“Lihat nih, Pa!” Aku menunjukkan lebam di pipiku pada Papa. Semua ini gara-gara Zaydan, adiknya Bu Yura. Entah apa maksudnya ia tadi tiba-tiba datang ke rumah lalu melayangkan tinjunya pada wajah tampanku.
Papa yang sedang membaca buku di ruang tengah melihatku sepintas. “Papa sudah tahu, Yura sudah menelepon Papa meminta maaf. Papa juga sudah melihat rekaman CCTV kejadiannya.” Papa menjawab santai, seolah tak ada sesuatu yang serius terjadi. Sungguh, tak sesuai ekspektasiku. Ia malah kembali asik dengan buku bacaannya.
“Pernikahannya batalkan saja, Pa!” ujarku.
“Hush!” Papa mengibaskan tangan. “Justru kejadian tadi membuat Papa semakin yakin untuk menikahkan kalian.”
Hah? “Emang Papa mau punya mantu yang keluarganya barbar kayak gitu?”
“Bukan barbar. Itu namanya sibling goals!”
Keningku berkerut. Dih, Papa gaya banget pakai istilah kekinian!
“Adiknya terlalu sayang sama kakaknya, makanya sampai cari info tentang kamu. Dia nggak rela, begitu tahu calon suami kakaknya bocah SMA berandalan,” terang Papa. "Makanya pantaskan dirimu untuk menjadi suami Yura!” Papa menutup buku yang sedari tadi dibacanya, lalu meletakkan di atas meja.
Lah, mau cari pembelaan Papa, malah aku yang disalah-salahin.
“Nanti malam, Yura dan adiknya, Papa undang makan di sini, bersiaplah,” ujar Papa, lalu beranjak dari tempat duduknya.
***
Papa berjalan menuju pintu begitu mendengar suara mesin motor metik Yura yang berhenti di depan rumah. Penampilannya sangat rapi dengan setelan jas semiformal berwarna hitam. Nampak senang seperti orang diapelin pacar. Sebenarnya yang mau nikah siapa, sih?
“Eh Nak Yura.” Papa menyambut mereka berdua dengan sangat ramah. “Dan … adiknya ini siapa namanya ya? Bapak lupa.”
“Zaydan, Om.” Adik Yura, si brengsek yang sudah membuat pipiku lebam ini mencium punggung tangan Papa. Cih, cari muka!
“Assalamualaikum Pak Setya, apa kabar?” Yura menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
“Waalaikum salam, kabar baik. Ayo masuk-masuk,” jawab Papa sembari membuka tangannya lebar-lebar ke arah pintu, mempersilakan mereka berdua masuk ke dalam rumah.
Aku yang sedari tadi memantau mereka dari ruang tamu, cepat-cepat memperbaiki posisi duduk, pura-pura tidak peduli dengan kedatangan mereka dengan bermain ponsel.
“Arka! Masih duduk saja!” tegur Papa. “Lihat nih calon istri kamu sudah datang!”
Aku spontan terbatuk mendengar Papa menyebut 'calon istri'.
Ketika Yura dan adiknya lewat, aku hanya menyunggingkan senyum sinis lalu dengan malas mengikuti Papa yang berjalan menuju ruang makan.
Sambil menikmati hidangan makan malam, Papa sesekali bertanya tentang keluarga Yura.
“Zaydan kelas berapa?”
“Kelas dua belas, Om.”
“Oh, sama dong dengan Arka, tapi Arka lebih tua dua tahun, soalnya dua kali nggak naik kelas, sih.” Papa terkekeh.
Aku menghela napas kesal. Bisa-bisanya dengan santai Papa membongkar aib anaknya di depan orang lain. Huh!
Setelah kami semua menyelesaikan makan malam, Papa beranjak dari tempat duduknya, mengambil sesuatu dari lemari kaca yang ada di ruang makan. Sebuah map berwarna biru ia buka dan diberikan pada Yura.
“Maharnya sudah Bapak siapkan. Satu unit apartemen, sudah Bapak urus atas namamu, Azyura.”
Aku membelalak, what apartemen? Pantas saja Yura tidak menolak menikah denganku, maharnya aja sefantastis itu.
“Tunggu, Pa, maharnya apartemen? Nggak salah, tuh? Kemarin saja Arka minta satu unit apartemen Papa nggak dikasih!” protesku.
Papa memang mempunyai bisnis properti. Beberapa hotel dan apartemen di kota ini, Papalah pemilik saham terbesarnya.
Papa tertawa. “Kalau kamu belum saatnya Arka. Tunjukkan dulu prestasi kamu, baru Papa hadiahkan apartemen.”
Aku mendengkus kesal. Masih ingin protes tapi kurasa tak ada gunanya.
Papa lalu merogoh kantong jasnya, mengeluarkan segepok uang berwarna merah.
“Ini, buat biaya acara pernikahan nanti.” Diangsurkannya segepok uang itu pada Azyura, namun ibu guruku itu tak langsung menerimanya.
“Ini terlalu banyak, Pak. Acaranya nanti sederhana saja, kok.” Halah paling basa-basi. Aku melirik sambil menghela napas keras.
“Nggak apa-apa, kalau ada lebih uangnya buat kamu, kalau kurang, bilang Bapak, biar Bapak tambahkan, ya.”
Waw, baik sekali Papa pada anaknya orang. Sementara anaknya sendiri, sudah kartu kredit ditarik, uang jajan dikurangi pula, padahal hanya karena ketahuan bolos sekolah sekali. Iya, ketahuannya sekali yang nggak ketahuan emang berkali-kali, sih.
“Kalau yang ini ….”
Segepok uang merah kembali Papa ambil dari saku jas lalu disodorkan pada Azyura. Hah, buat apa lagi, aku memandang curiga.
“Buat nyalon. Calon pengantin baru kan harus tampil cantik dan paripurna.” Papa melirik ke arahku lantas tersenyum seperti menyiratkan sesuatu.
“Kebanyakan itu, Pa,” sambarku. “Salon di desa bayarannya murah, itu pun kalau ada salon di desanya,” cibirku.
“Hush!” hardik Papa.
“Memangnya kamu nggak mau melihat istrimu cantik di malam pertama?”
Ma-lam per-tama? Merinding aku mendengarnya.
“Jangan dibayangin sekarang, dosa!”
“Sah?”“Sah!”“Sah!”Suara para saksi bersahutan setelah aku mengucap kalimat ijab kabul dengan menjabat tangan Zaydan."Alhamdulillah …."Sesaat kemudian Mas Deny datang membawakan cincin.“Ayo, Mas Arka, cincinnya dipakaikan ke Mbak Yura,” titah penghulu.Ehem, pasang di jarinya Yura? Harus banget gitu? Kenapa nggak pakai sendiri saja?“Ayo, Mas, nunggu apa?” Ini yang ngebet kenapa malah Pak Penghulu, sih!“I-iya, Pak.” Aku menjawab grogi. Dengan tangan sedikit bergetar aku mengambil cincin dari wadah mungil berwarna merah hati. Kulihat tangan Bu Yura sudah terulur ke arahku.“Arka, lama amat! Pegel, nih!” bisiknya.Heran, Bu Yura nggak ada gugup-gugupnya menikah, maunya cepat-cepat saja.Akhirnya kusematkan juga cincin di jari manisnya. Aku terkejut ketika merasakan sentuhan lembut bibir dan hidung perempuan itu di punggung tanganku. Dulu sewaktu kecil aku selalu melihat Mama mencium punggung tangan Papa seperti ini. Lalu setelahnya, Papa akan ....“Mas Arka cium kening Mbak Yura,
“Ma- masa kita sekasur juga?” tanyaku yang kini berdiri di sisi tempat tidur. Yura yang sedari tadi sibuk memainkan ponsel di atas kasur menoleh. “Tempat tidurku hanya satu. Tidur saja di lantai kalau mau." “Kalau nggak mau?” “Ya, tidur sini, bersamaku!” Ia menepuk-nepuk kasur sembari tersenyum. “Nggak mau! Kamu yang tidur di lantai, aku kan tamu!” protesku. “Ya nggak bisa dong Arka, kamu itu suami, sudah bukan tamu lagi. Kalau aku tidur di bawah, terus masuk angin kamu mau ngerikin?” “Nggak, nggak!” Aku menggeleng cepat. “Kalau begitu... Pinjem selimut!” Dengan kasar kutarik selimut yang sedang digunakannya, lalu menata di lantai dan berbaring membelakangi ranjang. Sungguh sulit untuk benar-benar terlelap di kamar ini. Berulang kali aku menengok jam dinding, rasanya waktu berjalan begitu lambat. Pelan-pelan aku membalikkan tubuh. Kulihat mata Yura sudah terpejam, syukurlah. Aku beranjak mendekati ranjang. Kuambil ponsel yang masih setengah tergenggam di tangannya, lalu mele
“Tempat tinggal kalian sekarang bukan di sini!”Baru saja aku sampai rumah dan merebahkan badan di sofa, Papa sudah mengatakan hal yang membuatku kaget.Apalagi ini? Setelah dipaksa menikah, sekarang aku diusir dari rumah?“Tapi di apartemen milik Yura,” sambung Papa.“Nggak Pa, masa Arka menumpang di tempat Yura,” tolakku. Di mana harga diriku coba, numpang tinggal di rumah istri.“Kalau Papa mau Arka dan Yura tidak tinggal di rumah ini lagi, Arka harus punya apartemen sendiri.” Aku mencoba memberikan penawaran. Ya kali aja, habis ini Papa akan melepas satu apartemennya untukku. Masa, mantu yang notabene orang lain dikasih, anaknya sendiri nggak. Sungguj ther-la-lu, kalau kata Bang Haji.“Apa kau punya uang untuk membelinya? Papa tidak mau memberimu cuma-cuma.” Papa berkata tegas.“Tega Papa, sebenarnya Arka ini anak kandung Papa bukan sih?” Aku merengut, tapi Papa malah tertawa.“Justru, karena kamu anak kandung Papa satu-satunya yang paling Papa sayang. Sudah cukup Papa terlalu me
“Arka!!” Si tubuh gempal Bimo menoyor kepalaku dari belakang. Kebiasaan kami kalo ketemu memang begitu saling toyor menoyor. “Eh, rambut lo basah!” Tangan Bimo kembali menyentuh kepalaku, kali ini sambil mengacak-ngacak rambutku, “Iya rambut lo basah!” “Apaan sih lo Mo, ga pernah lihat rambut basah apa gimana?” Aku menjawab sebal. Masih kesal dengan serentetan kejadian yang kualami beberapa hari ini. Bimo menarik tanganku menuju sudut sekolahan yang sepi. “Heh lo mau apa?” hardikku yang kaget dengan tarikan tangan Bimo. “Ciyee yang habis malam pertama ciyeee…” Astaga…. Cepat-cepat aku membekap mulut Bimo, kalau ada yang tahu bisa gawat. “Awas lo ya kalo ember!” ancamku. “Berarti bener, lo udah malam pertama?” Mata Bimo melotot, mulutnya menganga. Jijay! “Bukan itu maksud gue, lo jangan ember kasih tau orang-orang kalo gue udah nikah,” jawabku mengklarifikasi. “Lagian malam pertama apaan sih? Nggak ada malam pertama. Gue kan udah bilang, malam pertama gue, hanya buat cewek
Aku melotot begitu mendengar nama yang sangat familiar itu disebut-sebut bu Santi. Azyura? Sekelas langsung heboh begitu sosok ibu guru baru itu muncul di hadapan mereka. “Ka, itu mirip Bu Azyura, guru les lo!” Bimo menyenggol lenganku. Ia memang pernah sekali melihat Azyura watu main ke rumahku. “Sial ngapain, dia ngikutin gue sampai ke sini sih!” Aku mendesah. “Jadi bener itu Azyura-nya elo?” Aku menarik napas panjang lalu mengangguk. “Cakep emang!” gumam Bimo, pandangan matanya tak lepas dari Yura, penuh kekaguman. “Istri orang woy!” aku menoyor kepalanya. Entah mengapa ada perasaan tak rela Yura dipandang seperti itu oleh lelaki lain. “Lo kan ngga cinta katanya,” Bimo membela diri. “I.. iya sih!” aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. “Tapi tetep aja lo ngga boleh begitu, awas lo ya!” aku mengepalkan tangan. “Ciyee cemburuuu..” ledeknya dengan suara lirih. “Silakan Bu Yura, bisa mulai pembelajaran hari ini,” Bu Santi lantas pamit meninggalkan kelas. “Assalamualaikum,” s
“Tempe lagi?” Aku berdecak setelah membuka tudung saji. Kemarin siang makan tempe goreng, malamnya kering tempe, lalu sekarang… “Nasi goreng tempe!” Yura memperjelas. “Resep dari mana sih nasi goreng tempe?” Ngadi-ngadi emang nih cewek. “Yang kutahu di resto itu kalo ngga nasi goreng ayam, babat, sosis, minimal telur lah!” “Ini sisa tempe semalam masih ada, sayang kan kalo nggak dimakan. Lagian telur lagi mahal sekarang.” Ish, kami udah seperti orang melarat gini, sih. Padahal biasanya di rumah Papa, nasi dan lauk sisa semalam, dijadikan makanan kucing sama Budhe Yati. Sekarang, aku jadi tahu perasaan kucing itu. “Ya sudah aku berangkat saja!” Dengan kesal kusambar tas di atas kursi lalu melangkah pergi. Yura mengikutiku sampai ujung pintu kemudian mengulurkan tangannya. “Apa?” tanyaku ketus. “Salim!" jawabnya, sukses bikin aku mual-mual. Tapi daripada kelamaan berdebat, kuturuti saja kemauannya. Seraya menarik napas panjang, perlahan aku balas mengulurkan tangan. Dengan cepat
Kenapa harus ketemu di saat seperti ini, sih? Aku kan jadi pengen. Pengen nyamber es teh dan sepotong roti yang dia bawa, maksudnya. Lapaar. Duh kuatkan imanku ya Allah. “Ka,” sapanya. “Hem!” Aku menjawab sok cool. “Kamu nggak marah, kan?” “Marah apa?” “Aku jadian sama Reno.” “Oh, selamat ya!” ujarku singkat. Semenjak tahu dia jadian sama Reno, aku udah ilfeel. Jadi segitu aja seleranya si Aina. “Misi, gue mau masuk kelas.” Aku berusaha melangkah tapi Aina masih menghalangi. “Kok jadi lu-gue sih sekarang, bukannya kemarin kita udah saling panggil aku-kamu?” Aku mendesah. Apaan sih ni cewek segala panggilan dipermasalahin. “Oke, permisi, A-KU mau lewat,” kata aku sengaja kuperjelas. Biar puas. Malas berlama-lama ngobrol dengannya. “Kok, kaya terpaksa gitu.” Arghhh aku menjerit dalam hati, seandainya dia cowok sudah kuhajar. “Aina, tolong dong, kamu udah jadian sama Reno, tidak perlu dekat-dekat denganku lagi, nanti dia cemburu.” Sebenarnya aku tak peduli sama sekali dengan
Siang hari sepulang sekolah aku tak langsung ke apartemen. Mampir dulu ke ATM, mengambil sisa-sisa harta yang kupunya. Aku mau membeli beberapa bahan pangan di minimarket. Nyesel juga, waktu uang jajanku tak terbatas dulu mengapa aku tak rajin menabung. Sekarang ketika kartu kredit sudah disita Papa, uang bulanan pun hanya dikasih secuil, aku kelimpungan jadinya. Setiba di supermarket aku mengambil beberapa bungkus mie instan, biskuit dan roti untuk jaga-jaga kalau Yura memasak makanan yang tak bisa diterima oleh lidahku lagi. Aku jadi ingat dulu pernah sekali ikut Budhe belanja bulanan di supermarket karena kebetulan ada barang yang sedang ingin kubeli juga. Aku kesal melihat budhe terlalu lama memilih barang. Budhe selalu memperhatikan baik-baik harganya, kemudian mengamati kemasan produk, tak jarang mengeluarkan kalkulator dari dalam tasnya. “Budhe ngapain sih?” tanyaku ketika itu. “Ini lho, Budhe lagi bandingin harga yang paling murah yang mana,” jawabnya sambil tetap memence