Yang tau jargon mie mie mie terus, fix kita seumuran 🤭🤭
“Apa-apaan sih?” Yura mengambil piring di atas meja. Kulirik isinya. Nasi dengan sayur sop tanpa daging, tapi ada sedikit potongan bakso di sana. Itu pasti bakso murahan yang ia beli di pasar. Yura lalu duduk persis di hadapanku. “Aaak” Disodorkannya sesendok ke arahku sambil memberi kode agar aku mau membuka mulut. Entah mengapa bak terhipnotis, aku menurut saja. “Kau tau, kalau mau pintar, harus makan makanan dengan gizi yang seimbang,” ujarnya sambil mengusap daguku yang sedikit basah karena ketumpahan kuah sayur. Jantungku serasa berhenti berdetak karena sentuhannya. Mungkin benar juga kata Bimo, pria beristri akan terlihat lebih terawat karena sudah ada yang memperhatikan lebih. Uhuks! “Aku tidak ingin Papa melihat anaknya kurang gizi setelah menikah,” katanya lagi. “Kenapa? Kau takut Papa tidak memberimu uang lagi?” tanyaku curiga. Aku tahu disamping jatah bulanan kami, Papa masih memberinya uang untuk kebutuhan ibu dan adiknya di kampung. “Hem yaa itu salah satunya.” S
“Ka, ngapa lo dari tadi pegang-pegang pipi mulu? Sakit gigi?” Pertanyaan dari Bimo membuatku tersadar dan buru-buru menurunkan tangan. “Hah? Nggak ah, pegang pipi apa sih?” “Lo ngga nyadar ya, dari tadi, lo jalan menuju kelas, sampe sekarang, tangan lo tuh di pipi muluk!” tatapan Bimo penuh selidik, jadi berasa terdakwa yang di interogasi polisi deh gue. “Oh gue tau!” Bimo tersenyum. Ia mendekatkan kepalanya, lalu berujar dengan suara yang lebih lirih. “Jangan-jangan, tadi malam lo berbuat tidak senonoh, terus digampar sama bu Yura!” What? Aku melotot dan reflek tanganku mencekik leher Bimo. Pelan kok, ngga kenceng, bukan mau bunuh orang. “Gila lo ya, banyak orang, jangan sebut namanya di sini!” “Wekkk, ampun, ampuuun” jerit Bimo, segera kulepaskan cengkraman tanganku di lehernya. Bimo lalu membenarkan kerah bajunya yang berantakan karena kucekik tadi. “Kalo bukan itu terus apa?” tanyanya. Aku menarik napas sambil mencari alasan yang tepat. “Kepo amat si lo! Ada nyamuk tadi ne
“Yang jelas, jatah uang bulanan dari Papa, sudah Arka kasih semua ke Yura. Masa, sesekali masak makanan enak aja nggak bisa, huh!” Budhe senyum lalu mengusap-usap punggungku. “Kapan-kapan, Mas Arka ikut belanja sama Mbak Yura, biar tahu harga bahan pangan sekarang, ya.” “Hemm.. iya Budhe," jawabku, meski sebenarnya malas juga kuikuti saran Budhe itu. Budhe lalu beranjak dari ruang makan, mau nyetrika katanya. Sementara aku, tentu saja langsung menyantap masakan Budhe yang entah kenapa terasa jauh lebih lezat daripada masakan Budhe sebelumnya. Benar begitu atau ... hanya karena beberapa hari ini aku disuguhkan makanan yang tak kusuka? Entahlah. 🌷🌷🌷 Setelah makan aku bergegas pulang, takut Papa keburu datang. Sebagai salah satu pemegang saham yang merangkap CEO, jam kerja Papa tidak harus nine to five di kantor. Kadang kala Papa pulang lebih awal, tapi tak jarang juga menjelang tengah malam baru sampai rumah. Kalau Papa sampai melihatku di sini, apalagi tahu aku numpang makan, a
“Yura!!!” Aku terlonjak dan ntah mengapa spontan memanggil nama itu, saat kulihat jam weker di kamar menunjukkan pukul enam tepat. “Yuraaa, kenapa nggak bangunin aku sih?” Untuk kedua kalinya aku berteriak memanggil namanya tapi tak jua ada jawaban. “Yuraaa!” Begitu membuka pintu, kulihat istriku itu sedang mengepel lantai. “Kenapa nggak bangunin aku?” Biasanya tiap Subuh Yura pasti membangunkanku. Dengan berbagai macam cara sampai aku benar-benar bangun. Mulai dari menciprati air ke wajahku, mengguncang tubuhku, menggelitik telapak kakiku, sampai jurus pamungkasnya jika aku tak segera bangun. “Bangun atau kucium?” Entah serius atau hanya sekedar gertakan. Yang jelas, kalau Yura sudah berkata begitu, aku langsung bangkit. Seandainya kuceritakan ini pada Bimo, dia pasti akan meledekku habis-habisan, mempertanyakan kejantananku. Laki-laki macam apa takut dicium perempuan, cantik lagi. Di sekolah, Yura diidolakan sebagian besar murid cowok. Tapi entah mengapa nyaliku malah ciut
Sekali lagi, aku mencoba berkonsentrasi. Memikirkan hendak ke mana setelah lulus nanti. Namun akal sehatku mengatakan, biar Papa saja yang memikirkannya, yang terpenting jabatan CEO aman. Tapi, masa aku nulis mau jadi CEO di kantor Papa, ntar dinyinyirin netijen. Mereka akan mengatakan aku sukses karena previlege bukan karena kemampuanku sendiri. Lalu dijadikan olok-olok dan viral di twitter. Serasa pengen bergandengan tangan dengan Putri Tanjung kan. “Mo. Kalo cewek ngambek, bujuknya gimana ya?” Daripada bengong aku memilih ngerusuhin Bimo yang tampak serius ngerjain tugas dari Mr.Dika. “Dikasih duit!” jawab Bimo singkat tetap serius dengan aktivitas menulisnya. “Susah amat!” gumamku. “Hah, bagi seorang Arka, masa duit aja susah, sih?” Bimo menoleh, menatap serius ke arahku. “Kartu kredit gue udah ditarik Mo, uang jajan juga dipotong banyak.” Akhirnya aku jujur juga sama Bimo, kalo aku miskin sekarang. “Hmm, ya lo dah nikah sih, malah seharusnya nggak dikasih uang jajan lagi.”
“Assalamualaikum …. ” Aku tengah menonton televisi ketika Yura datang dan mengucap salam. “Waalaikum salam,” jawabku. Setelah melepas sepatu dan meletakkannya di rak, ia merapikan sepatuku yang sengaja kuletakkan sembarangan. Biasanya dia akan mengomel dan aku kesal mendengarnya. Tapi kali ini justru aku menunggu omelannya. “Tumben nggak marah,” kataku. “Capek!” jawabnya singkat lantas melewatiku begitu saja. “Tunggu Yura!” Aku mencekal pergelangan tangannya hingga ia menghentikan langkahnya. “Lebih baik kamu marah. Ngomel sepanjang kereta api. Tapi jangan diam.” Ia menghela napas, lalu menarik tangannya, dan tanpa sepatah katapun langsung masuk ke dalam kamar. Kukejar, tapi dia buru-buru menutup pintu kamar. Ugh! Aku mengacak rambutku kesal. Mengapa serumit ini memahami wanita. Esok harinya aku bangun pagi-pagi sekali, sebelum Yura terjaga. Mencoba mengikuti saran Bimo. “Lu di rumah ngerjain apa?” tanya Bimo usai aku curhat tentang Yura kemarin. Bimo emang belum pernah pun
“Mas Deny, titip beliin daster.” Sepulang sekolah aku ke rumah Papa, memberikan dua lembar uang berwarna merah pada Mas Deni. Untung saja, tadi waktu sedang membuka buku-buku pelajaran lama, aku menemukan harta karun. Entah kapan aku menyelipkan uang di situ. Akupun lupa. “Lah kok saya mas, mana ngerti saya tentang daster.” “Mas Deny kan ada istri, bisa minta tolong, belikan yang kira-kira cocok buat Yura.” “Warnanya apa mas, bahan dan motifnya?” tanyanya seraya memasukkan uang ke kantong bajunya. Disuruh memilih aku malah tambah pusing. “Terserah deh, yang penting bagus, nyaman. Kira-kira yang disukain cewek itu kaya gimana.” Mas Deny manggut-manggut. “Sekarang ya Mas Deny berangkat.” “Oke mas, siap. Saya jemput istri dulu, biar dia bantuin milih.” Aku mengangguk lalu meraih helmku yang tergantung di spion motor. Mau pulang. “Kalau udah dapat, langsung antar ke apartemen ya, jangan mampir kemana-mana dulu!” pesanku. “Buru-buru banget mau dipake ya Mas?” Mas Deny mengerling
Jam istirahat sekolah, Rizal dan Ali masuk kelas dengan raut wajah berseri-seri. Mereka saling berbisik lalu tertawa bersama. Begitu melihat aku dan Bimo di dalam kelas, mereka langsung datang menghampiri. “Bro! Minggu depan Bu Yura ulang tahun!” seru Ali. Bimo melirikku yang hanya mampu menelan ludah. Beneran? Hal sepenting ini harusnya aku – suaminya- yang lebih tahu, kan. Kenapa malah Rizal dan Ali. “Tau dari mana?” Aku berusaha terlihat cuek meski sebenarnya kepo setengah mati. “Tadi nggak sengaja lihat data guru pas di kantor,” jawab Rizal. “Cari kado, ah, ntar pulang sekolah.” Aku melotot. lancang sekali Rizal ini! “Lo berdua ngapain sih? Ngegebet guru segala. Nggak sopan tau!” “Nggak sopan gimana, kita cuma mau kasih kado, nggak ngapa-ngapain juga!” bela Ali. “Terus tujuannya ngasih kado apa?” “Ya, biar makin deket aja sama Bu Yura, kali aja ada kesempatan. Tul nggak?” Ali menyenggol lengan Rizal minta dukungan. “Lo mau ngasih kado juga?” Rizal melirikku. “Ayok! Kita