Share

7. Pengantin Baru

“Ma- masa kita sekasur juga?” tanyaku yang kini berdiri di sisi tempat tidur. 

Yura yang sedari tadi sibuk memainkan ponsel di atas kasur menoleh. 

“Tempat tidurku hanya satu. Tidur saja di lantai kalau mau." 

“Kalau nggak mau?” 

“Ya, tidur sini, bersamaku!” Ia menepuk-nepuk kasur sembari tersenyum. 

“Nggak mau! Kamu yang tidur di lantai, aku kan tamu!” protesku. 

“Ya nggak bisa dong Arka, kamu itu suami, sudah bukan tamu lagi. Kalau aku tidur di bawah, terus masuk angin kamu mau ngerikin?” 

“Nggak, nggak!” Aku menggeleng cepat. 

“Kalau begitu... Pinjem selimut!” Dengan kasar kutarik selimut yang sedang digunakannya, lalu menata di lantai dan berbaring membelakangi ranjang. 

Sungguh sulit untuk benar-benar terlelap di kamar ini. Berulang kali aku menengok jam dinding, rasanya waktu berjalan begitu lambat. 

Pelan-pelan aku membalikkan tubuh. Kulihat mata Yura sudah terpejam, syukurlah. Aku beranjak mendekati ranjang. Kuambil ponsel yang masih setengah tergenggam di tangannya, lalu meletakkan di atas meja. Kubenarkan posisi selimutnya yang sedikit tersingkap.

Melihat anak rambut yang berserak di wajahnya, tanganku bergerak mendekat. Ini kali pertama kulihat kepalanya tak bertutup hijab. Tepat saat jemariku sedikit menyentuh dahinya, ia tiba-tiba bergerak. 

Cepat-cepat aku kembali ke posisiku semula, berbaring di atas lantai beralaskan selimut. Entah berapa lama aku memaksakan diri untuk memejamkan mata hingga akhirnya benar-benar terlelap. 

********** 

Pagi-pagi sekali saat bangun tidur aku bergegas mandi. Saat masuk lagi ke kamar setelah menyelesaikan mandiku, kulihat Yura baru bangun dari tidurnya.  

"Dari mana?" tanyanya.  

“Mandi.” 

“Kok rambutnya nggak basah?” 

“Emang nggak keramas, males!” 

“Duh!” Ia serta merta beranjak dari tempat tidur. 

“Tunggu-tunggu!” Kulihat ia mengambil botol berisi air minum, menuang sedikit air dari botol itu ke tangannya, lalu membasahi rambutku yang kering. 

“Apaan sih ini?” Aku yang terkejut berusaha menghindar. 

“Kamu gimana sih. Pengantin baru, pagi-pagi rambutnya harus terlihat basah!” 

Hah? Aku mengerutkan kening.  

Kulihat ia kembali menuang air dari botol ke tangannya. "Kurang basah, nih."  

“Kenapa harus begitu?" Kuhalau tangannya hingga air tumpah  membasahi lantai.  

“Beneran ngga tau?” Ia nampak mengehela napas kesal. "Belum diajarin bab mandi wajib di sekolah ya?” 

" Mandi wajib? Ma-maksud kamu biar orang-orang kira kita sudah…” 

Yura mengangguk sembari mengacungkan ibu jari. “Pinterrr!” 

“Astaga… Buat apa sih?” 

“Ya biar kita lebih meyakinkan sebagai pasangan suami istri.” 

********** 

“Bu, Yura pamit ya," ucap Yura sambil mencium punggung tangan ibunya. 

Pagi ini kami akan kembali ke Jakarta. Naik taksi sampai bandara lalu lanjut dengan pesawat menuju Jakarta. Di Jakarta nanti kami akan dijemput oleh Mas Deny supir pribadi Papa. 

“Kok cuma sehari di rumah Nduk, nggak bisa lebih lama?” 

 

“Ngga bisa Bu, Arka masih banyak pekerjaan di Jakarta, Yura juga.” 

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum membenarkan ucapan Yura yang nggak benar-benar amat. Pekerjaan apa? Pekerjaan Rumah alias PR dari guru? 

Kulihat Zaydan melirik ke arahku. Saat ini yang tahu tentang statusku sebenarnya sebagai pelajar memang hanya Zaydan. Yura sengaja menyembunyikan ini dari ibunya. Takut ibunya kepikiran. Takut ibunya tahu ia menikah hanya demi uang semata, demi pengobatan ibu dan biaya sekolah adiknya. 

“Jaga Yura baik-baik ya Nak Arka,” kata Ibu saat aku gantian mencium punggung tangannya. 

“Iya Bu, InsyaAllah,” jawabku santun udah kayak menantu idaman para mertua saja. Seorang Arka bisa bicara sesantun ini, wih kesambet apa. Kalau bukan karena ancaman Papa dan desakan Yura aku juga nggak akan begini. 

“Zaydan…” Yura memeluk adik lelaki semata wayangnya. “Mbak titip Ibu ya.” 

“Iya Mbak, jaga diri Mbak baik-baik," jawabnya. "Kalau dia macam-macam sama Mbak, bilang padaku, biar kuhajar!” sambungnya dengan berbisik. 

Adik iparku itu melirik tajam ke arahku. Nampak jelas ketidak sukaan di matanya. Aneh, harusnya kan aku yang kesal padanya. Tak ada angin tak ada hujan, ia tiba-tiba muncul di depan rumah dan mengamuk. 

"Kau sudah berbuat apa pada kakakku, ha?" teriaknya lalu melayangkan tinju ke arahku. Saat aku baru mau membalasnya. Eh, Yura muncul dan melerai kami berdua. Lalu waktu kuadukan pada Papa kelakuan barbarnya, malah Papa membelanya. Sungguh sial. 

Melepaskan pelukan Yura, Zaydan lalu menjabat tanganku dengan erat. “Jaga kakakku, dia wanitaku yang sangat berharga setelah Ibu!” 

Aku diam saja tak menjawab. Sesaat kemudian Yura meraih lenganku. 

"Ayo, Sayang, taksinya sudah menunggu." 

"Sa-yang?" ulangku sembari menatap heran ke arah Yura. Saat kurasakan cubitan kecil di perutku aku pun membalasnya. "Oh I-iya Sayang, ayo."

  

  

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status