Share

4. Kejutan

"Kita mau kemana, Bang?" tanyaku ketika kami sudah duduk di dalam mobil. Hari pertama setelah pernikahan kami Bang Fyan mengajakku ke luar.

"Pacaran." jawabnya santai.

Aku hanya mencebik mendengarnya.

"Mumpung Abang masih cuti, apa salahnya kita menghabiskan waktu bersama," lanjutnya.

Memilih tak bersuara lagi, dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sejak pagi tadi pagi benda ini tidak kusentuh.

Ada beberapa pesan dari Maya juga teman-temanku semasa kuliah dan SMA.

Isinya sebagian mengucapkan selamat dan selebihnya meledekku. Resiko pengantin baru, jadi bahan guyonan teman-teman.

Asyik membalas chat mereka, aku lupa kalau di sebelahku ada seseorang yang sepertinya merasa diabaikan.

Beberapa kali dia berdehem. Aku hanya meliriknya sekilas. Lalu kembali fokus ke layar ponsel.

Cekiiiittt!!!

Mobil tiba-tiba direm mendadak. Sontak aku menjerit kaget.

"Kenapa sih, Bang Fyan?" Aku bertanya dengan nada agak tinggi.

"Ada kucing tiba-tiba menyebrang," jawabnya dengan tetap fokus ke depan tanpa melihatku.

Kucing?

Masa sih? Ini bukan komplek perumahan penduduk. Mana ada kucing berkeliaran.

Aku menengok ke belakang, untung di belakang tidak ada kendaraan lain.

"Fokus dong, Bang! Ara kan kaget."

"Ya, makanya. Bantu Abang perhatikan jalan di depan! Ini malah mainin ponsel," ucapnya seraya melajukan kembali mobil.

Hmm. Aku faham. Jangan-jangan kucing itu memang tidak ada. Ini hanya akal-akalan dia supaya aku berhenti memainkan ponsel.

Dasar egois!

Hening. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkannya. Sementara aku mulai jenuh. Setengah jam kami hanya muter-muter tidak jelas.

"Dari tadi muter-muter terus, emang nggak cape?" Akhirnya aku mengajukan protes.

"Tinggal duduk aja kok, nggak bakalan cape."

"Jalan tapi gak ada tujuan. Mending nggak ke mana-mana aja," gumamku sedikit kesal.

"Kalau kita di rumah, emang kamu mau deket-deket Abang? Belum tentu, kan? Yang ada Abang dicuekin dan kamu memilih ngobrol sama Kak Rani."

"Ya gapapa dong, dia kan kakakku," balasku cepat.

"Tapi Abang kan suamimu yang harus lebih kamu perhatikan," jawabnya santai sambil tetap fokus menyetir.

Aku melayangkan tatapan geram ke arahnya. Jadi ngajak jalan cuma buat berduaan dan bisa deket-deketan?

"Nggak usah gitu juga ngeliatnya. Nanti jatuh cinta, bisa berabe lho." Dengan pedenya dia berkata dan melirikku dengan ekor matanya.

Kekesalanku bertambah. Ini orang kenapa jadi menyebalkan seperti ini. Apa ada yang salah dengan aku?

Keherananku bertambah ketika kami memasuki area perumahan elite. Menerobos pos satpam dan melaju menyusuri jalan yang terbilang sepi.

Karena belum semua unit terisi, suasana agak lengang. Rumah-rumah berjejer rapi dengan pohon yang mulai rindang.

Hunian yang terbilang mewah berada di daerah perbukitan. Menawarkan pemandangan hijau dan udara yang sejuk.

Permata Parahyangan Residence, hanya berjarak sekitar 5 km dari tokoku. Bisa ditempuh dengan perjalanan sekitar 10 sampai dengan 15 menit.

Ya, Tokoku, toko sepatu itu aku kelola bersama Maya, sahabatku. Kami berteman sejak kuliah. Kebetulan kami satu Fakultas. Selepas lulus Maya pernah beberapa kali bekerja tapi selalu resign lebih awal. Ada saja alasannya. Dari yang bosnya genit sampai masalah rekan kerja dan lingkungan kerja yang nggak nyaman.

Aku yang sempet nganggur beberapa bulan merasa bosan tak ada kesibukan. Papa berkali-kali menawarkan pekerjaan di kantornya, tapi aku belum tertarik. Pertama aku tidak begitu berminat kerja kantoran. Kedua aku ingin mandiri dan sukses tanpa banyak campur tangan dari Papa.

Berawal dari hobbyku belanja sepatu dan Maya yang punya hobby koleksi tas. Akhirnya kami punya ide untuk mengelola toko itu. Sebagai modal awal Maya punya tabungan dari hasil kerjanya meski berpindah-pindah tapi dia pandai mengatur keuangan.

Dan aku? Tentu saja mendapat bantuan dari Papa. Meski aku bersikeras bilang bahwa aku akan ganti uang Papa. Dan beliau bersikeras juga agar aku tak usah menggantinya. Sama-sama keras kepala. Aku memang mewarisi sifat keras kepala dari Papa.

Meski pada akhirnya setahun kemudian aku memaksa untuk mengembalikan uang Papa. Tentu saja dengan sedikit rayuan dari Mama. Papa memang selalu luluh dengan sikap lemah lembut Mama.

Dengan semangat dan kerja keras aku dan Maya, alhamdulillah toko sepatu dan tas yang kami kelola bersama mengalami kemajuan. Hingga saat ini kami bisa menggaji satu karyawan untuk membantu kami.

Bang Fyan menghentikan mobilnya di depan salah satu rumah berlantai dua. Letaknya di jajaran tengah, berada di tempat yang tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah. Jadi di sebelah kirinya lebih tinggi dan di sebelah kanannya nampak rumah-rumah yang letaknya lebih rendah.

Indah.

Aku masih bengong ketika Bang Fyan membukakan pintu mobil dari luar. Begitu menginjakkan kaki, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Rumah siapa, Bang?"

"Nanti setelah di dalam, kamu akan tahu. Ayo!" Bang Fyan meraih tanganku dan membawaku menuju teras.

Sepi.

Sebenarnya kami akan bertemu siapa? Ini rumah siapa? Tidak ada kendaraan terparkir di luar. Apa mungkin tuan rumahnya sedang tidak ada?

Tepat di depan pintu, kami berhenti dan Bang Fyan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

Kunci.

Apakah ini rumah .... ?

"Ayo, masuk!" titahnya dengan gerakan tangan mempersilakan.

Aku masih mematung. Bang Fyan melangkah duluan ke dalam. Dia menarik tanganku sedikit lebih kuat.

Melangkah perlahan, aku memandang sekeliling. Ruangan ini masih kosong. Seharusnya ada sofa sebab sepertinya ini ruang tamu.

"Masih kosong, belum ada satupun perabotan. Karena Abang ingin Nyonya rumah ini yang mengatur dan memilih semua furniture."

"Bang, ini .... "

"Ini rumah kita. Mudah-mudahan Ara suka."

Aku menatap Bang Fyan dengan rasa tak percaya. Ini surprise?

"Catnya udah Abang ganti dengan warna kesukaanmu. Ini sama dengan warna kamar kamu, kan?"

Aku mengangguk. Tak bisa berkata sepatah katapun.

"Tahu dari mana? Abang kan, baru masuk kamar Ara tadi malam?"

"Ada, deh!"

"Papa?"

"Bukan."

"Mama?"

"Ya."

"Abang kepoin Ara, ya? Nanya-nanya tentang Ara sama Mama Papa?"

"Daripada nanya sama tetangga."

Aku mengerucutkan bibir.

"Kita liat ruangan yang lain nya."

Tanpa menunggu jawaban dariku, dia melangkah lebih dulu.

Melewati ruang tamu yang hanya tersekat tembok setengah ruangan dan tanpa pintu, terdapat ruangan yang agak luas, ini cocok untuk ruang keluarga. Ada kaca besar di sebelah kiri memperlihatkan bagian luar rumah yang terletak di bagian kiri rumah tepat di belakang garasi.

Sebuah taman dan kolam renang berukuran kecil. Di belakang ruang keluarga ada dapur dan ruang makan.

Disebelah kanan rumah terdapat dua kamar tidur dan satu kamar mandi yang terletak di samping dapur.

Musholla dan teras belakang tempat menjemur pakaian.

"Kita ke atas!" Tangannya masih erat menggenggam, membuatku terseok mengikuti setiap pergerakan tubuhnya.

Perhatikanku langsung tertuju pada balkon yang luas di bagian depan lantai atas. Menyuguhkan pemandangan alam yang memanjakan mata.

"Indah!" Hanya itu yang mampu terucap.

"Kita bisa menikmati sunset sambil duduk di sini," ucapnya sambil melihat ke arah kanan.

"Atau di sana." Tangannya menunjuk sebelah kiri.

Ada terdapat satu balkon lagi dengan ukuran lebih kecil, sepertinya itu terhubung dengan kamar.

Dia menarik tanganku, berjalan memutar dan memasuki sebuah ruangan yang cukup luas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status