Share

5. Makan Malam Pertama

“Lihat nih, Pa!” Aku menunjukkan lebam di pipiku pada Papa. Semua ini gara-gara Zaydan, adiknya Bu Yura. Entah apa maksudnya ia tadi tiba-tiba datang ke rumah lalu melayangkan tinjunya pada wajah tampanku.

Papa yang sedang membaca buku di ruang tengah melihatku sepintas. “Papa sudah tahu, Yura sudah menelepon Papa meminta maaf. Papa juga sudah melihat rekaman CCTV kejadiannya.” Papa menjawab santai, seolah tak ada sesuatu yang serius terjadi. Sungguh, tak sesuai ekspektasiku. Ia malah kembali asik dengan buku bacaannya.

“Pernikahannya batalkan saja, Pa!” ujarku.

“Hush!” Papa mengibaskan tangan. “Justru kejadian tadi membuat Papa semakin yakin untuk menikahkan kalian.”

Hah? “Emang Papa mau punya mantu yang keluarganya barbar kayak gitu?”

“Bukan barbar. Itu namanya sibling goals!”

Keningku berkerut. Dih, Papa gaya banget pakai istilah kekinian!

“Adiknya terlalu sayang sama kakaknya, makanya sampai cari info tentang kamu. Dia nggak rela, begitu tahu calon suami kakaknya bocah SMA berandalan,” terang Papa. "Makanya pantaskan dirimu untuk menjadi suami Yura!” Papa menutup buku yang sedari tadi dibacanya, lalu meletakkan di atas meja.

Lah, mau cari pembelaan Papa, malah aku yang disalah-salahin.

“Nanti malam, Yura dan adiknya, Papa undang makan di sini, bersiaplah,” ujar Papa, lalu beranjak dari tempat duduknya.

***

Papa berjalan menuju pintu begitu mendengar suara mesin motor metik Yura yang berhenti di depan rumah. Penampilannya sangat rapi dengan setelan jas semiformal berwarna hitam. Nampak senang seperti orang diapelin pacar. Sebenarnya yang mau nikah siapa, sih? 

“Eh Nak Yura.” Papa menyambut mereka berdua dengan sangat ramah. “Dan … adiknya ini siapa namanya ya? Bapak lupa.”

“Zaydan, Om.” Adik Yura, si brengsek yang sudah membuat pipiku lebam ini mencium punggung tangan Papa. Cih, cari muka!

Assalamualaikum Pak Setya, apa kabar?” Yura menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

Waalaikum salam, kabar baik. Ayo masuk-masuk,” jawab Papa sembari membuka tangannya lebar-lebar ke arah pintu, mempersilakan mereka berdua masuk ke dalam rumah.

Aku yang sedari tadi memantau mereka dari ruang tamu, cepat-cepat memperbaiki posisi duduk, pura-pura tidak peduli dengan kedatangan mereka dengan bermain ponsel.

“Arka! Masih duduk saja!” tegur Papa. “Lihat nih calon istri kamu sudah datang!”

Aku spontan terbatuk mendengar Papa menyebut 'calon istri'.

Ketika Yura dan adiknya lewat, aku hanya menyunggingkan senyum sinis lalu dengan malas mengikuti Papa yang berjalan menuju ruang makan.

Sambil menikmati hidangan makan malam, Papa sesekali bertanya tentang keluarga Yura.

“Zaydan kelas berapa?”

“Kelas dua belas, Om.”

“Oh, sama dong dengan Arka, tapi Arka lebih tua dua tahun, soalnya dua kali nggak naik kelas, sih.” Papa terkekeh. 

Aku menghela napas kesal. Bisa-bisanya dengan santai Papa membongkar aib anaknya  di depan orang lain. Huh!

Setelah kami semua menyelesaikan makan malam, Papa beranjak dari tempat duduknya, mengambil sesuatu dari lemari kaca yang ada di ruang makan. Sebuah map berwarna biru ia buka dan diberikan pada Yura.

“Maharnya sudah Bapak siapkan. Satu unit apartemen, sudah Bapak urus atas namamu, Azyura.”

Aku membelalak, what apartemen? Pantas saja Yura tidak menolak menikah denganku, maharnya aja sefantastis itu.

“Tunggu, Pa, maharnya apartemen? Nggak salah, tuh? Kemarin saja Arka minta satu unit apartemen Papa nggak dikasih!” protesku.

Papa memang mempunyai bisnis properti. Beberapa hotel dan apartemen di kota ini, Papalah pemilik saham terbesarnya.

Papa tertawa. “Kalau kamu belum saatnya Arka. Tunjukkan dulu prestasi kamu, baru Papa hadiahkan apartemen.”

Aku mendengkus kesal. Masih ingin protes tapi kurasa tak ada gunanya.

Papa lalu merogoh kantong jasnya, mengeluarkan segepok uang berwarna merah.

“Ini, buat biaya acara pernikahan nanti.” Diangsurkannya segepok uang itu pada Azyura, namun ibu guruku itu tak langsung menerimanya.

“Ini terlalu banyak, Pak. Acaranya nanti sederhana saja, kok.” Halah paling basa-basi. Aku melirik sambil menghela napas keras.

“Nggak apa-apa, kalau ada lebih uangnya buat kamu, kalau kurang, bilang Bapak, biar Bapak tambahkan, ya.”

Waw, baik sekali Papa pada anaknya orang. Sementara anaknya sendiri, sudah kartu kredit ditarik, uang jajan dikurangi pula, padahal hanya karena ketahuan bolos sekolah sekali. Iya, ketahuannya sekali yang nggak ketahuan emang berkali-kali, sih.

“Kalau yang ini ….”

Segepok uang merah kembali Papa ambil dari saku jas lalu disodorkan pada Azyura. Hah, buat apa lagi, aku memandang curiga.

“Buat nyalon. Calon pengantin baru kan harus tampil cantik dan paripurna.” Papa melirik ke arahku lantas tersenyum seperti menyiratkan sesuatu.

“Kebanyakan itu, Pa,” sambarku. “Salon di desa bayarannya murah, itu pun kalau ada salon di desanya,” cibirku.

“Hush!” hardik Papa.

“Memangnya kamu nggak mau melihat istrimu cantik di malam pertama?”

Ma-lam per-tama? Merinding aku mendengarnya.

“Jangan dibayangin sekarang, dosa!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status