Share

3. Pertemuan Pertama

“Ini guru les barunya, Mas Arka!”

Aku menatap seorang perempuan yang dibawa Budhe ke hadapanku. Guru kali ini berbeda dari guru-guru sebelumnya. Aku tebak, usianya baru 20-an awal, masih muda jika dibandingkan dengan guru les sebelumnya.

Matanya seperti biji almond yang berbentuk bulat tapi mengerucut di bagian ujung. Bibirnya mungil dengan warna merah delima. Lalu hidungnya .... Ops! Fokus Arka, fokus! Kenapa aku jadi memperhatikan wajahnya sampai sebegitunya, sih? Ingat, dia hanya akan menjadi penghalangmu menikmati masa muda, kau harus buat dia tak betah di sini!

“Oh, selamat sore, Bu Guru.” Aku tersenyum, berusaha bersikap sesopan mungkin. Ini masih permulaan Arka, jadilah anak baik di matanya. 

“Sore.” Ia membalas sapaanku dengan suara datar. Kurasa dia tipikal guru yang tidak disukai murid-muridnya, yang jika tidak masuk kelas karena sakit, spontan para murid akan mengucapkan hamdalah bersama-sama.

“Namanya Mbak Yura, Mas. Panggil Mbak saja, masih muda gini.” Budhe tertawa. “Mbak Yura ini masih kuliah, sedang mengerjakan skripsi.”

Hmm … mahasiswa toh ternyata. Pasti ia golongan mahasiswa miskin, uang kiriman orang tua pas-pasan, suka nebeng makan di kondangan, kalau pengen sok bule, sarapan roti yang dibakar pakai setrika. Pantas saja harus kerja sambilan jadi guru les.

“Ya sudah, Budhe tinggal, ya. Silakan, Mbak Yura.” Baru saja Budhe jalan selangkah tiba-tiba ia menoleh lagi. “Mas Arka, jangan bertingkah yang aneh-aneh lagi, ya!” katanya sambil mengacungkan jari telunjuk ke arahku.

“Heem. Iya Budhe, iya .…” Aku menjawab sambil menyembunyikan jari yang bersilang di balik punggung. Tanda kalau aku berbohong.

***

Momen usil pun dimulai. Meski ponselku baru saja disita oleh bu-guru-cantik-tapi-jutek-banget itu, toh aku masih punya beberapa rencana jitu lainnya.

Bu Yura pun nampak siap memulai debut sebagai guru lesku. Debut? Hah, sudah kayak idol K-pop aja! Meski kalau dilihat-lihat, ia tak kalah cantik dengan Jenny Black Pink, sih.

Woi! Sadar Arka, sadar! Aku menampar pelan pipiku sendiri.

“Baik Arka, saya akan memberi kamu soal.” Bu Yura lekas mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. “Saya perlu tahu sampai di mana kompetensi kamu.”

“Izin ke belakang sebentar, Bu.” Aku mengangkat tanganku.

“Silakan,” jawabnya lalu membalikkan badan ke arah papan, menulis sesuatu.

Di dapur, kulihat Budhe sedang mengaduk-aduk teh. Ah, itu pasti buat bu guruku. “Biar Arka yang bawakan, Budhe.”

Budhe menatapku curiga. “Mas, jangan dikasih yang aneh-aneh, lho!”

“Ih, Budhe suuzon aja, nih,” kataku lalu menyambar nampan dengan dua cangkir teh di atasnya.

Sebelum memasuki ruang tamu, buru-buru aku meraih sesuatu dari saku. Kumasukkan serbuk ke dalam salah satu cangkir teh. Akan kubuat guru baru itu kapok datang ke rumah ini lagi. Aku terkekeh sendiri.

“Bu Guru, diminum dulu, Ibu pasti haus, tadi ke sini naik angkot, kan?” tanyaku sok perhatian.

“Saya puasa,” jawabnya sambil tersenyum.

Argh! Rencana pertama gagal. Sejahiliyah-jahiliyahnya aku, tak mungkin juga maksa orang membatalkan puasanya, aku masih takut masuk neraka jahannam.

Oke rencana kedua harus dijalankan kalau begitu. Wajahku mendekati kepala Bu Yura lalu berbisik, "Bu, ngerasa ada hawa-hawa aneh nggak, sih?" Aku berakting dengan mengusap tengkukku.

"Nggak ada, biasa aja!" jawab bu guruku ketus.

"Oh, mungkin Ibu nggak lihat. Sebenarnya, di sebelah Ibu ada tuyul yang sedang ngelihatin Ibu."

"Terus?" Ia menoleh. Menghentikan aktivitasnya menulis di papan.

"Dia katanya mau ikut Ibu. Lebih baik sekarang Ibu cepat pulang, sebelum dia panggil temen-temennya. Biar saya yang menahan dia di sini."

"Mau ikut? Silakan." Bu Yura malah tertawa, seperti tak ada takut-takutnya sama sekali. "Di kos saya uangnya sedikit, kok! Pasti tuyulnya nyesel."

"Ayo, kerjakan soalnya!" Ia menyodorkan sebendel kertas.

Sial! Aku terus memutar otak. Bukan untuk menjawab soal yang ia beri tentu saja, tapi memikirkan bagaimana cara mengerjainya agar tak betah menjadi guru lesku, sama seperti guru-guruku yang sebelumnya.

Ah, kulihat ia masih asik menulis di papan. Mengendap-endap aku berusaha kabur. Nanti saat menoleh, pasti dia bingung mengapa muridnya menghilang.

Sampai diujung pintu, aku sudah bersorak dalam hati. Aku berjalan mundur sambil melambaikan tangan padanya yang masih menghadap ke papan tulis berwarna putih.

"Bye-bye Bu Guru, tembok tuh, diajarin, biar pinter!" Aku bicara berbisik lalu terkekeh pelan. Namun tiba-tiba saat selangkah lagi kakiku mundur, aku terjatuh tersandung sesuatu.

Ember? Siapa yang iseng menaruh ember berisi air di depan pintu? Dan a-apa ini yang melompat-lompat di sampingku? Asatagaaa ... LELE?

"Toloooong, huaaaa." Aku menjerit seraya berlari menjauh. Kembali masuk ke ruang tempatku belajar tadi sambil berteriak-teriak memanggil Budhe dan Mas Deny. Sementara itu kulihat Bu Yura menoleh, tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala, membuatku curiga, apa ia yang sengaja mengerjaiku? Kurang ajar!

Gara-gara berteriak heboh, tenggorokanku jadi sakit, cepat kusambar segelas teh yang ada dibatas meja, dan meneguknya sampai tandas. Tapi, mengapa rasanya aneh?

Astagaa, ini kan, teh milik Bu Yura yang tadi sudah kuberi serbuk obat pencahar! Tiba-tiba aku merasakan perutku seperti diremas-remas. Secepat kilat aku berlari ke kamar mandi terdekat, namun saat mendorong pintunya, rupanya terkunci. "Woooy, siapa di dalam sih, cepetan keluaaar," pekikku bersamaan dengan bunyi "brot" dan bau tak enak terendus di indra penciumanku.

Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Siti Asih
bahahaha bener2 kuwalat.. semoga masih ada lagi buat ngebales kelakuan Arka yg kemaren2..
goodnovel comment avatar
Devi Susanti
makanya jangan usil ,senjata makan tuankan jadinya
goodnovel comment avatar
Isabella
wkwkwkwkwk senjata makan tuan rasain
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status