Share

Chapter 4

Panasnya matahari di siang bolong seperti ini menguras energi Maya yang tidak seberapa akibat baru sembuh dari luka-lukanya. Setelah pertengkarannya dengan Orlando tadi, Maya memang memutuskan untuk segera pergi dari hadapan sang AKBP. Ia capek selalu di hina-hina olehnya. Kalaupun dulu dia memang tidak ada bagus-bagusnya menjadi seorang manusia, akan tetapi tidak perlu juga bukan setiap lima menit sekali ia mengingatkannya? Masih terngiang-ngiang di kepala Maya pertengkarannya dengan Pak AKBP Orlando yang sangat menyakiti hatinya.

"Anda mau ke mana Bu Maya? Anda itu belum sembuh benar untuk bekerja. Laki-laki yang membooking Anda akan merasa bercinta dengan boneka Annabelle kalau melihat memar-memar di sekujur tubuh Anda. Anda belum layak pakai, Bu Maya.

Lagi pula orang yang mencoba membunuh Anda itu belum tertangkap. Anda tidak aman berkeliaran di jalanan tanpa perlindungan, Bu Maya."

"Orang seperti saya ini banyak musuhnya, Pak Polisi. Lagi pula manusia bekas pakai seperti saya ini tidak ada pentingnya juga untuk Anda lindungi keselamatannya bukan? Manusia seperti saya ini bahkan sangat tidak layak dilestarikan. Fokus saja dengan tugas Anda yang lebih berharga bagi bangsa dan negara ini. Anda tidak perlu menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna seperti kasus saya. Permisi."

"Saya sudah disumpah untuk melindungi semua warga negara di republik tercinta ini tanpa kecuali apapun professinya. Walau saya tidak menyukai pekerjaan Anda, tetapi Anda tetap berhak mendapatkan perlindungan hukum dari saya, Bu Maya."

Maya ingat, waktu itu ia sama sekali tidak mau mendengarkan apapun kata-kata yang keluar dari mulut pedas Orlando lagi. Hewan yang tidak memiliki akal saja bisa mencari makanannya sendiri. Masa dia sebagai seorang manusia tidak bisa? Ia yakin asal dia mau bekerja insya allah pasti akan ada jalan keluarnya.

Hampir dua jam berjalan tanpa henti membuat Maya merasa sangat haus dan lapar. Ia memang tidak memiliki apapun sekarang.

Pakaiannya saja pun masih inventaris rumah sakit. Ia keluar rumah sakit hanya memakai piyama dengan tulisan nama rumah sakit di pakaiannya. Maya tersenyum gembira saat melihat ada pekerjaan galian tanah di depannya. Puluhan pekerjanya tampak sedang menikmati makan siang di bawah pohon besar jalan yang teduh. Maya menyeret dengan susah payah kedua kakinya yang rasanya sudah begitu pegal. Bungkusan nasi padang mereka membuat perut laparnya memberontak seketika. Ususnya melilit-lilit dan cacing-cacing di perutnya langsung demo seketika saat mencium harumnya aroma nasi padang.

"Selamat siang, Bapak-Bapak. Apa saya boleh ikut membantu pekerjaan Bapak-Bapak sekalian?" Maya melihat para pekerja itu saling berpandangan dengan teman-temannya. Mungkin mereka mengira ia gila. Berkeliaran dengan wajah penuh luka lebam dan seragam rumah sakit, tetapi malah meminta kerja. Aneh sekali bukan?

"Neng kan masih sakit. Kenapa malah mau kerja?" Maya melihat seorang bapak paruh baya menatapnya dengan pandangan prihatin. Dan Maya tidak menyukai pandangan mengasihani seperti itu. Ia sehat, hanya masalah waktunya saja yang belum tepat. Mungkin dua minggu lagi ia akan sehat seperti sedia kala.

"Saya memang belum seratus persen sehat, Pak. Tapi saja bisa kalau hanya melansir tanah galian itu menuju tempat pembuangannya di sudut sana. Saya juga bisa kok menggunakan kereta sorong. Bapak mau bukti? Biar saya praktekkan sekalian."

"Kalau Neng memang mau bekerja, kenapa tidak mencoba ke toko-toko saja. Pekerjaannya tidak berat. Cocok untuk anak perempuan seperti Eneng." Bapak yang sepertinya kepala proyek tadi mencoba memberi nasehat pada Maya.

"Saya sudah mencoba bertanya pada semua toko-toko itu tadi, Pak. Tetapi masalahnya mereka tidak mau menerima saat keadaan saya babak belur begini. Nanti saya malah menakuti pengunjung kata mereka. Sementara sa-saya lapar dan haus sekali, Pak. Saya butuh pekerjaan sekarang." Maya merasa wajahnya memerah saat mengakui kalau ia sedang lapar dan haus.

"Oh kalau begitu, ini Eneng ambil saja bagian Bapak dan ini air minum di plastik Bapak. Eneng makan aja, nggak usah beker-"

"Nggak bisa begitu dong, Pak. Saya tidak mau makan tanpa bekerja. Sebentar saya pindahkan bahan galian itu dulu sekuat saya, nanti baru saya makan."

Setelah mengatakan itu Maya mulai meraih sekop dan memindahkan batu dan tanah galian kedalam kereta sorong. Kemudian Maya memindahkannya ke sudut tempat pembuangan. Setelah bolak balik menggunakan kereta sorong hampir sebelas kali, Maya merasa sudah tidak sanggup lagi melakukannya. Barulah ia meraih sebungkus nasi dan memakannya dengan lahap. Ia memang lapar sekali. Bapak kepala proyek dan anak-anak buahnya pun memandangi Maya dengan tatapan aneh bercampur kagum. Walaupun dalam keadaan babak belur tapi wanita ini sangat cantik sekaligus sangat tangguh. Mereka bukannya tidak melihat bagaimana ia bersusah payah bekerja dengan tangan gemetaran karena lapar, tetapi ia tidak mau makan gratis begitu saja. Wanita ini tangguh!

Baru saja Maya membuang sampah makanannya dan bersiap untuk kembali bekerja, sebuah lengan kuat menariknya dan membuang sekopnya begitu saja. Thoriq Bratadikara!

"Lo ngapain di sini? Kalo lo emang butuh pekerjaan, ayo lo kerja di kantor gue aja. Menyedihkan amat seorang Candramaya Daniswara Bratadikara jadi tukang gali tanah jalanan. Dan kalo lo emang nggak mau pulang ke rumah Bang Naya, lo bisa tinggal balik di apartemen kita. Gue masih tinggal di sana sebelum lo tiba-tiba ninggalin gue yang masih berstatus pacar lo dan menikah dengan Bang Naya. Gue masih mencintai lo Maya, walau lo udah berjuta-juta kali nyakitin hati gue!"

"Mbak pernah tinggal sama kamu Thoriq? Kapan?" tanya Maya bingung.

"Ya saat lo jadi pacar gue lah. Kita pacaran hampir setahun saat lo tiba-tiba menikah dengan Bang Naya tanpa setahu gue yang saat itu masih ada pekerjaan di luar kota. Gue sampai sekarang bahkan nggak tahu kenapa lo ninggalin gue dan tiba-tiba nikah sama Bang Naya. Padahal lo udah janji mau berubah dan nggak jualan lagi."

Maya meremas rambutnya sendiri. Ternyata begitu buruk kelakuannya selama ini ya Allah. Maya sampai bingung sendiri bagaimana cara memperbaiki akhaqnya sendiri yang sudah kesohor buruknya ke mana-mana.

"Mbak minta maaf ya ,Thoriq kalau dulu Mbak punya banyak salah sama kamu. Maaf karena Mbak belum ingat sama sekali. Tapi mulai sekarang Mbak ingin menjalani hidup dengan cara Mbak sendiri. Permisi ya Thoriq, Mbak mau bekerja untuk membayar sebungkus nasi yang telah Mbak makan tadi."

Maya mendengar Thoriq memaki pelan dan mulai melepas jasnya. Ia juga terlihat menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. Thoriq merebut sekop begitu saja dari tangan Maya dan langsung saja bekerja. Lengan kuatnya menyekop hingga memenuhi daya tampung maksimal kereta sorong. Thoriq melakukannya hanya dalam beberapa kali saja dan pekerjaannya pun usai sudah.

"Pekerjaan lo udah gue selesaiin. Sekarang lo ikut gue pulang. Dan jangan nyebut-nyebut diri lo Mbak di depan gue. Geli kuping gue ngedenger nya. Lo itu bahkan lima tahun lebih muda dari gue. Ayo kita pulang!" Thoriq kembali menarik paksa lengan Maya.

"Mbak memang masih berstatus sebagai kakak ipar kamu walau berapa pun usia Mbak, Thoriq. Terimakasih Mbak ucapkan karena sudah membantu Mbak tadi. Tapi Mbak tetap tidak mau ikut dengan kamu. Titik."

"Kenapa? Lo mau ngarep mau balikan sama Bang Naya? Nih gue kasih tau ya, Bang Naya akan segera menikah dengan Mbak Rheina sekretarisnya setelah ketok palu dari pengadilan. Sebenernya udah lama abang gue itu ada main dengan sekretarisnya. Lo aja yang bodoh, percaya banget sama kesetiaan Bang Naya. Jadi lo nggak usah ngarep lagi sama abang gue. Dia udah nggak cinta lagi sama lo!"

"Syukur alhamdulillah kalau Mas Naya akhirnya menemukan orang yang lebih baik untuk mencintai dan dicintainya. Mbak turut berbahagia atas pernikahan mereka kelak, Dik."

Maya sengaja memanggil Thoriq dengan sebutan Dik, agar adik iparnya ini semakin sadar posisi.

"Dik? Lo manggil gue Adik? Lo emang orangnya kalo nggak dipaksa nggak bakalan nurut ya dari dulu!" Thoriq menyeret lengan Maya menuju ke arah mobilnya di parkir.

"Lepaskan Thoriq! Lepas!" Maya terus saja berupaya melepaskan cengkraman kuat Thoriq di pergelangan tangannya.

"Lepaskan dia, atau Anda akan saya tahan atas pasal ancaman kekerasan yang diatur dalam Pasal 368 ayat 1 KUHP." Orlando yang sebenarnya tidak pernah melepaskan pengawasannya terhadap Maya akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Thoriq yang melihat kedatangan Orlando cuma mendengus kesal dan langsung saja berjalan kearah mobilnya dan tancap gas pergi meninggalkan mereka semua. Dia paling malas kalau di suruh baku mulut dengan polisi menyebalkan ini.

"Cukup sudah tingkah menyebalkan Anda yang membuat saya setengah hari ini seperti seorang penguntit gila kurang kerjaan. Sekarang Anda ikut pulang ke rumah bersama saya, Bu Maya!"

Orlando mengangkat tubuh mungil Maya dan menyampirkannya di bahu lebarnya seperti sekarung beras saja. Dia sudah capek main kucing-kucingan dengan wanita keras kepala ini.

"Dengar ya, Pak AKBP Orlando Atmanegara. Anda juga bisa saya tuntut dengan pasal yang Anda sebutkan tadi kepada adik ipar saya. Saya tidak sudi ikut pulang ke rumah Anda dasar polisi sialan kurang belaian!"

Maya mengamuk dan memukul-mukul punggung lebar Orlando di sepanjang jalan menuju mobilnya. Tawa terdengar dari para pekerja bangunan yang melihat live show Maya Orlando yang lumayan sedikit bisa menghibur kepenatan mereka.

===================

"Selamat pagi AKBP Orlando Atmanegara, ayo silahkan dinikmati dulu kopinya. Akhir-akhir ini sepertinya kopi cocok sekali untuk menemani hari-hari kita berdua bukan?"

Atasan Orlando saat ini, KomJendPol Fatah Antariksa menyesap kopi dan menggeser secangkir kopi hitam lainnya ke arahnya.

"Seingat saya Pak KomJend baru saja menikah. Seharusnya Bapak tidak memerlukan kopi untuk malam-malam Bapak, tetapi memerlukan Ibu Rani. Maaf kalau perkiraan saya salah."

Orlando meraih kopi yang ditawarkan atasan sekaligus rivalnya ini. KomjendPol Fatah Antariksa ini memang sedang ketiban sial versinya sendiri. Setelah salah sasaran saat ingin menjebaknya dan malah dia sendiri yang terjebak, sepertinya atasannya ini sekarang sudah insyaf.

"Itu kalau mempelai wanitanya ikhlas dan rela menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Tapi kalau Rani, Anda kan sudah tahu sendiri seperti apa karakternya. Saya malah sudah dua minggu terakhir ini tidur disofa."

Fatah langsung merasa jijik sendiri karena secara tidak sengaja telah curcol kepada bawahannya.

"Itu lah kalau pernikahnnya karena digerebek orang tua sendiri dan bukannya karena niat baik atau ibadah. Niat bapak yang ingin menjebak saya, malahan menjebak bapak dalam situasi seperti ini seumur hidup bapak bukan?" Orlando hanya menanggapi datar curhat colongan atasannya.

Bermain air ya basah, bermain api ya hangus, Pak. Daripada Bapak terus menerus mengeluh, bukankah lebih baik kalau Bapak mencoba untuk kompromis terhadap keadaan?"

"Ini ceritanya Anda mau menasehati atasan Anda sendiri AKBP Orlando Atmanegara?" Fatah mendadak sadar kalau ia tengah diceramahi oleh bawahannya sendiri. Hah! mana bisa seperti itu, hilanglah nanti wibawanya.

"Pak Komjend yang terlebih dahulu membahasnya. Saya hanya menjawab curhatan Bapak sepantasnya demi kesopanan saja."

Fatah memutar bola matanya ke atas. AKBPnya ini memang menjawab apapun yang ditanyakan kepadanya secara lugas dan jujur. Tidak ada yang namanya tarik ulur dan diplomasi berlebihan di dalam sifatnya. Datar dan lurus seperti jalan tol.

"Ya sudah, lupakan. Sekarang bagaimana dengan perkembangan kasus Candramaya Daniswara?"

"Belum ada perkembangan yang berarti Pak KomJend. Beliau masih amnesia dan tidak bisa memberikan satu keterangan pun kepada saya."

"Jadi bagaimana langkah berikutnya yang akan Anda ambil?"

"Saya akan mulai menyelidikinya mungkin dari pria yang menyimpannya saat ini, si politisi. Sepertinya ada kemungkinan dia, atau kekasih lain yang cemburu pada Bu Maya mengingat reputasinya yang yah Bapak tahu sendiri seperti apa. Atau mungkin juga wanita-wanita lain yang cemburu dan sakit hati padanya karena suami-suami mereka yang telah ia rebut. Bu Maya mempunyai sembilan puluh sembilan persen musuh dan hanya satu persen teman Pak KomJend."

Orlando melihat atasannya mulai meluruskan kedua kaki panjangnya dan mengerakkan pinggangnya memutar kekanan dan kekiri sambil menguap lebar. Atasannya ini terlihat mengantuk dan kurang tidur. Tidur di sofa memang amat tidak sangat menyenangkan bagi pria-pria bertubuh besar seperti mereka.

"Lakukan apa yang menurut Anda berguna dan jangan lupa untuk mengabari saya mengenai perkembangan kasus ini. Oh ya, di mana saat ini Bu Maya tinggal?"

Orlando menarik nafas panjang dua kali dan berusaha untuk membuat ekspresinya sedatar mungkin sebelum menjawab pertanyaan atasannya.

"Dengan saya, Pak KomjendPol." Orlando melihat atasannya mulai mengerutkan dahi.

"Bukankah ia punya suami dan keluarga? Ada ayah, ibu dan kakak laki-lakinya kalau tidak salah?" Fatah merasa ada yang tidak beres disini. AKBP nya terlihat terlalu ingin menguasai Maya.

"Saya sudah menghubungi suami dan keluarganya. Tetapi mereka semua tidak ada yang bersedia menerima Bu Maya."

"Dia punya rumah mewah yang baru di belikan si politisi bukan? Dan memang dia tinggal di sana seharusnya bukan?"

"Ia akan lebih aman jika berada di bawah perlindungan saya, Pak Komjend." Orlando membalas tatapan penuh spekulasi atasannya dengan tatapan datar lurus andalannya. Orang akan susah sekali menebak pikirannya dengan ekspresi nya yang seperti ini. Fatah membiarkan aksi saling tatap mereka berlangsung agak lama. Fatah hanya ingin menguji sampai sejauh mana bawahannya ini mampu bersikap professional. Semua orang yang mengenal Candramaya Daniswara pasti tahu bahwa tidak ada pemilik hormon testosteron yang akan kebal pada pesonanya. Mereka berdua sama-sama laki-laki dan sama-sama tahu akan hal itu.

"Saya yakin bahwa saya cukup mengenal Anda, Pak AKBP. Dan saya harap Anda tidak mengambil keuntungan dari orang yang tidak sehat jiwa dan raganya bukan, Pak AKBP?"

"Saya tidak pernah memaksakan diri saya kepada orang yang tidak bersedia, Pak KomJendPol." Jawab Orlando dingin.

"Saya tidak mengatakan tentang pemaksaan secara harafiah Pak AKBP. Saya merujuk pada manipulasi, oportunisme dan rayuan jika perlu." Sahut atasannya kalem.

"Saya berjanji bahwa saya tidak akan melukai Bu Maya dalam hal apapun Pak Komjend. Saya akan bersikap professional disini sampai penjahat itu ditangkap atau ia mendapatkan ingatannya kembali. Anda bisa memegang janji saya. Satu hal lagi Pak KomJend, Bu Maya itu bukan wanita baik-baik. Dia itu wanita penghibur. Manipulasi dan rayuan adalah alat dalam menjalankan bisnisnya. Hanya karena ingatannya yang hilang tidak akan merubah fakta siapa dirinya yang sebenarnya. Arang itu, jika dibasuh dengan air mawar sekalipun, tiada akan putih kembali."

Fatah terdiam. Dia cukup mengenal baik seorang Orlando. Biasanya AKBP nya ini tidak suka menghujat apalagi menghina seseorang. Dan hari ini dia melakukan kedua hal itu sekaligus.

"Hati-hati dalam berbicara Pak AKBP. Ingat ada satu pribahasa yang baru saja saya rasakan kebenarannya."

"Apa itu Pak KomjendPol?"

"Senjata makan tuan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status