Share

Chapter 6

"Sa—saya, saya cuma disuruh sama Ceu E—"

"Keluar!!!" Maya terlompat kaget saat mendengar bentakan penuh kemarahan Orlando.

"Astaghfirullahaladzim! Ada apa ini, Den Orlando? Kok pagi-pagi buta udah teriak-teriak. Eceuk sampai kaget."

Ceu Esih ikut terbangun karena kerasnya suara Orlando. Ceu Esih seketika mengerti apa yang terjadi, saat melihat wajah emosi majikannya dan gemetarnya tubuh Maya. Maya bahkan tidak berani mengangkat kepala, karena malu dibentak-bentak oleh Orlando didepan Ceu Esih. Ceu Esih menarik nafas panjang akibat kacaunya situasi di pagi buta begini.

"Aden kenapa pagi-pagi teh udah marah-marah? Masalah Neng Maya yang ada di kamar Aden? Itu teh Eceuk yang manggil si Eneng tengah malam kemarin saat Aden demam tinggi. Eceuk teh bingung harus bagaimana meredakan deman Aden. Ibu dan Non Giselle kan sedang ada di Solo. Makanya Eceuk manggil Neng Maya untuk membantu Eceuk merawat Aden. Neng Maya yang semaleman menyeka badan Aden yang demam tinggi. Belum lagi memberi obat dan bolak balik mengganti air kompresan Aden sampai si Eneng nggak tidur-tidur. Aden teh harusnya berterima kasih sama Neng Maya. Bukannya ngebentak-bentak begitu. Lagipula yang bukain baju

Aden itu teh Eceuk, Den. Bukan Neng Maya." Ceu Esih berusaha menjelaskan situasi yang terjadi kemarin malam.

"Saya—saya permisi dulu." Maya yang sudah tidak dapat menahan air mata, memutuskan untuk mengalirkannya di tempat yang lain saja. Ia tidak suka mencari simpati orang lain lewat deraian air mata. Untuk orang seputih Orlando Atmanegara, air matanya itu adalah air mata buaya yang sama sekali tidak ada harganya. Mungkin tembok kamarnya malah lebih mengerti dan sedikit bersimpati pada penderitaannya.

Matanya yang sudah perih sedari tadi karena menahan air mata ditumpahkannya di dalam kamar mandi. Maya membuka keran air sederasnya dan mulai meraung-raung di sana. Dia bingung harus bersikap bagaimana. Dia sungguh-sungguh tidak mengerti bagaimana kehidupan sebelumnya yang dijalaninya. Dia juga tidak tahu kalau ternyata begitu banyak penolakan dari orang-orang atas dirinya.

Dimulai dari keluarganya, suaminya dan bahkan aparat yang seharusnya bersikap netral pun menyimpan begitu banyak penghinaan padanya. Bagaimana ia harus bersikap ya, Allah? Karena bahkan nafasnya sendiri pun kini seperti membenci paru-parunya. Di mana tempat yang seharusnya bisa ia tinggali dengan penuh rasa damai dan cinta ya, Allah? Karena di sini bahkan hanya bernafas pun ia sudah dianggap salah oleh para penghuninya.

Ibu Rahma memang tidak pernah mengatakan apa-apa yang menyinggungnya. Tetapi perlakuannya amat sangat kentara kalau ia memberi jarak padanya. Bu Rahma tidak pernah mau duduk semeja bersamanya. Bila mereka ada di ruangan yang sama, Bu Rahma tidak pernah menganggapnya ada. Dia dianggap seperti pajangan dinding. Terlihat namun tidak cukup berharga untuk sekedar diajak bertegur sapa.

Giselle lebih parah lagi. Adik Orlando yang sepertinya sebaya dengannya itu tidak pernah menganggapnya manusia. Saat berpapasan pun, jangankan menyapa. Sekedar melihat wajahnya saja ia tidak sudi. Apalagi saat pacarnya datang mengunjungi. Ia sampai memperingati pacarnya untuk tidak usah masuk ke dalam rumah. Karena di dalam sana ada ular berbisa yang siap membelit siapa saja yang berkantong tebal dan menyemburkan bisa, katanya. Giselle mengatakan hal itu tepat di hadapannya. Seolah-olah ia adalah mahkluk tak kasat mata.

Sementara Orlando. Maya tidak dapat lagi mendeskripsikan, saking tidak sanggup mengulang potongan-potongan kejadian yang selama beberapa hari ini diterimanya. Puncaknya adalah tadi. Betapa tidak berhatinya Orlando mengatainya bahwa tangan yang semalaman mengompresnya berjam-jam, kotor karena telah dipakai untuk memuaskan banyak orang. Rasa sakitnya sampai tak terucapkan. Walaupun ia amnesia. Tapi dia manusia. Punya hati dan rasa sama seperti dirinya. Orlando ibarat mengiris kecil-kecil terlebih dahulu hatinya dan baru kemudian mencampakkannya. Dua kali rasa sakitnya bukan? Setelah ia mencampakkan hatinya, kini Maya merasa jiwanya begitu kosong dan hampa. Hanya Ceu Esih dan Iman anaknya yang tetap menganggapnya sebagai seorang manusia. Ternyata di rumah ini, akhlaq para pembantu rumah tangga bahkan lebih tinggi daripada para majikannya.

Tok! Tok! Tok!

Ada apa lagi ini? Tidak bisakah mereka semua membiarkannya untuk membalut lukanya sebentar saja? Karena ketukan terus terdengar semakin kencang, Maya meraih handuknya dan membelitkannya asal ke tubuh telanjangnya. Paling ini Ceu Esih yang memanggilnya untuk sarapan pagi.

Ceklek!

"Anda tidak perlu memamerkan paha dan dada bekas pakai Anda itu kepada saya, Bu Maya. Karena bagi saya, paha dan dada ayam potong di pasar sana itu bahkan jauh lebih berharga dari pada semua asset kepunyaan Anda."

Sambutan yang luar biasa bukan?

"Boleh tidak saya mengajukan satu pertanyaan saja pada Anda, pak polisi?" Maya tidak tahan juga apabila tidak mengajukan satu pertanyaan yang sebenarnya sangat ingin di tanyakannya dari jauh-jauh hari.

"Silahkan saja. Asal Anda jangan bertanya untuk yang kedua kalinya, kalau Anda ingin menjadikan saya sebagai sapi perahan Anda berikutnya. Maaf saya tidak berminat pada barang bekas milik orang banyak."

"Pak AKBP Orlando Atmanegara yang terhormat. Saya ingin bertanya, daripada Bapak terus saja menghina saya, mencemooh saya, menjatuhkan saya, bahkan terus saja memperolok saya akan masa lalu saya yang kelam.  Bukankah akan lebih baik kalau Bapak itu mendoakan saya saja? Doa kan saja agar saya ke depannya bisa menjadi seorang manusia yang lebih baik. Bukankah saling mendoakan itu akan jauh lebih baik daripada sikap Bapak yang terus saja menghina saya selama ini? Apa sebenarnya yang Bapak dapatkan dari semua sikap-sikap tidak terpuji Bapak terhadap saya? Ada rasa puas tersendiri kah? Senang melihat saya susah dan susah apabila saya senang begitu, Pak?"

"Sudah?" decih Orlando datar.

Maya mengangguk. Memang cuma itu yang ingin dia tanyakan dari saat pertama kali mereka bertemu.

"Sekarang mari kita bahas pertanyaan Anda satu persatu. Pertama saya tidak pernah menghina, mencemooh, memperolok apalagi menjatuhkan Anda. Tetapi Anda sendirilah yang membuat diri Anda itu dihina, dicemooh, diperolok dan sebagainya. Mau bukti? Bahkan orang tua kandung Anda pun tidak sudi lagi mengakui Anda sebagai anaknya. Tetapi Anda malah menuduh saya dan memusuhi semua orang yang kebetulan tidak sefaham dan seideologi dengan Anda. Sikap Anda itu bahasa gaulnya adalah playing victim. Kalau dalam pribahasa adalah buruk rupa cermin dibelah. Jelas Bu Maya?

Kedua, Anda minta saya mendoakan Anda? Anda kan belum jadi mayit? Masa mau saya doakan? Kecuali kalau percobaan pembunuhan terhadap Anda minggu lalu itu berhasil. Baru Anda akan saya doakan dengan ikhlas mayit Anda. Mengerti?!

Sekarang silahkan Anda mempersiapkan diri Anda. Hari ini adalah sidang pertama perceraian Anda dengan Pak Nayaka. Dan saya yang akan mengantarkan Anda kepengadilan agama. Saya tunggu Anda dalam waktu lima belas menit. Kalau dalam kurun waktu lima belas menit Anda masih belum siap juga, saya akan menyeret Anda dari dalam kamar ini dan membawa Anda ke pengadilan dalam keadaan Anda apa adanya. Mengerti Bu Maya?"

"Tapi Anda kan masih dalam keadaan sakit pak polisi?" Maya melihat Orlando menaikkan satu alisnya dengan ekspresi mengejek.

"Mengkhawatirkan saya, Bu Maya?"

"Bukan. Saya hanya takut saat Anda pingsan di jalan nanti. Saya tidak kuat saat harus menyeret tubuh besar Anda ke rumah sakit. Saya takut nanti tubuh suci bapak jadi tercemar akibat kotornya tangan saya."

"Saya tunggu di mobil. Saya tidak punya waktu untuk mendengarkan sindiran unfaedah Anda. Ah saya lupa, lain kali siapapun yang mengetuk pintu kamar Anda, harap Anda berpakaian yang layak sebelum membukanya. Tidak semua laki-laki berfikiran sehat seperti saya yang kebetulan hanya berminat kepada barang orisinil. Ada sebagian besar laki-laki yang memang doyan makan sampah karena habis itu biasanya dilepehin. Ingat itu!"

Maya lagi-lagi hanya bisa mengelus-elus dadanya. Ia hanya memohon diberi kesabaran lebih banyak oleh Yang Maha Kuasa. Iya yakin, di setiap cobaan yang di berikan olehNYA, pasti suatu saat akan ada jalan keluarnya, insya Allah.

===================

Kilatan lampu blitz terus saja menyambar-nyambar wajahnya, saat Maya menginjakkan kaki di pengadilan agama. Mulai dari saat pertama ia keluar dari mobil Orlando, para pewarta yang sebagian besar adalah dari media infotaiment ini, terus saja mendesaknya untuk menjawab berbagai macam pertanyaan mengenai sebab musabab perceraiannya. Selain itu Maya juga merasa begitu tidak nyaman dan juga gerah karena tubuhnya terus saja terdorong ke sana ke mari oleh banyaknya para pewarta.

Orlando pun sama sekali tidak terlihat membantu. Bukannya menghalau mereka, ia malah terlihat seakan-akan sangat menikmati semua kesusahannya. Memang dasar polisi keparat!

"Apakah penyebab utama Pak Nayaka menceraikan Anda, Bu Maya?"

"Benarkah Anda adalah wanita simpanan Pak Siswoyo Soeryo Sumarno?"

"Apakah setelah Anda bercerai dengan Pak Naya Anda akan segera meresmikan hubungan anda dengan Pak Siswoyo? Mengingat Pak Siswoyo juga baru saja menceraikan istri sahnya? Benar begitu Bu Maya?"

Maya kebingungan saat pertanyaan demi pertanyaan terus ditanyakan secara keroyokan oleh para pewarta. Belum lagi tubuhnya yang terus saja di desak kesana kemari oleh mereka semua. Maya sampai nyaris jatuh kalau saja Orlando tidak menahan kuat bahunya.

Krakkk!!! Aduh!!!

Maya kaget saat Orlando tiba-tiba saja memutar pergelangan tangan seorang kameramen. Suasana pun menjadi semakin heboh seketika. Banyak pewarta yang marah karena mereka menganggap Orlando telah melakukan tindak pidana karena sudah menghalang-halangi tugas mereka.

"Anda bilang saya melakukan tindak pidana? Jadi bagaimana dengan yang di lakukan oleh kameramen ini? Kameramen kurang ajar ini ingin memegang payudar* Ibu Maya. Apakah itu bukan suatu tindak pidana juga? Dan apakah saya dan kita semua akan diam saja saat ada orang yang dilecehkan di depan mata kita? Kalau Anda merasa itu bukan urusan Anda ya, itu sah-sah saja. Akan tetapi bagi saya tindakan itu tidak bisa dibiarkan. Saya polisi, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab saya untuk melindungi semua warga negara. Kalau Anda tidak percaya, ini saya bahkan sudah memvideokan niat busuknya. Tanya saja langsung pada oknumnya.

Minta maaf pada Bu Maya, atau Anda akan saya pidanakan atas tindakan percobaan pelecehan seksual terhadap, Bu Maya. Jadi lah seorang laki-laki sejati dengan berani mengaku salah dan meminta maaf!"

"Sa—saya minta maaf Bu Maya. Saya khilaf." Kameramen itu meminta maaf dengan wajah merah padam. Dia sama sekali tidak menyangka kalau perbuatan isengnya yang sempat ingin dilakukannya telah direkam oleh seorang polisi. Daripada urusannya menjadi bertambah panjang, maka dia berpikir lebih baik ia meminta maaf saja.

"Mengenai Anda mengatakan saya menghalang-halangi pekerjaan saudara-saudara sekalian. Bagain mana dari tindakan saya yang menghalang-halangi? Saya bahkan membiarkan Bu Maya, saudara- saudara sekalian kerubuti seperti segerombolan hewan menggonggong yang sibuk memperebutkan sepotong tulang. Saudara-saudara sekalian ini kalau berbicara hati-hati ya? Karena kalau saudara-saudara ini salah bicara, kalian semua bisa meringkuk di balik dingin dan pengapnya sel penjara. Saya hargai saudara-saudara bekerja. Tetapi ingat, pakai juga kode etik jurnalistik Anda. Jangan hanya pintar berkoar-koar untuk menuntut hak-hak Anda saja, tetapi kalian malah bersikap abai dengan aturan-aturan yang yang menyertainya. Sekarang saya akan membawa Ibu Maya ke ruang persidangan, silahkan Anda semua menyingkir terlebih dahulu!"

Dan Orlando pun mulai merangkul bahu Maya dan melindungi tubuh mungilnya dari serbuan para nyamuk-nyamuk pewarta. Maya menghembuskan nafas lega. Dia tadi bingung sekali saat di keroyok beramai-ramai seperti itu.

"Tumben sekali Anda takut kepada para wartawan infotainment itu, Bu Maya? Biasanya Anda senang sekali kalau bertemu dengan mereka walau hanya sekedar untuk menebarkan pesona kecantikan Anda sambil dadah- dadah manja."

"Saya—"

"Maya. Kamu tidak apa-apa? Mana orang mau melecahkan kamu itu? Biar Mas laporkan saja dia ke polisi. Mas tidak terima kalau istri Mas di perlakukan secara tidak hormat seperti itu!"

Nayaka Bratadikara!

"Sudahlah Mas, orangnya juga udah minta maaf kok. Namanya juga orang khilaf. Nggak usah di panjang-panjangin begitu urusannya. Eh ada Ibu juga. Apa kabar Bu Khadijah?" Maya menyalami suaminya sekaligus juga mertuanya. Bagaimanapun berantakannya hubungan mereka di masa lalu, setidaknya ia ingin sedikit memperbaikinya.

"Kamu nggak apa-apa, May? Ibu dengar ada kameramen yang melecehkan kamu?" Kedua mata Maya bermozaik mendengar betapa khawatirnya ibu mertuanya pada keadaan dirinya. Mertua yang begini baik, telah disakitinya terus menerus dengan tingkah bejatnya dulu. Betapa berdosanya dirinya ini ya Allah. Apalagi saat ini Bu Khadijah terlihat memeriksa keadaaan seluruh tubuhnya.

"Bu, Maya boleh tidak memeluk ibu sebentarrrr saja. Boleh tidak Bu?"

Maya yang untuk pertama kalinya merasa ada orang yang tulus menyayanginya dan tidak mengganggap kotor dirinya mendadak seperti menemukan tempat bersandar. Saat ini dia ingin sekali menyandarkan sebentar semua beban berat yang dihadapinya sejak ia membuka matanya dalam keadaan amnesia dan dihujat kanan kiri oleh semua orang. Dia butuh satu pelukan yang menenangkan dan yang mampu menguatkannya untuk terus melangkah kedepan. Semoga saja ibu mertuanya ini mengizinkan tubuhnya dijadikan sandarannya sebentar.

"Tentu saja boleh Maya. Sini Nak sini, biar ibu peluk." Bu Khadijah mengembangkan kedua tangannya yang langsung seketika membuat Maya menghambur kedalam pelukan hangatnya. Untuk pertama kalinya Maya menumpahkan semua kesedihan dan ketakutannya menghadapi dunia yang mendadak tidak dikenalnya ini ke dalam pelukan hangat mertuanya. Maya seperti punya tempat pulang sekarang.

Nayaka Bratadikara merasa matanya memanas melihat istri dan ibunya saling bertangisan dan berpelukan erat. Ibunya memang sebaik dan secantik namanya, Khadijah. Sangat mudah bagi ibunya yang baik dan besar hati ini untuk menerima Maya. Makanya dulu ibunya tidak menentangnya untuk menikahi Maya. Menurut ibunya setiap orang berhak diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri.

Dia dulu memang jatuh cinta setengah mati dengan kecantikan tidak tercela Maya. Cinta yang hanya berazaskan nafsu dan keindahan ragawi semata. Akan tetapi lama kelamaan sifat asli Maya mulai keluar. Dia sangat liar dan semakin lama Maya pun semakin tidak bisa ia kendalikan. Ia akhirnya putus asa dan mengajukan gugatan perceraiannya. Dia berpikir ya sudah lah, mungkin mereka memang tidak berjodoh.

Tetapi entah mengapa kali ini dia merasa istrinya tampak begitu berbeda. Naya merasa sekali ini dia malah jatuh cinta kembali pada istrinya dikarenakan  pada kepribadiannya. Maya yang ini membuatnya kembali panas dingin seperti mengalami euphoria pada saat-saat masa remajanya. Jatuh cinta walau hanya dengan saling berpandangan saja. Satu hal yang dia suka pada Maya yang ini. Maya yang sekarang bila ditatap lama, maka dia akan menunduk dengan wajah memerah. Menggemaskan sekali bukan? Kalau Maya yang dulu, saat ditatap lama, maka dia akan balas menatap tak kalah berani dan tajam juga.

Mengenai hubungannya dengan Rheina, sekretaris nakalnya. Itu hanya selingan karena Rheina juga melakukannya dengan pria-pria lainnya. Dia memang jualan. Jadi siapa saja bisa memilikinya asal harganya cocok. Dia laki-laki, dan dia tidak munafik. Saat libidonya tinggi dan istrinya tidak ada disisi, dia membelinya pada Rheina. Dan itu semua ia bayar mahal. Tidak ada azas manfaat di sini. Yang ada hanyalah win win solution. Tetapi pada istrinya, ia merasakan hatinya berdesir-desir sejak seminggu yang lalu, ketika menjenguk istrinya di rumah sakit. Entah mengapa jantungnya berdebar-debar seperti saat pertama sekali ia jatuh cinta. Nayaka akhirnya mengambil suatu keputusan besar. Dia akan mencabut gugatannya, dan akan membawa pulang kembali istrinya ke rumahnya dan kembali menjadi miliknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status