Share

Chapter 5

Orlando tiba di rumahnya tepat pada pukul tujuh malam. Hari ini ia lelah selelah-lelahnya. Menjadi seorang polisi telah menjadikannya setiap hari bergumul dengan para penjahat mulai dari kelas teri hingga kelas kakap. Belum lagi akhir-akhir ini dia dan team ditunjuk untuk meretas semua kabar hoax di internet. Menjelang PILPRES seperti ini banyak sekali situs-situs yang menyebarkan kabar hoax dan hate speech. Dia dan kedua belas rekannya bahu membahu meretas dan memblock situs-situs yang penuh dengan ujaran kebencian tersebut.

Dia mencintai negeri ini, karena itulah ia dan rekan-rekannya yang lain berusaha sekuat tenaga menjaga, melindungi dan mempertahankan keragaman yang merupakan keindahan sejati NKRI. Demi tanah air tercinta, ia rela mengorbankan segalanya.

Begitu ia menjejakkan kakinya ke dalam rumah, pandangannya secara otomatis mencari-cari keberadaan Maya. Sudah tiga hari ini Maya tinggal di rumahnya bersama dengan ibu dan adik perempuannya. Orlando masih mengingat betapa kaget ibu dan adiknya saat ia membawa pulang Maya ke rumah mereka. Ibunya memang tetap menyambut Maya ramah tetapi tampak menjaga jarak. Adiknya Giselle, bahkan langsung memperlihatkan air muka tidak suka saat diperkenalkan dengan Maya. Tetapi Gissele tidak berani menentang keputusannya. Kini walaupun Maya telah tinggal serumah dengannya, tetapi pertemuan mereka berdua malah semakin jarang. Sepertinya perempuan itu terus saja berusaha menghindari untuk bertatap muka dengannya.

"Ceu Esih, Mbak Maya ada di mana ya?" Orlando kepengen menggigit lidahnya sendiri akibat kelepasan bicara. Apalagi saat ia melihat ARTnya itu mengulum senyum mendengar pertanyaannya.

"Oh si Eneng teh lagi di belakang sama si Iman. Mau membuat percobaan listrik testis eh titis atau apa gitu, Den. Maap kalau kata-kata Eceuk teh salah ya? Maklum Eceuk mah nggak ngerti."

"Nggak apa-apa Ceu. Tolong siapkan makanan saya ya, Ceu? Saya belum makan apa-apa dari tadi siang. Sepertinya saya kurang enak badan."

Orlando memang merasa badannya meriang dan kepalanya sedikit pusing. Sudah dua hari ini dia terus saja mandi air hujan saat mengadakan operasi tangkap tangan terhadap gembong narkoba yang sudah mereka incar sejak beberapa bulan lalu. Setiap kali anak buahnya melakukan operasi, sebisa mungkin ia akan ikut berperan serta di dalamnya. Apalagi yang berskala besar antar negara seperti ini. Orlando selalu ikut bergerak mulai dari sejak proses pengintaian hingga eksekusi akhir. Dua hari terus-terusan mandi air hujan dan bekerja keras di lapangan, akhirnya ia tumbang juga.

Ia melangkahkan kaki ke taman belakang dan samar-samar ia mendengar Maya sedang berbicara dengan Iman, anak Ceu Esih.

"Jadi Iman disuruh membuat percobaan listrik statis ya? Itu gampang kok buatnya. Mbak Maya bisa lho buatnya. Jadi Iman nggak usah nangis ya? Ini Mbak buatin listrik statis sederhana. Iman punya media apa, biar kita buat bersama?"

Orlando mendengar Maya menghibur Iman, yang rupanya diberi tugas membuat listrik statis. Dan Iman sepertinya gagal dalam membuat percobaannya sendiri. Si perempuan penghibur ini apa bisa membuat percobaan ala ala ilmuwan seperti ini? Orlando tidak sabar untuk melihat aksi perempuan yang biasanya cuma bisa menjual diri ini berlagak menjadi seorang ilmuwan abal-abal.

"Emangnya media apa aja yang bisa dibuat listrik statis, Mbak?" Iman terlihat mulai bersemangat saat mendengar Maya bisa membuat percobaan itu bersamanya.

"Kaus kaki, benang wol, balon atau botol coca col* juga boleh. Ah iya ini ada balon dan kaleng cola kosong. Nah ayo kita mulai membuat listris statis sederhana."

Orlando melihat Maya meniup balon hingga cukup besar dan kemudian mengikat ujungnya. Maya kemudian menggosok-gosok gulungan benang wol itu pada balon sekitar lima menit. Setelah itu Maya mendekatkan kaleng kosong bekas cola yang seketika menggelinding dan terus bergeser ketika di sentuhkan dengan balon yang sudah dialiri oleh listrik statis. Iman tampak berteriak-teriak gembira karena berhasil dengan percobaan yang mereka buat.

"Sekarang lihat, Mbak akan menempelkan balon ini ke ke kepala, Mbak. Kalau rambut Mbak ikut berdiri, itu artinya balon ini masih mengandung listrik statis."

Dan Iman kembali berteriak-teriak gembira, karena kali ini pun mereka berhasil. Rambut Maya berdiri mengikuti arah balon. Pintar juga sipenjaja cinta ini.

"Den, itu makanannya sudah Eceuk siapkan. Sok atuh dimakan dulu. Nanti tidak enak kalau sudah dingin semua lauknya."

Maya yang mendengar kata-kata ceu Esih memalingkan wajahnya kearah asal suara. Ketika ia melihat bahwa Orlando sepertinya sudah cukup lama mengamati segala gerak geriknya, ia segera mengumpulkan bahan-bahan percobaannya, dan berlalu dari hadapan Orlando. Sebelumnya ia mengangguk singkat pada polisi pelindungnya saat ini.

"Mengapa Anda menghindari saya seolah saya ini adalah virus penyakit menular yang mematikan Bu Maya?" 

Maya seketika menghentikan laju langkahnya, saat mendengar ucapan Orlando. Ceu Esih yang merasakan suasana tegang di antara majikan dan tamunya, segera meraih tangan Iman. Ceu Esih membawa anaknya menjauhi arena yang mulai terasa panas ini.

"Saya tadi mendengar kalau Bapak akan makan malam. Makanya saya berusaha secepatnya enyah dari hadapan Bapak. Agar Bapak bisa menyantap hidangan Bapak dengan tenang dan tidak mual-mual, akan adanya bau busuk dari barang bekas pakai seperti saya. Saya tidak ada maksud lainnya kok, Pak Polisi. Permisi."

"Bagus. Anda cepat tanggap rupanya."

Orlando menjawab singkat. Maya mengepalkan kedua belah tangannya demi mendengar jawaban datar-datar sinis Orlando. Tanpa melihat kearah Orlando sedikit pun, Maya bergegas meninggalkan polisi itu dengan langkah lebar-lebar menuju kamarnya. Lebih baik dia memikirkan cara untuk secepatnya bisa lolos dari perlindungan Orlando. Memang benar polisi ini melindungi raganya. Akan tetapi Maya takut kalau hatinya akan rusak parah kalau ia kelamaan tinggal disini.

========================

Tok! Tok! Tok!

Maya yang tengah tertidur lelap seperti mendengar ketukan pada pintu kamarnya. Matanya yang rasanya masih enggan membuka melirik jam dinding kamarnya. Pukul 02.15 WIB. Siapa yang sudah mengetuk pintu kamarnya pagi-pagi buta begini. Ketukan beruntun pertanda tidak sabar mulai terdengar lagi.

"Iyaaaa... sebentar." Dengan mata yang masih terasa lengket, Maya dengan setengah hati membuka pintu kamarnya. Ia sedikit heran mendapati Ceu Esih berdiri di sana dengan raut wajah bingung.

"Ada apa, Ceu? Kok pagi-pagi buta kesini? Eceuk sakit?"

"Bukan Eceuk yang sakit, Neng. Tapi itu Den Orlando. Badannya panas seperti api. Aduh saya takut ini, Neng. Mana Ibu sama Non Giselle lagi ngunjungin kerabat di Solo. Bantuin Eceuk mau nggak, Neng?"

Maya terdiam sejenak. Bukannya ia tidak mau. Tetapi Orlando itu kan selalu merasa kalau dirinya ini kotor sementara dia sendiri seputih kapas. Maya hanya takut kalau nanti Orlando merasa ia sengaja ingin menggodanya. Maya tidak suka dianggap begitu murahan oleh orang yang selalu saja tidak pernah bosan menghinanya.

"Ayo atuh, Neng, Eceuk teh bingung ini harus bagaimana." Demi kemanusian, mau tidak mau Maya mengenyampingkan perasaannya sendiri. Ia berjalan mengekori Ceu Esih menuju ke kamar pribadi Orlando.

Maya melihat pak polisi itu tampak begitu tersiksa dalam demam tingginya. Tubuhnya gemetaran di bawah selimut tebal namun keningnya berkeringat. Orlando juga mengigau tentang pekerjaannya. Dia juga terdengar memaki-maki beberapa kali terkait pekerjaannya.

"Ceu, ada termometer tidak? Biar saya coba ukur suhu tubuhnya Pak Orlando." Ceu Esih segera berlalu dan segera kembali dengan sebuah termometer di tangan. Maya menyelipkan termometer ke pangkal lengan Orlando sembari meraba kening dan lehernya. Astaga! Ternyata memang panas sekali seperti api. Maya mencabut termometer. 40 derajat Celcius. Siaga satu ini!

"Bagaimana keadaan Den Lando, Neng?"

"Suhu tubuhnya 40 derajat Celcius ini, Ceu." Maya mendecakkan lidahnya sendiri karena khawatir.

"Tinggi banget ya, Neng? Emangnya suhu tubuh orang normal teh berapa?"

"Suhu tubuh dikatakan normal ketika mencapai 37 derajat Celcius melalui pengukuran mulut. Atau 37,2 derajat Celcius ketika diukur melalui anus. Ketika suhu tubuh kita belum mencapai 38 derajat celcius, maka kita termasuk dalam kategori demam ringan, Ceu. Pada masa ini, demam belum perlu diobati karena dianggap sebagai upaya alami tubuh menghalau infeksi bakteri dan virus yang tidak dapat hidup pada suhu panas.

Tetapi saat suhu tubuh lebih dari 38 derajat Celcius seperti yang dialami oleh Pak Lando ini, sebaiknya memang sudah harus mendapatkan penanganan khusus. Apalagi ini demamnya sudah mencapai mencapai 40 derajat Celcius. Demam di atas 40 derajat Celcius berisiko menyebabkan gangguan fungsi otak dan bisa kejang-kejang, Ceu." Jelas Maya panjang lebar.

Ceu Esih makin terlihat cemas dan kebingungan. Maya mencoba berfikir tenang. Kecemasan dan kekhawatiran tidak akan membuat pak polisi ini sembuh. Yang penting saat ini adalah tindakan.

"Coba Eceuk ambilkan air hangat-hangat kuku di baskom dan handuk kecil ya, Ceu? Kita coba menurunkankan suhu tubuh Pak Lando dengan cara alami dulu. Terus coba liat di kotak obat ada ibuprofen atau tidak? Kalau ada sekalian dibawa kemari ya, Ceu."

Dan si eceuk pun langsung bergerak cepat melintasi kamar demi mengambil semua yang diminta olehnya. Ceu Esih tiba tiga menit kemudian dengan semua permintaan Maya lengkap. Maya lega sekali.

"Ini ibuopen obat untuk apa sih, Neng?" Maya tertawa saat Ceu Esih salah menyebutkan nama obatnya. Lidah sundanya memang sudah terbiasa menyebut huruf f menjadi p.

"Ini namanya ibuprofen, Ceu. Bukan ibuopen. Ibuprofen adalah obat demam dewasa yang menghentikan hipotalamus untuk menaikkan suhu tubuh. Ibuprofen dapat dikonsumsi 200 mg pertablet."

Ceu Esih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia senang karena sekarang memiliki sedikit pengetahuan baru.

"Obat ini punya efek samping nggak sih, Neng?"

"Jujur ya, Ceu. Semua obat itu sebenarnya punya efek samping. Cuma karena khasiatnya lebih banyak dari pada efek sampingnya dan tidak berbahaya, maka akan aman-aman saja jika di konsumsi dalam dosis yang benar. Makanya kadang ditulis, harus dengan resep dokter begitu kan, Ceu? Itu artinya kita tidak boleh jadi dokter-dokteran untuk diri kita sendiri. Bisa berbahaya kalau dosisnya salah.

Nah ibuprofen ini sendiri efek sampingnya adalah diare, konstipasi, maag, dan sakit perut. Orang dengan sakit maag, memiliki penyakit ginjal, wanita hamil, dan mereka yang memiliki alergi aspirin harus menghindari ibuprofen ini lho, Ceu." Jelas Maya dengan teliti pada Ceu Esih.

"Kok lama-lama Eceuk merasa sedang berbicara dengan dokter ya? Neng amnesia tapi kok pinter?"

"Iya ya, kok yang beginian saya inget, tapi nama sendiri malah lupa. Ah sudahlah Ceu, bantu saya meminumkan obat ini dulu pada Pak Lando ya? Setelah itu tolong ehm, bukain baju pak polisi ini sebatas pinggang aja. Saya mau mengelap tubuhnya untuk mencegah suhu tubuhnya naik lagi."

Wajah Maya memerah saat mengucapkan kata-kata membuka pakaian Lando. Dia malu. Setelah dengan bersusah payah akhirnya mereka berdua berhasil juga meminumkan ibuprofen pada Lando. Ceu Esih pun sudah berhasil membuka piyama Orlando. Dengan sabar dan telaten Maya menyeka seluruh tubuh Orlando dengan handuk yang sudah dibasahi oleh air hangat.

Wajah Maya makin merah saat harus mengangkat lengan Orlando untuk menyeka pangkal lengannya. Ceu Esih pura-pura tidak melihatnya. Dia kasihan melihat wajah Maya yang terlihat antara malu dan serba salah. Ceu Esih bingung melihat sikap Maya yang seperti ini. Sementara di televisi di katakan kalau Maya itu nakal, liar dan tidak tahu balas budi. Tetapi entah kenapa sikapnya ini malah berbanding terbalik dengan keseharian Maya yang di sini.

Melihat tubuh setengah telanjang Orlando saja Maya merasa ngeri. Bagaimana bisa ia dulu menjadi wanita penghibur yang menjajakan tubuhnya demi lembaran rupiah? Jangan-jangan sikapnya yang dulu itu yang sebenarnya amnesia dan baru sembuh sekarang-sekarang ini. Semakin Maya berpikir, semakin kepalanya terasa berdenyut-denyut.

"Kamu jahat, Dek Sean! Kamu mempermalukan Abang! Kenapa kamu memamerkan surat cinta, Abang? Abang jadi di tertawakan semua orang!"

Maya dan Ceu Esih saling berpandangan. Orlando mengigau lagi. Sepertinya dia pernah dipermalukan oleh seorang wanita di masa lalunya. Kasihan.

"Saya masih mencintainya sampai sekarang ini, Pak KomJendPol!" Maya melihat dada Orlando berombak-ombak karena teriakannya. Maya dan Ceu Esih kembali saling memandang. Pak polisi ini rupanya pernah patah hati sampai begitu dalam. Yang membuat Maya penasaran adalah siapa wanita yang dicintai oleh bapak AKBP ini?

Setelah menyeka seluruh tubuh Orlando dengan air hangat, Maya mengompres dahi Orlando. Malam menjelang pagi itu Maya berkali-kali mengganti air kompresan untuk Orlando, hingga ia tertidur karena kelelahan, dalam posisi terduduk di pinggir ranjang. Tangan kanannya masih memegang handuk kecil di dahi sang polisi. Ceu Esih juga tertidur di atas matras di sudut kamar yang terhalang oleh sofa malas. Kedua wanita berbeda generasi itu tertidur pulas setelah dari dini hari sampai pagi buta menjaga Orlando.

========================

Orlando terbangun saat merasakan kepalanya bagaikan dipukuli oleh sekelompok orang, sementara keningnya seperti ditetesi oleh air hujan. Tetapi ia terus saja memaksakan diri untuk membuka matanya. Entah mengapa Orlando merasa ada yang salah di sini. Feelingnya mengatakan ada orang lain di kamarnya. Dan benar saja. Matanya membelalak marah saat mendapati Maya tertidur dalam posisi duduk dan tangan kanannya... memegang dadanya yang sudah tidak berpakaian lagi. Wanita penghibur ini berani-beraninya menyelinap ke kamarnya dan berniat buka praktek di kamarnya ternyata. Kurang ajar!

"Dasar perempuan tidak tahu malu. Saat amnesia seperti ini pun Anda ternyata masih mau buka praktek pada saya. Jauhkan tangan kotor Anda itu dari tubuh saya, Bu Maya!"

Maya yang tengah tertidur, kaget saat tiba-tiba merasakan tangannya dihempaskan kuat hingga mengenai kepala ranjang yang terbuat dari bahan kayu jati. Maya meringis kesakitan. Matanya mengerjap-ngerjap kebingungan. Dibangunkan dengan cara seperti ini membuatnya kehilangan orientasi sejenak. Di tengah denyutan tangannya yang terhempas kayu jati, Maya lega karena Orlando tampak sudah membaik. Buktinya dia sudah bisa marah bukan?

Maya refleks menyentuh dahi dan leher Orlando. Mencoba mengecek suhu tubuhnya. Maya berharap suhu tubuhnya normal agar tidak perlu lagi membawanya ke dokter.

"Jauhkan tangan kotor Anda dari tubuh saya, Bu Maya. Saya tidak suka tangan anda yang sudah dipakai untuk memuaskan banyak pria menyentuh-nyentuh tubuh saya!" Bentakan Orlando membuat Maya mundur seketika. Pak polisi ini tidak tahu berterima kasih sekali rupanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status