“Ini guru les barunya, Mas Arka!”
Aku menatap seorang perempuan yang dibawa Budhe ke hadapanku. Guru kali ini berbeda dari guru-guru sebelumnya. Aku tebak, usianya baru 20-an awal, masih muda jika dibandingkan dengan guru les sebelumnya.
Matanya seperti biji almond yang berbentuk bulat tapi mengerucut di bagian ujung. Bibirnya mungil dengan warna merah delima. Lalu hidungnya .... Ops! Fokus Arka, fokus! Kenapa aku jadi memperhatikan wajahnya sampai sebegitunya, sih? Ingat, dia hanya akan menjadi penghalangmu menikmati masa muda, kau harus buat dia tak betah di sini!
“Oh, selamat sore, Bu Guru.” Aku tersenyum, berusaha bersikap sesopan mungkin. Ini masih permulaan Arka, jadilah anak baik di matanya.
“Sore.” Ia membalas sapaanku dengan suara datar. Kurasa dia tipikal guru yang tidak disukai murid-muridnya, yang jika tidak masuk kelas karena sakit, spontan para murid akan mengucapkan hamdalah bersama-sama.
“Namanya Mbak Yura, Mas. Panggil Mbak saja, masih muda gini.” Budhe tertawa. “Mbak Yura ini masih kuliah, sedang mengerjakan skripsi.”
Hmm … mahasiswa toh ternyata. Pasti ia golongan mahasiswa miskin, uang kiriman orang tua pas-pasan, suka nebeng makan di kondangan, kalau pengen sok bule, sarapan roti yang dibakar pakai setrika. Pantas saja harus kerja sambilan jadi guru les.
“Ya sudah, Budhe tinggal, ya. Silakan, Mbak Yura.” Baru saja Budhe jalan selangkah tiba-tiba ia menoleh lagi. “Mas Arka, jangan bertingkah yang aneh-aneh lagi, ya!” katanya sambil mengacungkan jari telunjuk ke arahku.
“Heem. Iya Budhe, iya .…” Aku menjawab sambil menyembunyikan jari yang bersilang di balik punggung. Tanda kalau aku berbohong.
***
Momen usil pun dimulai. Meski ponselku baru saja disita oleh bu-guru-cantik-tapi-jutek-banget itu, toh aku masih punya beberapa rencana jitu lainnya.
Bu Yura pun nampak siap memulai debut sebagai guru lesku. Debut? Hah, sudah kayak idol K-pop aja! Meski kalau dilihat-lihat, ia tak kalah cantik dengan Jenny Black Pink, sih.
Woi! Sadar Arka, sadar! Aku menampar pelan pipiku sendiri.
“Baik Arka, saya akan memberi kamu soal.” Bu Yura lekas mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. “Saya perlu tahu sampai di mana kompetensi kamu.”
“Izin ke belakang sebentar, Bu.” Aku mengangkat tanganku.
“Silakan,” jawabnya lalu membalikkan badan ke arah papan, menulis sesuatu.
Di dapur, kulihat Budhe sedang mengaduk-aduk teh. Ah, itu pasti buat bu guruku. “Biar Arka yang bawakan, Budhe.”
Budhe menatapku curiga. “Mas, jangan dikasih yang aneh-aneh, lho!”
“Ih, Budhe suuzon aja, nih,” kataku lalu menyambar nampan dengan dua cangkir teh di atasnya.
Sebelum memasuki ruang tamu, buru-buru aku meraih sesuatu dari saku. Kumasukkan serbuk ke dalam salah satu cangkir teh. Akan kubuat guru baru itu kapok datang ke rumah ini lagi. Aku terkekeh sendiri.
“Bu Guru, diminum dulu, Ibu pasti haus, tadi ke sini naik angkot, kan?” tanyaku sok perhatian.
“Saya puasa,” jawabnya sambil tersenyum.
Argh! Rencana pertama gagal. Sejahiliyah-jahiliyahnya aku, tak mungkin juga maksa orang membatalkan puasanya, aku masih takut masuk neraka jahannam.
Oke rencana kedua harus dijalankan kalau begitu. Wajahku mendekati kepala Bu Yura lalu berbisik, "Bu, ngerasa ada hawa-hawa aneh nggak, sih?" Aku berakting dengan mengusap tengkukku.
"Nggak ada, biasa aja!" jawab bu guruku ketus.
"Oh, mungkin Ibu nggak lihat. Sebenarnya, di sebelah Ibu ada tuyul yang sedang ngelihatin Ibu."
"Terus?" Ia menoleh. Menghentikan aktivitasnya menulis di papan.
"Dia katanya mau ikut Ibu. Lebih baik sekarang Ibu cepat pulang, sebelum dia panggil temen-temennya. Biar saya yang menahan dia di sini."
"Mau ikut? Silakan." Bu Yura malah tertawa, seperti tak ada takut-takutnya sama sekali. "Di kos saya uangnya sedikit, kok! Pasti tuyulnya nyesel."
"Ayo, kerjakan soalnya!" Ia menyodorkan sebendel kertas.
Sial! Aku terus memutar otak. Bukan untuk menjawab soal yang ia beri tentu saja, tapi memikirkan bagaimana cara mengerjainya agar tak betah menjadi guru lesku, sama seperti guru-guruku yang sebelumnya.
Ah, kulihat ia masih asik menulis di papan. Mengendap-endap aku berusaha kabur. Nanti saat menoleh, pasti dia bingung mengapa muridnya menghilang.
Sampai diujung pintu, aku sudah bersorak dalam hati. Aku berjalan mundur sambil melambaikan tangan padanya yang masih menghadap ke papan tulis berwarna putih.
"Bye-bye Bu Guru, tembok tuh, diajarin, biar pinter!" Aku bicara berbisik lalu terkekeh pelan. Namun tiba-tiba saat selangkah lagi kakiku mundur, aku terjatuh tersandung sesuatu.
Ember? Siapa yang iseng menaruh ember berisi air di depan pintu? Dan a-apa ini yang melompat-lompat di sampingku? Asatagaaa ... LELE?
"Toloooong, huaaaa." Aku menjerit seraya berlari menjauh. Kembali masuk ke ruang tempatku belajar tadi sambil berteriak-teriak memanggil Budhe dan Mas Deny. Sementara itu kulihat Bu Yura menoleh, tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala, membuatku curiga, apa ia yang sengaja mengerjaiku? Kurang ajar!
Gara-gara berteriak heboh, tenggorokanku jadi sakit, cepat kusambar segelas teh yang ada dibatas meja, dan meneguknya sampai tandas. Tapi, mengapa rasanya aneh?
Astagaa, ini kan, teh milik Bu Yura yang tadi sudah kuberi serbuk obat pencahar! Tiba-tiba aku merasakan perutku seperti diremas-remas. Secepat kilat aku berlari ke kamar mandi terdekat, namun saat mendorong pintunya, rupanya terkunci. "Woooy, siapa di dalam sih, cepetan keluaaar," pekikku bersamaan dengan bunyi "brot" dan bau tak enak terendus di indra penciumanku.
"A-Arka, menikah, Pa?" Sampai terbata-bata aku bertanya saking kagetnya.Mengurus diri sendiri saja aku belum bisa, sekarang mau ditambahi beban ngurusin anak orang. Lihat saja kamarku! Celana dalam kotor di mana-mana, handuk basah seringnya masih di atas kasur. Kalau menikah, arrgh ... tak bisa kubayangkan tiap hari harus rela mendengar omelan istri karena hal sepele begini.“Iya, kamu menikah!" Papa menjawab santai. "Papa sudah putus asa menghadapi kamu, Arka. Saatnya Papa menggunakan cara lain agar kamu jadi pria yang lebih bertanggung jawab. Kamu akan belajar banyak hal dengan menikah, yakinlah!” “Tapi Pa, Arka masih SMA, belum cukup umur! Pasti akan ditolak sama petugas KUA, deh!"Kupikir, Papa akan sadar dengan kekeliruannya yang buru-buru hendak menikahkanku, tapi ia malah tertawa. “Kamu sudah dua puluh tahun Arka. Lupa ya, kalau kamu sudah dua kali tinggal kelas?”Sial! Benar juga! Aku menarik napas, lalu membuangnya kasar, sambil berpikir alasan apalagi yang harus kugunakan
“Lihat nih, Pa!” Aku menunjukkan lebam di pipiku pada Papa. Semua ini gara-gara Zaydan, adiknya Bu Yura. Entah apa maksudnya ia tadi tiba-tiba datang ke rumah lalu melayangkan tinjunya pada wajah tampanku.Papa yang sedang membaca buku di ruang tengah melihatku sepintas. “Papa sudah tahu, Yura sudah menelepon Papa meminta maaf. Papa juga sudah melihat rekaman CCTV kejadiannya.” Papa menjawab santai, seolah tak ada sesuatu yang serius terjadi. Sungguh, tak sesuai ekspektasiku. Ia malah kembali asik dengan buku bacaannya.“Pernikahannya batalkan saja, Pa!” ujarku.“Hush!” Papa mengibaskan tangan. “Justru kejadian tadi membuat Papa semakin yakin untuk menikahkan kalian.”Hah? “Emang Papa mau punya mantu yang keluarganya barbar kayak gitu?”“Bukan barbar. Itu namanya sibling goals!”Keningku berkerut. Dih, Papa gaya banget pakai istilah kekinian!“Adiknya terlalu sayang sama kakaknya, makanya sampai cari info tentang kamu. Dia nggak rela, begitu tahu calon suami kakaknya bocah SMA beranda
“Sah?”“Sah!”“Sah!”Suara para saksi bersahutan setelah aku mengucap kalimat ijab kabul dengan menjabat tangan Zaydan."Alhamdulillah …."Sesaat kemudian Mas Deny datang membawakan cincin.“Ayo, Mas Arka, cincinnya dipakaikan ke Mbak Yura,” titah penghulu.Ehem, pasang di jarinya Yura? Harus banget gitu? Kenapa nggak pakai sendiri saja?“Ayo, Mas, nunggu apa?” Ini yang ngebet kenapa malah Pak Penghulu, sih!“I-iya, Pak.” Aku menjawab grogi. Dengan tangan sedikit bergetar aku mengambil cincin dari wadah mungil berwarna merah hati. Kulihat tangan Bu Yura sudah terulur ke arahku.“Arka, lama amat! Pegel, nih!” bisiknya.Heran, Bu Yura nggak ada gugup-gugupnya menikah, maunya cepat-cepat saja.Akhirnya kusematkan juga cincin di jari manisnya. Aku terkejut ketika merasakan sentuhan lembut bibir dan hidung perempuan itu di punggung tanganku. Dulu sewaktu kecil aku selalu melihat Mama mencium punggung tangan Papa seperti ini. Lalu setelahnya, Papa akan ....“Mas Arka cium kening Mbak Yura,
“Ma- masa kita sekasur juga?” tanyaku yang kini berdiri di sisi tempat tidur. Yura yang sedari tadi sibuk memainkan ponsel di atas kasur menoleh. “Tempat tidurku hanya satu. Tidur saja di lantai kalau mau." “Kalau nggak mau?” “Ya, tidur sini, bersamaku!” Ia menepuk-nepuk kasur sembari tersenyum. “Nggak mau! Kamu yang tidur di lantai, aku kan tamu!” protesku. “Ya nggak bisa dong Arka, kamu itu suami, sudah bukan tamu lagi. Kalau aku tidur di bawah, terus masuk angin kamu mau ngerikin?” “Nggak, nggak!” Aku menggeleng cepat. “Kalau begitu... Pinjem selimut!” Dengan kasar kutarik selimut yang sedang digunakannya, lalu menata di lantai dan berbaring membelakangi ranjang. Sungguh sulit untuk benar-benar terlelap di kamar ini. Berulang kali aku menengok jam dinding, rasanya waktu berjalan begitu lambat. Pelan-pelan aku membalikkan tubuh. Kulihat mata Yura sudah terpejam, syukurlah. Aku beranjak mendekati ranjang. Kuambil ponsel yang masih setengah tergenggam di tangannya, lalu mele
“Tempat tinggal kalian sekarang bukan di sini!”Baru saja aku sampai rumah dan merebahkan badan di sofa, Papa sudah mengatakan hal yang membuatku kaget.Apalagi ini? Setelah dipaksa menikah, sekarang aku diusir dari rumah?“Tapi di apartemen milik Yura,” sambung Papa.“Nggak Pa, masa Arka menumpang di tempat Yura,” tolakku. Di mana harga diriku coba, numpang tinggal di rumah istri.“Kalau Papa mau Arka dan Yura tidak tinggal di rumah ini lagi, Arka harus punya apartemen sendiri.” Aku mencoba memberikan penawaran. Ya kali aja, habis ini Papa akan melepas satu apartemennya untukku. Masa, mantu yang notabene orang lain dikasih, anaknya sendiri nggak. Sungguj ther-la-lu, kalau kata Bang Haji.“Apa kau punya uang untuk membelinya? Papa tidak mau memberimu cuma-cuma.” Papa berkata tegas.“Tega Papa, sebenarnya Arka ini anak kandung Papa bukan sih?” Aku merengut, tapi Papa malah tertawa.“Justru, karena kamu anak kandung Papa satu-satunya yang paling Papa sayang. Sudah cukup Papa terlalu me
“Arka!!” Si tubuh gempal Bimo menoyor kepalaku dari belakang. Kebiasaan kami kalo ketemu memang begitu saling toyor menoyor. “Eh, rambut lo basah!” Tangan Bimo kembali menyentuh kepalaku, kali ini sambil mengacak-ngacak rambutku, “Iya rambut lo basah!” “Apaan sih lo Mo, ga pernah lihat rambut basah apa gimana?” Aku menjawab sebal. Masih kesal dengan serentetan kejadian yang kualami beberapa hari ini. Bimo menarik tanganku menuju sudut sekolahan yang sepi. “Heh lo mau apa?” hardikku yang kaget dengan tarikan tangan Bimo. “Ciyee yang habis malam pertama ciyeee…” Astaga…. Cepat-cepat aku membekap mulut Bimo, kalau ada yang tahu bisa gawat. “Awas lo ya kalo ember!” ancamku. “Berarti bener, lo udah malam pertama?” Mata Bimo melotot, mulutnya menganga. Jijay! “Bukan itu maksud gue, lo jangan ember kasih tau orang-orang kalo gue udah nikah,” jawabku mengklarifikasi. “Lagian malam pertama apaan sih? Nggak ada malam pertama. Gue kan udah bilang, malam pertama gue, hanya buat cewek
Aku melotot begitu mendengar nama yang sangat familiar itu disebut-sebut bu Santi. Azyura? Sekelas langsung heboh begitu sosok ibu guru baru itu muncul di hadapan mereka. “Ka, itu mirip Bu Azyura, guru les lo!” Bimo menyenggol lenganku. Ia memang pernah sekali melihat Azyura watu main ke rumahku. “Sial ngapain, dia ngikutin gue sampai ke sini sih!” Aku mendesah. “Jadi bener itu Azyura-nya elo?” Aku menarik napas panjang lalu mengangguk. “Cakep emang!” gumam Bimo, pandangan matanya tak lepas dari Yura, penuh kekaguman. “Istri orang woy!” aku menoyor kepalanya. Entah mengapa ada perasaan tak rela Yura dipandang seperti itu oleh lelaki lain. “Lo kan ngga cinta katanya,” Bimo membela diri. “I.. iya sih!” aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. “Tapi tetep aja lo ngga boleh begitu, awas lo ya!” aku mengepalkan tangan. “Ciyee cemburuuu..” ledeknya dengan suara lirih. “Silakan Bu Yura, bisa mulai pembelajaran hari ini,” Bu Santi lantas pamit meninggalkan kelas. “Assalamualaikum,” s
“Tempe lagi?” Aku berdecak setelah membuka tudung saji. Kemarin siang makan tempe goreng, malamnya kering tempe, lalu sekarang… “Nasi goreng tempe!” Yura memperjelas. “Resep dari mana sih nasi goreng tempe?” Ngadi-ngadi emang nih cewek. “Yang kutahu di resto itu kalo ngga nasi goreng ayam, babat, sosis, minimal telur lah!” “Ini sisa tempe semalam masih ada, sayang kan kalo nggak dimakan. Lagian telur lagi mahal sekarang.” Ish, kami udah seperti orang melarat gini, sih. Padahal biasanya di rumah Papa, nasi dan lauk sisa semalam, dijadikan makanan kucing sama Budhe Yati. Sekarang, aku jadi tahu perasaan kucing itu. “Ya sudah aku berangkat saja!” Dengan kesal kusambar tas di atas kursi lalu melangkah pergi. Yura mengikutiku sampai ujung pintu kemudian mengulurkan tangannya. “Apa?” tanyaku ketus. “Salim!" jawabnya, sukses bikin aku mual-mual. Tapi daripada kelamaan berdebat, kuturuti saja kemauannya. Seraya menarik napas panjang, perlahan aku balas mengulurkan tangan. Dengan cepat