Share

6. Akhirnya Menikah

“Sah?”

“Sah!”

“Sah!”

Suara para saksi bersahutan setelah aku mengucap kalimat ijab kabul dengan menjabat tangan Zaydan.

"Alhamdulillah …."

Sesaat kemudian Mas Deny datang membawakan cincin.

“Ayo, Mas Arka, cincinnya dipakaikan ke Mbak Yura,” titah penghulu.

Ehem, pasang di jarinya Yura? Harus banget gitu? Kenapa nggak pakai sendiri saja?

“Ayo, Mas, nunggu apa?” Ini yang ngebet kenapa malah Pak Penghulu, sih!

“I-iya, Pak.” Aku menjawab grogi. Dengan tangan sedikit bergetar aku mengambil cincin dari wadah mungil berwarna merah hati. Kulihat tangan Bu Yura sudah terulur ke arahku.

“Arka, lama amat! Pegel, nih!” bisiknya.

Heran, Bu Yura nggak ada gugup-gugupnya menikah, maunya cepat-cepat saja.

Akhirnya kusematkan juga cincin di jari manisnya. Aku terkejut ketika merasakan sentuhan lembut bibir dan hidung perempuan itu di punggung tanganku. Dulu sewaktu kecil aku selalu melihat Mama mencium punggung tangan Papa seperti ini. Lalu setelahnya, Papa akan ....

“Mas Arka cium kening Mbak Yura, ya.” Nah persis seperti ini! Kali ini fotografer yang bertitah padaku. Kurang ajar memang, sudah dibayar mahal, kenapa dia jadi yang main perintah-perintah seenaknya?

Aku menarik napas panjang. Semua mata tampak memandang ke arah kami, seperti tak sabar menunggu momen aku mencium Bu Yura. Dasar mesum kalian!

Sedikit demi sedikit aku menggerakkan kepalaku  mendekati wajah ibu guruku itu. Lalu tiba-tiba. Cup!

Bu Yura dengan cepat menyorongkan kepalanya hingga bibirku menyentuh keningnya. “Arka, kamu membuang waktuku terlalu lama.” Kembali ia berbisik.

Astagaaa ….

“Nah, gitu, dong, yang mesra,” ucap fotografer.

Mesra, gundulmu!

“Tahan dulu ya, saya foto.”

“Oke, sekarang Mas Arka sama Mbak Yura saling menggenggam tangan dan tunjukkin cincin nikahnya.”

Aku terkejut ketika dengan cepat Bu Yura meraih tanganku, mengikuti instruksi fotografer tak ada akhlak itu.

“Sekarang Mas Arka dan Mbak Yura saling pandang, tangan Mas Arka ke pinggang Mbak Yura, dan tangan Mbak Yura melingkar ke leher Mas Arka.”

Yasalaaam, pose apa lagi ini? Sampai di sini aku sudah mau protes keras sama fotografer, tapi kalah cepat dengan Bu Yura yang menarik pinggangku mendekatinya. Membuat jantungku berdegup kencang. Di telingaku ia berbisik, “Sudah kubilang, kan, di depan keluargaku kau harus pura-pura mencintaiku.”

***

“Arka, Papa pulang duluan ke Jakarta ya, kalian menyusul besok,” kata Papa seusai acara akad nikah di rumah Bu Yura. Para tamu yang jumlahnya tak seberapa itu pun sudah pulang ke rumah masing-masing. 

“Bareng saja sekalian sih, Pa,” jawabku sembari melepaskan jas akad. Gerah. Di rumah Yura tidak ada AC.

“Jangan, dong, pengantin baru nggak boleh capek-capek di malam pertamanya.”

Papa terkekeh, sementara aku hanya mampu menelan ludah. Malam pertama? Mana ada malam pertama. Aku dan Yura sudah bersepakat, meskipun menikah kami tetap akan hidup masing-masing. Kami sudah saling rida melepaskan hak dan kewajiban suami istri, yang penting terlihat baik-baik saja di hadapan keluarga.

“Bu Yura, kita … tidur sekamar?” tanyaku ketika kami sama-sama telah berada di dalam kamar.

Tampak ia menghela napas. “Yaelah manggil ibu. Kita kaya suami istri udah beranak dua aja!”

Aku melotot. Tentu saja kupanggil dia ibu, karena dari awal mengenalnya, dia adalah ibu guruku.

“Kita suami istri sekarang, panggil nama saja.”

Aku menelan ludah, masih terasa asing dengan status suami istri itu. Tapi mau bagaimana, terpaksa aku menurutinya. Kalau Papa mendengar aku masih memanggilnya ibu, pasti kena omel panjang. Daripada ujung-ujungnya disuruh manggil sayang atau adek, lebih aneh lagi, mending sedari sekarang aku harus membiasakan diri hanya memanggil nama kepadanya.

“Baiklah. Yura!” ucapku terpaksa. Kulihat ia tersenyum. Manis sebenarnya, tapi tetap saja aku tak mau menikah di usia semuda ini! Apa enaknya, huh!

“Terus bagaimana dengan tidur?” Aku mengulangi pertanyaanku yang belum dijawabnya. “Kita tidur sekamar?”

“Yaiyalah. Suami istri, apalagi pengantin baru tentu saja harus tidur sekamar," jawabnya begitu santai. Heran.

“Tapi kita kan .…” Kalimatku mengambang di udara. Kurasa Yura sudah tahu apa yang ingin kukatakan.

“Tenang, kau tidak akan kuapa-apakan.” Senyumnya menyeringai. “Kalau tidak khilaf.” Ia lalu terkekeh.

Spontan tanganku memeluk diri sendiri. Awas kalau Yura berani menyentuhku meski seujung kuku! Aku bakal teriak minta tolong sekencang mungkin!

“Eh, eh, kau mau apa?” tanyaku ketika kulihat ia memegang kancing baju kebayanya.

“Ganti bajulah!”

“Di- di depanku?” tanyaku terbata.

“Boleh saja, kalau kau mau.” 

Seketika bulu kudukku merinding, aku bergegas lari dari  kamar. Penasaran sih, tapi tak mau menodai mataku yang masih suci ini. Ya Tuhaan, nonton BF saja aku tak berani apalagi melihat langsung dengan mata kepalaku sendiri. Kalau kata temanku, Ali dan Rizal, nakalku nanggung. Bodo amat!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Asih
"nakal (yg) nanggung.." bahahah kayaknya emang iya sih.. Arka tuh cemen.. emang pas ketemunya sama Yura..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status