"Apakah saya sudah gila Pak Polisi? Saya tidak mengingat diri saya sendiri tetapi saya ingat hukum Archimedes. Bunyi hukum Archimedes adalah akibat adanya gaya apung, berat beda di dalam zat cair akan berkurang, sehingga benda yang diangkat di dalam zat cair akan lebih ringan daripada benda yang diangkat di darat. Seakan benda berkurang bila benda dimasukan ke zat cair atau air. Saya juga ingat kalau Afinitas elektron adalah jumlah energi yang dibebaskan ketika atom menangkap elektron untuk mencapai kestabilannya. Sedangkan Azas Black adalah besarnya kalor yang di lepaskan oleh benda yang suhunya lebih tinggi besarnya sama dengan besar kalor yang di terima oleh benda bersuhu lebih rendah bila benda-benda tersebut saling berhubungan sehingga mencapai keseimbangan suhu atau Qlepas sama dengan Qterima.
Jadi kalau saya tidak gila, saya ini kenapa?" Ia kembali menatap bapak polisi ganteng cantik itu dengan ekspresi kebingungan yang begitu kentara.
"Mungkin Anda sedang kerasukan roh para ilmuwan dalam disiplin ilmu fisika, Bu Maya."
"Saya tidak menyangka selain bertugas sebagai seorang aparat, ternyata Anda merangkap sebagai seorang cenayang juga Pak AKBP Orlando Atmanegara."
"Saya sudah menghubungi suami Anda yaitu Bapak Nayaka Bratadikara. Tetapi beliau mengatakan bahwa dia sudah tidak ingin mendengar kabar apapun lagi dari Anda karena beliau sudahmendaftarkan gugatan perceraian terhadap Anda sebulan yang lalu.Saya juga sudah menghubungi kedua orang tua Anda, Bapak Candra Daniswara dan ibu Kartika Daniswara. Tetapi mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak mau bertanggung jawab lagi terhadap semua tindakan ehm maaf tidak bermoral Anda selama ini. Jadi saya harap Anda mengerti kalau Anda merasa heran kenapa hanya Anda satu-satunya pasien di rumah sakit ini yang tidak pernah di kunjungi oleh keluarga mau pun kerabat. Saya minta maaf, saya tidak bisa berbuat banyak untuk Anda." Orlando berusaha merangkai kalimat sehalus mungkin untuk Maya. Tetapi tetap saja rasanya terdengar cukup menyakitkan saat tidak ada seorang pun yang ingin menjenguknya alih-alih membawanya pulang."Te—terima kasih ka
"Jadi Anda mau tinggal di mana sekarang? Pihak rumah sakit telah menyatakan kalau Anda sudah sembuh dan bisa berobat jalan saja, kecuali untuk kasus amnesia Anda. Karena khusus untuk penyakit Anda yang satu itu hanya bisa di sembuhkan oleh waktu. Sementara pemerintah kita tidak mungkin menanggung biaya yang tidak urgent lagi sifatnya. Di negeri ini bukan hanya Anda yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Saya harap anda mengerti."Suara datar-datar tegas polisi yang menolongnya beberapa hari yang lalu memasuki pendengarannya.Sebenarnya Maya sendiri juga bingung dia mau tinggal di mana sekarang. Karena menurut cerita suaminya, setelah suaminya itu mengajukan gugatan cerai, ia langsung pindah ke rumah mewah yang dibelikan oleh sang politisi yang telah menjadi penopangnya beberapa waktu yang lalu itu. Berarti satu-satunya tempat bernaungnya hanyalah rumah yang dibelikan oleh selingkuhannya itu. Tetapi kini Maya bertekad un
Panasnya matahari di siang bolong seperti ini menguras energi Maya yang tidak seberapa akibat baru sembuh dari luka-lukanya. Setelah pertengkarannya dengan Orlando tadi, Maya memang memutuskan untuk segera pergi dari hadapan sang AKBP. Ia capek selalu di hina-hina olehnya. Kalaupun dulu dia memang tidak ada bagus-bagusnya menjadi seorang manusia, akan tetapi tidak perlu juga bukan setiap lima menit sekali ia mengingatkannya? Masih terngiang-ngiang di kepala Maya pertengkarannya dengan Pak AKBP Orlando yang sangat menyakiti hatinya."Anda mau ke mana Bu Maya? Anda itu belum sembuh benar untuk bekerja. Laki-laki yang membooking Anda akan merasa bercinta dengan boneka Annabelle kalau melihat memar-memar di sekujur tubuh Anda. Anda belum layak pakai, Bu Maya.Lagi pula orang yang mencoba membunuh Anda itu belum tertangkap. Anda tidak aman berkeliaran di jalanan tanpa perlindungan, Bu Maya."
Orlando tiba di rumahnya tepat pada pukul tujuh malam. Hari ini ia lelah selelah-lelahnya. Menjadi seorang polisi telah menjadikannya setiap hari bergumul dengan para penjahat mulai dari kelas teri hingga kelas kakap. Belum lagi akhir-akhir ini dia dan team ditunjuk untuk meretas semua kabar hoax di internet. Menjelang PILPRES seperti ini banyak sekali situs-situs yang menyebarkan kabar hoax dan hate speech. Dia dan kedua belas rekannya bahu membahu meretas dan memblock situs-situs yang penuh dengan ujaran kebencian tersebut.Dia mencintai negeri ini, karena itulah ia dan rekan-rekannya yang lain berusaha sekuat tenaga menjaga, melindungi dan mempertahankan keragaman yang merupakan keindahan sejati NKRI. Demi tanah air tercinta, ia rela mengorbankan segalanya.Begitu ia menjejakkan kakinya ke dalam rumah, pandangannya secara otomatis mencari-cari keberadaan Maya. Sudah tiga hari ini Maya tinggal di rumah
"Sa—saya, saya cuma disuruh sama Ceu E—""Keluar!!!" Maya terlompat kaget saat mendengar bentakan penuh kemarahan Orlando."Astaghfirullahaladzim! Ada apa ini, Den Orlando? Kok pagi-pagi buta udah teriak-teriak. Eceuk sampai kaget."Ceu Esih ikut terbangun karena kerasnya suara Orlando. Ceu Esih seketika mengerti apa yang terjadi, saat melihat wajah emosi majikannya dan gemetarnya tubuh Maya. Maya bahkan tidak berani mengangkat kepala, karena malu dibentak-bentak oleh Orlando didepan Ceu Esih. Ceu Esih menarik nafas panjang akibat kacaunya situasi di pagi buta begini."Aden kenapa pagi-pagi teh udah marah-marah? Masalah Neng Maya yang ada di kamar Aden? Itu teh Eceuk yang manggil si Eneng tengah malam kemarin saat Aden demam tinggi. Eceuk teh bingung harus bagaimana meredakan deman Aden. Ibu dan Non Giselle kan sedang ada di Solo. Makanya Eceuk manggil Neng Maya untuk membantu Eceuk me
"Selamat pagi Bapak Nayaka Bratadikara dan Ibu Candramaya Daniswara Bratadikara. Tanpa banyak membuang waktu dan basa basi lagi, saya hanya ingin menanyakan sekali lagi. Apakah Anda berdua ini sudah mantap ingin bercerai, atau Anda berdua masih ingin berpikir-pikir dulu? Sesuai dengan Pasal 56 ayat 2, 65, 82, 83 dan UU Nomor 7 Tahun 1989, saya sebagai hakim di sini ingin mendamaikan Anda berdua terlebih dahulu sebelum sampai pada tahap mediasi pada sidang selanjutnya." Maya dan Nayaka saat ini tengah menghadiri sidang pertamanya."Tetapi kalau saya lihat-lihat, sepertinya Pak Naya ini masih cinta sekali ya pada Bu Maya?" Pak Hakim tersenyum simpul saat mendapati bahwa sang suami yang mengajukan gugatan, terus saja mencuri-curi pandang pada istrinya."Kalau memang masih cinta, untuk apa mengajukan gugatan perceraian Pak Naya? Dalam hal berumah tangga cek cok kecil itu kan masalah biasa. Gigi dan lidah yang se rumah dan selalu kompa
Drtt... drtt... drtt..."Hallo, Dek Sean. Ada apa, Dek? Tumben Adek menelepon Abang?" Maya melihat wajah Orlando langsung berubah gembira. Nada bicaranya juga seketika menjadi lembut. Dek Sean? Bukankah nama itu yang diigaukannya kemarin? Berarti orang yang menelepon Orlando ini adalah wanita yang setengah mati dicintainya sekaligus juga yang membuatnya patah hati setengah gila."Oh bisa... bisa kok, Dek. Abang ada di pengadilan agama, deket kok sama restaurant. Ya udah ini sekarang Abang singgahin ke sana ya, Dek? Ahahhaha... nggak apa-apa, Dek. Apalah yang nggak buat, Dek Sean? Oke, assalamualaikum."Maya melirik Orlando menutup panggilan telepon, masih dengan sisa-sisa senyum di bibir. Sepertinya Orlando bahagia sekali setelah menerima telepon dari wanita impiannya."Pembicaraan kita belum selesai. Kita akan singgah sebentar di restaurant teman saya. Kamu cukup diam dan jangan banyak t
"B-Bapak mau ngapain? Kok pintu kamar saya dikunci? Ini juga, ngapain Bapak pakai buka baju segala? Ingat ya, Pak. Saya ini perempuan tidak baik. Jangan sampai kesucian tubuh Bapak terkontaminiasi dengan kekotoran tubuh saya!" Maya mundur-mundur ketakutan."Anda ini kenapa sampai ketakutan seperti itu hah? Saya cuma mau minta tolong Anda untuk mengerikkan punggung saya. Biasanya Ibu saya atau Ceu Esih yang mengerikkan punggung saya, kalau saya sedang masuk angin. Berhubung ibu masih di Solo dan Ceu Esih sudah tidur, maka saya terpaksa minta tolong Anda yang mengerikkan. Anda jangan berfikir yang macam-macam !"Orlando menjentikkan kening Maya dengan kesal."Oooh... cuma minta dikerokin toh? Bilang dong dari tadi. Jangan tiba-tiba main buka baju aja." Maya mengomeli Orlando.Tetapi tak urung tangannya bekerja juga. Setelah Orlando duduk tegak di ranjangnya. Maya segera membalurkan minyak gosok ke punggung l