Komen yang rame baru lanjuut...........
“Yang jelas, jatah uang bulanan dari Papa, sudah Arka kasih semua ke Yura. Masa, sesekali masak makanan enak aja nggak bisa, huh!” Budhe senyum lalu mengusap-usap punggungku. “Kapan-kapan, Mas Arka ikut belanja sama Mbak Yura, biar tahu harga bahan pangan sekarang, ya.” “Hemm.. iya Budhe," jawabku, meski sebenarnya malas juga kuikuti saran Budhe itu. Budhe lalu beranjak dari ruang makan, mau nyetrika katanya. Sementara aku, tentu saja langsung menyantap masakan Budhe yang entah kenapa terasa jauh lebih lezat daripada masakan Budhe sebelumnya. Benar begitu atau ... hanya karena beberapa hari ini aku disuguhkan makanan yang tak kusuka? Entahlah. 🌷🌷🌷 Setelah makan aku bergegas pulang, takut Papa keburu datang. Sebagai salah satu pemegang saham yang merangkap CEO, jam kerja Papa tidak harus nine to five di kantor. Kadang kala Papa pulang lebih awal, tapi tak jarang juga menjelang tengah malam baru sampai rumah. Kalau Papa sampai melihatku di sini, apalagi tahu aku numpang makan, a
“Yura!!!” Aku terlonjak dan ntah mengapa spontan memanggil nama itu, saat kulihat jam weker di kamar menunjukkan pukul enam tepat. “Yuraaa, kenapa nggak bangunin aku sih?” Untuk kedua kalinya aku berteriak memanggil namanya tapi tak jua ada jawaban. “Yuraaa!” Begitu membuka pintu, kulihat istriku itu sedang mengepel lantai. “Kenapa nggak bangunin aku?” Biasanya tiap Subuh Yura pasti membangunkanku. Dengan berbagai macam cara sampai aku benar-benar bangun. Mulai dari menciprati air ke wajahku, mengguncang tubuhku, menggelitik telapak kakiku, sampai jurus pamungkasnya jika aku tak segera bangun. “Bangun atau kucium?” Entah serius atau hanya sekedar gertakan. Yang jelas, kalau Yura sudah berkata begitu, aku langsung bangkit. Seandainya kuceritakan ini pada Bimo, dia pasti akan meledekku habis-habisan, mempertanyakan kejantananku. Laki-laki macam apa takut dicium perempuan, cantik lagi. Di sekolah, Yura diidolakan sebagian besar murid cowok. Tapi entah mengapa nyaliku malah ciut
Sekali lagi, aku mencoba berkonsentrasi. Memikirkan hendak ke mana setelah lulus nanti. Namun akal sehatku mengatakan, biar Papa saja yang memikirkannya, yang terpenting jabatan CEO aman. Tapi, masa aku nulis mau jadi CEO di kantor Papa, ntar dinyinyirin netijen. Mereka akan mengatakan aku sukses karena previlege bukan karena kemampuanku sendiri. Lalu dijadikan olok-olok dan viral di twitter. Serasa pengen bergandengan tangan dengan Putri Tanjung kan. “Mo. Kalo cewek ngambek, bujuknya gimana ya?” Daripada bengong aku memilih ngerusuhin Bimo yang tampak serius ngerjain tugas dari Mr.Dika. “Dikasih duit!” jawab Bimo singkat tetap serius dengan aktivitas menulisnya. “Susah amat!” gumamku. “Hah, bagi seorang Arka, masa duit aja susah, sih?” Bimo menoleh, menatap serius ke arahku. “Kartu kredit gue udah ditarik Mo, uang jajan juga dipotong banyak.” Akhirnya aku jujur juga sama Bimo, kalo aku miskin sekarang. “Hmm, ya lo dah nikah sih, malah seharusnya nggak dikasih uang jajan lagi.”
“Assalamualaikum …. ” Aku tengah menonton televisi ketika Yura datang dan mengucap salam. “Waalaikum salam,” jawabku. Setelah melepas sepatu dan meletakkannya di rak, ia merapikan sepatuku yang sengaja kuletakkan sembarangan. Biasanya dia akan mengomel dan aku kesal mendengarnya. Tapi kali ini justru aku menunggu omelannya. “Tumben nggak marah,” kataku. “Capek!” jawabnya singkat lantas melewatiku begitu saja. “Tunggu Yura!” Aku mencekal pergelangan tangannya hingga ia menghentikan langkahnya. “Lebih baik kamu marah. Ngomel sepanjang kereta api. Tapi jangan diam.” Ia menghela napas, lalu menarik tangannya, dan tanpa sepatah katapun langsung masuk ke dalam kamar. Kukejar, tapi dia buru-buru menutup pintu kamar. Ugh! Aku mengacak rambutku kesal. Mengapa serumit ini memahami wanita. Esok harinya aku bangun pagi-pagi sekali, sebelum Yura terjaga. Mencoba mengikuti saran Bimo. “Lu di rumah ngerjain apa?” tanya Bimo usai aku curhat tentang Yura kemarin. Bimo emang belum pernah pun
“Mas Deny, titip beliin daster.” Sepulang sekolah aku ke rumah Papa, memberikan dua lembar uang berwarna merah pada Mas Deni. Untung saja, tadi waktu sedang membuka buku-buku pelajaran lama, aku menemukan harta karun. Entah kapan aku menyelipkan uang di situ. Akupun lupa. “Lah kok saya mas, mana ngerti saya tentang daster.” “Mas Deny kan ada istri, bisa minta tolong, belikan yang kira-kira cocok buat Yura.” “Warnanya apa mas, bahan dan motifnya?” tanyanya seraya memasukkan uang ke kantong bajunya. Disuruh memilih aku malah tambah pusing. “Terserah deh, yang penting bagus, nyaman. Kira-kira yang disukain cewek itu kaya gimana.” Mas Deny manggut-manggut. “Sekarang ya Mas Deny berangkat.” “Oke mas, siap. Saya jemput istri dulu, biar dia bantuin milih.” Aku mengangguk lalu meraih helmku yang tergantung di spion motor. Mau pulang. “Kalau udah dapat, langsung antar ke apartemen ya, jangan mampir kemana-mana dulu!” pesanku. “Buru-buru banget mau dipake ya Mas?” Mas Deny mengerling
Jam istirahat sekolah, Rizal dan Ali masuk kelas dengan raut wajah berseri-seri. Mereka saling berbisik lalu tertawa bersama. Begitu melihat aku dan Bimo di dalam kelas, mereka langsung datang menghampiri. “Bro! Minggu depan Bu Yura ulang tahun!” seru Ali. Bimo melirikku yang hanya mampu menelan ludah. Beneran? Hal sepenting ini harusnya aku – suaminya- yang lebih tahu, kan. Kenapa malah Rizal dan Ali. “Tau dari mana?” Aku berusaha terlihat cuek meski sebenarnya kepo setengah mati. “Tadi nggak sengaja lihat data guru pas di kantor,” jawab Rizal. “Cari kado, ah, ntar pulang sekolah.” Aku melotot. lancang sekali Rizal ini! “Lo berdua ngapain sih? Ngegebet guru segala. Nggak sopan tau!” “Nggak sopan gimana, kita cuma mau kasih kado, nggak ngapa-ngapain juga!” bela Ali. “Terus tujuannya ngasih kado apa?” “Ya, biar makin deket aja sama Bu Yura, kali aja ada kesempatan. Tul nggak?” Ali menyenggol lengan Rizal minta dukungan. “Lo mau ngasih kado juga?” Rizal melirikku. “Ayok! Kita
“Heh, bocah! Lu lagi, lu lagi. Kangen sama kantor polisi ya lu!” salah seorang petugas Polisi bernama Pak Suroto menepuk bahuku dengan gulungan koran. Aku meringis. Sudah kesekian kalinya kami bertemu di kantor polisi. Beliau sampai hapal.“Hubungi sekolah mereka!” titahnya, yang langsung dilaksanakan oleh salah seorang anak buah.Sambil menunggu pihak sekolah datang menjemput, seperti biasa, Pak Roto akan memberikan kami nasehat. Isinya pun aku sampai hapal di luar kepala. Bosan. Untunglah, tak lama, kulihat mobil sekolah datang. Mr. Dika turun dari pintu mobil sebelah kiri depan. Biasanya memang guru-guru muda yang diutus kalau ada masalah seperti ini.Guru Bahasa Inggrisku itu lantas membuka pintu mobil bagian belakang. Aku membelalak, ketika kulihat Azyura yang turun.“Gimana, menang?” tanya Mr.Dika saat kami saling bertatap muka. Aku dan yang lainnya hanya menunduk tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Arka masih bisa bawa motor?” Mr.Dika memperhatikan luka-luka di wajah dan lenga
“Arkaaa!” Seseorang memanggilku kala aku baru saja memarkir motor. Aina, dari suaranya tentu saja aku hapal. Ia mendekat, tanpa permisi menyentuh wajahku. “Ya ampun Arka, kenapa babak belur gini? Gara-gara balapan kemaren ya?” “Jangan sentuh!” Kujauhkan wajahku dari tangannya, seketika raut mukanya menjadi masam. “Arka, kamu berubah deh!” katanya seraya memeluk lenganku. “Lepas Aina! Ngga enak dilihat orang!” Aku berusaha melepaskan tangannya. “Nggak ada orang kok!” jawabnya santai, malah semakin mengukuhkan cekalan tangannya yang bergelayut manja di lenganku. Aku memang sedikit terlambat ke sekolah, makanya parkiran siswa sudah sepi. “Bahkan sudah bonyok begini, kamu masih terlihat tampan!” Ia berkata sambil memandang wajahku dalam-dalam, bikin risih. Heran juga dulu kenapa aku sempat naksir sama dia ya. Untung nggak sampai jadian. “Arka!” Aku terkejut, ketika sebuah suara dengan tegas memanggil namaku. “Yu- eh Bu Yura?” Ia menghentikan motor matiknya di depan jalan masuk park