“Ma- masa kita sekasur juga?” tanyaku yang kini berdiri di sisi tempat tidur.
Yura yang sedari tadi sibuk memainkan ponsel di atas kasur menoleh.
“Tempat tidurku hanya satu. Tidur saja di lantai kalau mau."
“Kalau nggak mau?”
“Ya, tidur sini, bersamaku!” Ia menepuk-nepuk kasur sembari tersenyum.
“Nggak mau! Kamu yang tidur di lantai, aku kan tamu!” protesku.
“Ya nggak bisa dong Arka, kamu itu suami, sudah bukan tamu lagi. Kalau aku tidur di bawah, terus masuk angin kamu mau ngerikin?”
“Nggak, nggak!” Aku menggeleng cepat.
“Kalau begitu... Pinjem selimut!” Dengan kasar kutarik selimut yang sedang digunakannya, lalu menata di lantai dan berbaring membelakangi ranjang.
Sungguh sulit untuk benar-benar terlelap di kamar ini. Berulang kali aku menengok jam dinding, rasanya waktu berjalan begitu lambat.
Pelan-pelan aku membalikkan tubuh. Kulihat mata Yura sudah terpejam, syukurlah. Aku beranjak mendekati ranjang. Kuambil ponsel yang masih setengah tergenggam di tangannya, lalu meletakkan di atas meja. Kubenarkan posisi selimutnya yang sedikit tersingkap.
Melihat anak rambut yang berserak di wajahnya, tanganku bergerak mendekat. Ini kali pertama kulihat kepalanya tak bertutup hijab. Tepat saat jemariku sedikit menyentuh dahinya, ia tiba-tiba bergerak.
Cepat-cepat aku kembali ke posisiku semula, berbaring di atas lantai beralaskan selimut. Entah berapa lama aku memaksakan diri untuk memejamkan mata hingga akhirnya benar-benar terlelap.
**********
Pagi-pagi sekali saat bangun tidur aku bergegas mandi. Saat masuk lagi ke kamar setelah menyelesaikan mandiku, kulihat Yura baru bangun dari tidurnya.
"Dari mana?" tanyanya.
“Mandi.”
“Kok rambutnya nggak basah?”
“Emang nggak keramas, males!”
“Duh!” Ia serta merta beranjak dari tempat tidur.
“Tunggu-tunggu!” Kulihat ia mengambil botol berisi air minum, menuang sedikit air dari botol itu ke tangannya, lalu membasahi rambutku yang kering.
“Apaan sih ini?” Aku yang terkejut berusaha menghindar.
“Kamu gimana sih. Pengantin baru, pagi-pagi rambutnya harus terlihat basah!”
Hah? Aku mengerutkan kening.
Kulihat ia kembali menuang air dari botol ke tangannya. "Kurang basah, nih."
“Kenapa harus begitu?" Kuhalau tangannya hingga air tumpah membasahi lantai.
“Beneran ngga tau?” Ia nampak mengehela napas kesal. "Belum diajarin bab mandi wajib di sekolah ya?”
" Mandi wajib? Ma-maksud kamu biar orang-orang kira kita sudah…”
Yura mengangguk sembari mengacungkan ibu jari. “Pinterrr!”
“Astaga… Buat apa sih?”
“Ya biar kita lebih meyakinkan sebagai pasangan suami istri.”
**********
“Bu, Yura pamit ya," ucap Yura sambil mencium punggung tangan ibunya.
Pagi ini kami akan kembali ke Jakarta. Naik taksi sampai bandara lalu lanjut dengan pesawat menuju Jakarta. Di Jakarta nanti kami akan dijemput oleh Mas Deny supir pribadi Papa.
“Kok cuma sehari di rumah Nduk, nggak bisa lebih lama?”
“Ngga bisa Bu, Arka masih banyak pekerjaan di Jakarta, Yura juga.”Aku hanya mengangguk sambil tersenyum membenarkan ucapan Yura yang nggak benar-benar amat. Pekerjaan apa? Pekerjaan Rumah alias PR dari guru?
Kulihat Zaydan melirik ke arahku. Saat ini yang tahu tentang statusku sebenarnya sebagai pelajar memang hanya Zaydan. Yura sengaja menyembunyikan ini dari ibunya. Takut ibunya kepikiran. Takut ibunya tahu ia menikah hanya demi uang semata, demi pengobatan ibu dan biaya sekolah adiknya.
“Jaga Yura baik-baik ya Nak Arka,” kata Ibu saat aku gantian mencium punggung tangannya.
“Iya Bu, InsyaAllah,” jawabku santun udah kayak menantu idaman para mertua saja. Seorang Arka bisa bicara sesantun ini, wih kesambet apa. Kalau bukan karena ancaman Papa dan desakan Yura aku juga nggak akan begini.
“Zaydan…” Yura memeluk adik lelaki semata wayangnya. “Mbak titip Ibu ya.”
“Iya Mbak, jaga diri Mbak baik-baik," jawabnya. "Kalau dia macam-macam sama Mbak, bilang padaku, biar kuhajar!” sambungnya dengan berbisik.
Adik iparku itu melirik tajam ke arahku. Nampak jelas ketidak sukaan di matanya. Aneh, harusnya kan aku yang kesal padanya. Tak ada angin tak ada hujan, ia tiba-tiba muncul di depan rumah dan mengamuk.
"Kau sudah berbuat apa pada kakakku, ha?" teriaknya lalu melayangkan tinju ke arahku. Saat aku baru mau membalasnya. Eh, Yura muncul dan melerai kami berdua. Lalu waktu kuadukan pada Papa kelakuan barbarnya, malah Papa membelanya. Sungguh sial.
Melepaskan pelukan Yura, Zaydan lalu menjabat tanganku dengan erat. “Jaga kakakku, dia wanitaku yang sangat berharga setelah Ibu!”
Aku diam saja tak menjawab. Sesaat kemudian Yura meraih lenganku.
"Ayo, Sayang, taksinya sudah menunggu."
"Sa-yang?" ulangku sembari menatap heran ke arah Yura. Saat kurasakan cubitan kecil di perutku aku pun membalasnya. "Oh I-iya Sayang, ayo."
“Tempat tinggal kalian sekarang bukan di sini!”Baru saja aku sampai rumah dan merebahkan badan di sofa, Papa sudah mengatakan hal yang membuatku kaget.Apalagi ini? Setelah dipaksa menikah, sekarang aku diusir dari rumah?“Tapi di apartemen milik Yura,” sambung Papa.“Nggak Pa, masa Arka menumpang di tempat Yura,” tolakku. Di mana harga diriku coba, numpang tinggal di rumah istri.“Kalau Papa mau Arka dan Yura tidak tinggal di rumah ini lagi, Arka harus punya apartemen sendiri.” Aku mencoba memberikan penawaran. Ya kali aja, habis ini Papa akan melepas satu apartemennya untukku. Masa, mantu yang notabene orang lain dikasih, anaknya sendiri nggak. Sungguj ther-la-lu, kalau kata Bang Haji.“Apa kau punya uang untuk membelinya? Papa tidak mau memberimu cuma-cuma.” Papa berkata tegas.“Tega Papa, sebenarnya Arka ini anak kandung Papa bukan sih?” Aku merengut, tapi Papa malah tertawa.“Justru, karena kamu anak kandung Papa satu-satunya yang paling Papa sayang. Sudah cukup Papa terlalu me
“Arka!!” Si tubuh gempal Bimo menoyor kepalaku dari belakang. Kebiasaan kami kalo ketemu memang begitu saling toyor menoyor. “Eh, rambut lo basah!” Tangan Bimo kembali menyentuh kepalaku, kali ini sambil mengacak-ngacak rambutku, “Iya rambut lo basah!” “Apaan sih lo Mo, ga pernah lihat rambut basah apa gimana?” Aku menjawab sebal. Masih kesal dengan serentetan kejadian yang kualami beberapa hari ini. Bimo menarik tanganku menuju sudut sekolahan yang sepi. “Heh lo mau apa?” hardikku yang kaget dengan tarikan tangan Bimo. “Ciyee yang habis malam pertama ciyeee…” Astaga…. Cepat-cepat aku membekap mulut Bimo, kalau ada yang tahu bisa gawat. “Awas lo ya kalo ember!” ancamku. “Berarti bener, lo udah malam pertama?” Mata Bimo melotot, mulutnya menganga. Jijay! “Bukan itu maksud gue, lo jangan ember kasih tau orang-orang kalo gue udah nikah,” jawabku mengklarifikasi. “Lagian malam pertama apaan sih? Nggak ada malam pertama. Gue kan udah bilang, malam pertama gue, hanya buat cewek
Aku melotot begitu mendengar nama yang sangat familiar itu disebut-sebut bu Santi. Azyura? Sekelas langsung heboh begitu sosok ibu guru baru itu muncul di hadapan mereka. “Ka, itu mirip Bu Azyura, guru les lo!” Bimo menyenggol lenganku. Ia memang pernah sekali melihat Azyura watu main ke rumahku. “Sial ngapain, dia ngikutin gue sampai ke sini sih!” Aku mendesah. “Jadi bener itu Azyura-nya elo?” Aku menarik napas panjang lalu mengangguk. “Cakep emang!” gumam Bimo, pandangan matanya tak lepas dari Yura, penuh kekaguman. “Istri orang woy!” aku menoyor kepalanya. Entah mengapa ada perasaan tak rela Yura dipandang seperti itu oleh lelaki lain. “Lo kan ngga cinta katanya,” Bimo membela diri. “I.. iya sih!” aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. “Tapi tetep aja lo ngga boleh begitu, awas lo ya!” aku mengepalkan tangan. “Ciyee cemburuuu..” ledeknya dengan suara lirih. “Silakan Bu Yura, bisa mulai pembelajaran hari ini,” Bu Santi lantas pamit meninggalkan kelas. “Assalamualaikum,” s
“Tempe lagi?” Aku berdecak setelah membuka tudung saji. Kemarin siang makan tempe goreng, malamnya kering tempe, lalu sekarang… “Nasi goreng tempe!” Yura memperjelas. “Resep dari mana sih nasi goreng tempe?” Ngadi-ngadi emang nih cewek. “Yang kutahu di resto itu kalo ngga nasi goreng ayam, babat, sosis, minimal telur lah!” “Ini sisa tempe semalam masih ada, sayang kan kalo nggak dimakan. Lagian telur lagi mahal sekarang.” Ish, kami udah seperti orang melarat gini, sih. Padahal biasanya di rumah Papa, nasi dan lauk sisa semalam, dijadikan makanan kucing sama Budhe Yati. Sekarang, aku jadi tahu perasaan kucing itu. “Ya sudah aku berangkat saja!” Dengan kesal kusambar tas di atas kursi lalu melangkah pergi. Yura mengikutiku sampai ujung pintu kemudian mengulurkan tangannya. “Apa?” tanyaku ketus. “Salim!" jawabnya, sukses bikin aku mual-mual. Tapi daripada kelamaan berdebat, kuturuti saja kemauannya. Seraya menarik napas panjang, perlahan aku balas mengulurkan tangan. Dengan cepat
Kenapa harus ketemu di saat seperti ini, sih? Aku kan jadi pengen. Pengen nyamber es teh dan sepotong roti yang dia bawa, maksudnya. Lapaar. Duh kuatkan imanku ya Allah. “Ka,” sapanya. “Hem!” Aku menjawab sok cool. “Kamu nggak marah, kan?” “Marah apa?” “Aku jadian sama Reno.” “Oh, selamat ya!” ujarku singkat. Semenjak tahu dia jadian sama Reno, aku udah ilfeel. Jadi segitu aja seleranya si Aina. “Misi, gue mau masuk kelas.” Aku berusaha melangkah tapi Aina masih menghalangi. “Kok jadi lu-gue sih sekarang, bukannya kemarin kita udah saling panggil aku-kamu?” Aku mendesah. Apaan sih ni cewek segala panggilan dipermasalahin. “Oke, permisi, A-KU mau lewat,” kata aku sengaja kuperjelas. Biar puas. Malas berlama-lama ngobrol dengannya. “Kok, kaya terpaksa gitu.” Arghhh aku menjerit dalam hati, seandainya dia cowok sudah kuhajar. “Aina, tolong dong, kamu udah jadian sama Reno, tidak perlu dekat-dekat denganku lagi, nanti dia cemburu.” Sebenarnya aku tak peduli sama sekali dengan
Siang hari sepulang sekolah aku tak langsung ke apartemen. Mampir dulu ke ATM, mengambil sisa-sisa harta yang kupunya. Aku mau membeli beberapa bahan pangan di minimarket. Nyesel juga, waktu uang jajanku tak terbatas dulu mengapa aku tak rajin menabung. Sekarang ketika kartu kredit sudah disita Papa, uang bulanan pun hanya dikasih secuil, aku kelimpungan jadinya. Setiba di supermarket aku mengambil beberapa bungkus mie instan, biskuit dan roti untuk jaga-jaga kalau Yura memasak makanan yang tak bisa diterima oleh lidahku lagi. Aku jadi ingat dulu pernah sekali ikut Budhe belanja bulanan di supermarket karena kebetulan ada barang yang sedang ingin kubeli juga. Aku kesal melihat budhe terlalu lama memilih barang. Budhe selalu memperhatikan baik-baik harganya, kemudian mengamati kemasan produk, tak jarang mengeluarkan kalkulator dari dalam tasnya. “Budhe ngapain sih?” tanyaku ketika itu. “Ini lho, Budhe lagi bandingin harga yang paling murah yang mana,” jawabnya sambil tetap memence
“Apa-apaan sih?” Yura mengambil piring di atas meja. Kulirik isinya. Nasi dengan sayur sop tanpa daging, tapi ada sedikit potongan bakso di sana. Itu pasti bakso murahan yang ia beli di pasar. Yura lalu duduk persis di hadapanku. “Aaak” Disodorkannya sesendok ke arahku sambil memberi kode agar aku mau membuka mulut. Entah mengapa bak terhipnotis, aku menurut saja. “Kau tau, kalau mau pintar, harus makan makanan dengan gizi yang seimbang,” ujarnya sambil mengusap daguku yang sedikit basah karena ketumpahan kuah sayur. Jantungku serasa berhenti berdetak karena sentuhannya. Mungkin benar juga kata Bimo, pria beristri akan terlihat lebih terawat karena sudah ada yang memperhatikan lebih. Uhuks! “Aku tidak ingin Papa melihat anaknya kurang gizi setelah menikah,” katanya lagi. “Kenapa? Kau takut Papa tidak memberimu uang lagi?” tanyaku curiga. Aku tahu disamping jatah bulanan kami, Papa masih memberinya uang untuk kebutuhan ibu dan adiknya di kampung. “Hem yaa itu salah satunya.” S
“Ka, ngapa lo dari tadi pegang-pegang pipi mulu? Sakit gigi?” Pertanyaan dari Bimo membuatku tersadar dan buru-buru menurunkan tangan. “Hah? Nggak ah, pegang pipi apa sih?” “Lo ngga nyadar ya, dari tadi, lo jalan menuju kelas, sampe sekarang, tangan lo tuh di pipi muluk!” tatapan Bimo penuh selidik, jadi berasa terdakwa yang di interogasi polisi deh gue. “Oh gue tau!” Bimo tersenyum. Ia mendekatkan kepalanya, lalu berujar dengan suara yang lebih lirih. “Jangan-jangan, tadi malam lo berbuat tidak senonoh, terus digampar sama bu Yura!” What? Aku melotot dan reflek tanganku mencekik leher Bimo. Pelan kok, ngga kenceng, bukan mau bunuh orang. “Gila lo ya, banyak orang, jangan sebut namanya di sini!” “Wekkk, ampun, ampuuun” jerit Bimo, segera kulepaskan cengkraman tanganku di lehernya. Bimo lalu membenarkan kerah bajunya yang berantakan karena kucekik tadi. “Kalo bukan itu terus apa?” tanyanya. Aku menarik napas sambil mencari alasan yang tepat. “Kepo amat si lo! Ada nyamuk tadi ne