“Sah?”
“Sah!”
“Sah!”
Suara para saksi bersahutan setelah aku mengucap kalimat ijab kabul dengan menjabat tangan Zaydan.
"Alhamdulillah …."
Sesaat kemudian Mas Deny datang membawakan cincin.
“Ayo, Mas Arka, cincinnya dipakaikan ke Mbak Yura,” titah penghulu.
Ehem, pasang di jarinya Yura? Harus banget gitu? Kenapa nggak pakai sendiri saja?
“Ayo, Mas, nunggu apa?” Ini yang ngebet kenapa malah Pak Penghulu, sih!
“I-iya, Pak.” Aku menjawab grogi. Dengan tangan sedikit bergetar aku mengambil cincin dari wadah mungil berwarna merah hati. Kulihat tangan Bu Yura sudah terulur ke arahku.
“Arka, lama amat! Pegel, nih!” bisiknya.
Heran, Bu Yura nggak ada gugup-gugupnya menikah, maunya cepat-cepat saja.
Akhirnya kusematkan juga cincin di jari manisnya. Aku terkejut ketika merasakan sentuhan lembut bibir dan hidung perempuan itu di punggung tanganku. Dulu sewaktu kecil aku selalu melihat Mama mencium punggung tangan Papa seperti ini. Lalu setelahnya, Papa akan ....
“Mas Arka cium kening Mbak Yura, ya.” Nah persis seperti ini! Kali ini fotografer yang bertitah padaku. Kurang ajar memang, sudah dibayar mahal, kenapa dia jadi yang main perintah-perintah seenaknya?
Aku menarik napas panjang. Semua mata tampak memandang ke arah kami, seperti tak sabar menunggu momen aku mencium Bu Yura. Dasar mesum kalian!
Sedikit demi sedikit aku menggerakkan kepalaku mendekati wajah ibu guruku itu. Lalu tiba-tiba. Cup!
Bu Yura dengan cepat menyorongkan kepalanya hingga bibirku menyentuh keningnya. “Arka, kamu membuang waktuku terlalu lama.” Kembali ia berbisik.
Astagaaa ….
“Nah, gitu, dong, yang mesra,” ucap fotografer.
Mesra, gundulmu!
“Tahan dulu ya, saya foto.”
“Oke, sekarang Mas Arka sama Mbak Yura saling menggenggam tangan dan tunjukkin cincin nikahnya.”
Aku terkejut ketika dengan cepat Bu Yura meraih tanganku, mengikuti instruksi fotografer tak ada akhlak itu.
“Sekarang Mas Arka dan Mbak Yura saling pandang, tangan Mas Arka ke pinggang Mbak Yura, dan tangan Mbak Yura melingkar ke leher Mas Arka.”
Yasalaaam, pose apa lagi ini? Sampai di sini aku sudah mau protes keras sama fotografer, tapi kalah cepat dengan Bu Yura yang menarik pinggangku mendekatinya. Membuat jantungku berdegup kencang. Di telingaku ia berbisik, “Sudah kubilang, kan, di depan keluargaku kau harus pura-pura mencintaiku.”
***
“Arka, Papa pulang duluan ke Jakarta ya, kalian menyusul besok,” kata Papa seusai acara akad nikah di rumah Bu Yura. Para tamu yang jumlahnya tak seberapa itu pun sudah pulang ke rumah masing-masing.
“Bareng saja sekalian sih, Pa,” jawabku sembari melepaskan jas akad. Gerah. Di rumah Yura tidak ada AC.
“Jangan, dong, pengantin baru nggak boleh capek-capek di malam pertamanya.”
Papa terkekeh, sementara aku hanya mampu menelan ludah. Malam pertama? Mana ada malam pertama. Aku dan Yura sudah bersepakat, meskipun menikah kami tetap akan hidup masing-masing. Kami sudah saling rida melepaskan hak dan kewajiban suami istri, yang penting terlihat baik-baik saja di hadapan keluarga.
“Bu Yura, kita … tidur sekamar?” tanyaku ketika kami sama-sama telah berada di dalam kamar.
Tampak ia menghela napas. “Yaelah manggil ibu. Kita kaya suami istri udah beranak dua aja!”
Aku melotot. Tentu saja kupanggil dia ibu, karena dari awal mengenalnya, dia adalah ibu guruku.
“Kita suami istri sekarang, panggil nama saja.”
Aku menelan ludah, masih terasa asing dengan status suami istri itu. Tapi mau bagaimana, terpaksa aku menurutinya. Kalau Papa mendengar aku masih memanggilnya ibu, pasti kena omel panjang. Daripada ujung-ujungnya disuruh manggil sayang atau adek, lebih aneh lagi, mending sedari sekarang aku harus membiasakan diri hanya memanggil nama kepadanya.
“Baiklah. Yura!” ucapku terpaksa. Kulihat ia tersenyum. Manis sebenarnya, tapi tetap saja aku tak mau menikah di usia semuda ini! Apa enaknya, huh!
“Terus bagaimana dengan tidur?” Aku mengulangi pertanyaanku yang belum dijawabnya. “Kita tidur sekamar?”
“Yaiyalah. Suami istri, apalagi pengantin baru tentu saja harus tidur sekamar," jawabnya begitu santai. Heran.
“Tapi kita kan .…” Kalimatku mengambang di udara. Kurasa Yura sudah tahu apa yang ingin kukatakan.
“Tenang, kau tidak akan kuapa-apakan.” Senyumnya menyeringai. “Kalau tidak khilaf.” Ia lalu terkekeh.
Spontan tanganku memeluk diri sendiri. Awas kalau Yura berani menyentuhku meski seujung kuku! Aku bakal teriak minta tolong sekencang mungkin!
“Eh, eh, kau mau apa?” tanyaku ketika kulihat ia memegang kancing baju kebayanya.
“Ganti bajulah!”
“Di- di depanku?” tanyaku terbata.
“Boleh saja, kalau kau mau.”
Seketika bulu kudukku merinding, aku bergegas lari dari kamar. Penasaran sih, tapi tak mau menodai mataku yang masih suci ini. Ya Tuhaan, nonton BF saja aku tak berani apalagi melihat langsung dengan mata kepalaku sendiri. Kalau kata temanku, Ali dan Rizal, nakalku nanggung. Bodo amat!
“Ma- masa kita sekasur juga?” tanyaku yang kini berdiri di sisi tempat tidur. Yura yang sedari tadi sibuk memainkan ponsel di atas kasur menoleh. “Tempat tidurku hanya satu. Tidur saja di lantai kalau mau." “Kalau nggak mau?” “Ya, tidur sini, bersamaku!” Ia menepuk-nepuk kasur sembari tersenyum. “Nggak mau! Kamu yang tidur di lantai, aku kan tamu!” protesku. “Ya nggak bisa dong Arka, kamu itu suami, sudah bukan tamu lagi. Kalau aku tidur di bawah, terus masuk angin kamu mau ngerikin?” “Nggak, nggak!” Aku menggeleng cepat. “Kalau begitu... Pinjem selimut!” Dengan kasar kutarik selimut yang sedang digunakannya, lalu menata di lantai dan berbaring membelakangi ranjang. Sungguh sulit untuk benar-benar terlelap di kamar ini. Berulang kali aku menengok jam dinding, rasanya waktu berjalan begitu lambat. Pelan-pelan aku membalikkan tubuh. Kulihat mata Yura sudah terpejam, syukurlah. Aku beranjak mendekati ranjang. Kuambil ponsel yang masih setengah tergenggam di tangannya, lalu mele
“Tempat tinggal kalian sekarang bukan di sini!”Baru saja aku sampai rumah dan merebahkan badan di sofa, Papa sudah mengatakan hal yang membuatku kaget.Apalagi ini? Setelah dipaksa menikah, sekarang aku diusir dari rumah?“Tapi di apartemen milik Yura,” sambung Papa.“Nggak Pa, masa Arka menumpang di tempat Yura,” tolakku. Di mana harga diriku coba, numpang tinggal di rumah istri.“Kalau Papa mau Arka dan Yura tidak tinggal di rumah ini lagi, Arka harus punya apartemen sendiri.” Aku mencoba memberikan penawaran. Ya kali aja, habis ini Papa akan melepas satu apartemennya untukku. Masa, mantu yang notabene orang lain dikasih, anaknya sendiri nggak. Sungguj ther-la-lu, kalau kata Bang Haji.“Apa kau punya uang untuk membelinya? Papa tidak mau memberimu cuma-cuma.” Papa berkata tegas.“Tega Papa, sebenarnya Arka ini anak kandung Papa bukan sih?” Aku merengut, tapi Papa malah tertawa.“Justru, karena kamu anak kandung Papa satu-satunya yang paling Papa sayang. Sudah cukup Papa terlalu me
“Arka!!” Si tubuh gempal Bimo menoyor kepalaku dari belakang. Kebiasaan kami kalo ketemu memang begitu saling toyor menoyor. “Eh, rambut lo basah!” Tangan Bimo kembali menyentuh kepalaku, kali ini sambil mengacak-ngacak rambutku, “Iya rambut lo basah!” “Apaan sih lo Mo, ga pernah lihat rambut basah apa gimana?” Aku menjawab sebal. Masih kesal dengan serentetan kejadian yang kualami beberapa hari ini. Bimo menarik tanganku menuju sudut sekolahan yang sepi. “Heh lo mau apa?” hardikku yang kaget dengan tarikan tangan Bimo. “Ciyee yang habis malam pertama ciyeee…” Astaga…. Cepat-cepat aku membekap mulut Bimo, kalau ada yang tahu bisa gawat. “Awas lo ya kalo ember!” ancamku. “Berarti bener, lo udah malam pertama?” Mata Bimo melotot, mulutnya menganga. Jijay! “Bukan itu maksud gue, lo jangan ember kasih tau orang-orang kalo gue udah nikah,” jawabku mengklarifikasi. “Lagian malam pertama apaan sih? Nggak ada malam pertama. Gue kan udah bilang, malam pertama gue, hanya buat cewek
Aku melotot begitu mendengar nama yang sangat familiar itu disebut-sebut bu Santi. Azyura? Sekelas langsung heboh begitu sosok ibu guru baru itu muncul di hadapan mereka. “Ka, itu mirip Bu Azyura, guru les lo!” Bimo menyenggol lenganku. Ia memang pernah sekali melihat Azyura watu main ke rumahku. “Sial ngapain, dia ngikutin gue sampai ke sini sih!” Aku mendesah. “Jadi bener itu Azyura-nya elo?” Aku menarik napas panjang lalu mengangguk. “Cakep emang!” gumam Bimo, pandangan matanya tak lepas dari Yura, penuh kekaguman. “Istri orang woy!” aku menoyor kepalanya. Entah mengapa ada perasaan tak rela Yura dipandang seperti itu oleh lelaki lain. “Lo kan ngga cinta katanya,” Bimo membela diri. “I.. iya sih!” aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. “Tapi tetep aja lo ngga boleh begitu, awas lo ya!” aku mengepalkan tangan. “Ciyee cemburuuu..” ledeknya dengan suara lirih. “Silakan Bu Yura, bisa mulai pembelajaran hari ini,” Bu Santi lantas pamit meninggalkan kelas. “Assalamualaikum,” s
“Tempe lagi?” Aku berdecak setelah membuka tudung saji. Kemarin siang makan tempe goreng, malamnya kering tempe, lalu sekarang… “Nasi goreng tempe!” Yura memperjelas. “Resep dari mana sih nasi goreng tempe?” Ngadi-ngadi emang nih cewek. “Yang kutahu di resto itu kalo ngga nasi goreng ayam, babat, sosis, minimal telur lah!” “Ini sisa tempe semalam masih ada, sayang kan kalo nggak dimakan. Lagian telur lagi mahal sekarang.” Ish, kami udah seperti orang melarat gini, sih. Padahal biasanya di rumah Papa, nasi dan lauk sisa semalam, dijadikan makanan kucing sama Budhe Yati. Sekarang, aku jadi tahu perasaan kucing itu. “Ya sudah aku berangkat saja!” Dengan kesal kusambar tas di atas kursi lalu melangkah pergi. Yura mengikutiku sampai ujung pintu kemudian mengulurkan tangannya. “Apa?” tanyaku ketus. “Salim!" jawabnya, sukses bikin aku mual-mual. Tapi daripada kelamaan berdebat, kuturuti saja kemauannya. Seraya menarik napas panjang, perlahan aku balas mengulurkan tangan. Dengan cepat
Kenapa harus ketemu di saat seperti ini, sih? Aku kan jadi pengen. Pengen nyamber es teh dan sepotong roti yang dia bawa, maksudnya. Lapaar. Duh kuatkan imanku ya Allah. “Ka,” sapanya. “Hem!” Aku menjawab sok cool. “Kamu nggak marah, kan?” “Marah apa?” “Aku jadian sama Reno.” “Oh, selamat ya!” ujarku singkat. Semenjak tahu dia jadian sama Reno, aku udah ilfeel. Jadi segitu aja seleranya si Aina. “Misi, gue mau masuk kelas.” Aku berusaha melangkah tapi Aina masih menghalangi. “Kok jadi lu-gue sih sekarang, bukannya kemarin kita udah saling panggil aku-kamu?” Aku mendesah. Apaan sih ni cewek segala panggilan dipermasalahin. “Oke, permisi, A-KU mau lewat,” kata aku sengaja kuperjelas. Biar puas. Malas berlama-lama ngobrol dengannya. “Kok, kaya terpaksa gitu.” Arghhh aku menjerit dalam hati, seandainya dia cowok sudah kuhajar. “Aina, tolong dong, kamu udah jadian sama Reno, tidak perlu dekat-dekat denganku lagi, nanti dia cemburu.” Sebenarnya aku tak peduli sama sekali dengan
Siang hari sepulang sekolah aku tak langsung ke apartemen. Mampir dulu ke ATM, mengambil sisa-sisa harta yang kupunya. Aku mau membeli beberapa bahan pangan di minimarket. Nyesel juga, waktu uang jajanku tak terbatas dulu mengapa aku tak rajin menabung. Sekarang ketika kartu kredit sudah disita Papa, uang bulanan pun hanya dikasih secuil, aku kelimpungan jadinya. Setiba di supermarket aku mengambil beberapa bungkus mie instan, biskuit dan roti untuk jaga-jaga kalau Yura memasak makanan yang tak bisa diterima oleh lidahku lagi. Aku jadi ingat dulu pernah sekali ikut Budhe belanja bulanan di supermarket karena kebetulan ada barang yang sedang ingin kubeli juga. Aku kesal melihat budhe terlalu lama memilih barang. Budhe selalu memperhatikan baik-baik harganya, kemudian mengamati kemasan produk, tak jarang mengeluarkan kalkulator dari dalam tasnya. “Budhe ngapain sih?” tanyaku ketika itu. “Ini lho, Budhe lagi bandingin harga yang paling murah yang mana,” jawabnya sambil tetap memence
“Apa-apaan sih?” Yura mengambil piring di atas meja. Kulirik isinya. Nasi dengan sayur sop tanpa daging, tapi ada sedikit potongan bakso di sana. Itu pasti bakso murahan yang ia beli di pasar. Yura lalu duduk persis di hadapanku. “Aaak” Disodorkannya sesendok ke arahku sambil memberi kode agar aku mau membuka mulut. Entah mengapa bak terhipnotis, aku menurut saja. “Kau tau, kalau mau pintar, harus makan makanan dengan gizi yang seimbang,” ujarnya sambil mengusap daguku yang sedikit basah karena ketumpahan kuah sayur. Jantungku serasa berhenti berdetak karena sentuhannya. Mungkin benar juga kata Bimo, pria beristri akan terlihat lebih terawat karena sudah ada yang memperhatikan lebih. Uhuks! “Aku tidak ingin Papa melihat anaknya kurang gizi setelah menikah,” katanya lagi. “Kenapa? Kau takut Papa tidak memberimu uang lagi?” tanyaku curiga. Aku tahu disamping jatah bulanan kami, Papa masih memberinya uang untuk kebutuhan ibu dan adiknya di kampung. “Hem yaa itu salah satunya.” S