Share

6. Takut Khilaf

Teringat beberapa hari yang lalu ketika Bang Fyan memberikan benda persegi tipis itu padaku.

"Ini. Peganglah! Untuk keperluan rumah selama satu bulan. Untuk keperluan pribadi Ara, Abang sudah transfer ke nomor rekening Ara."

Bang Fyan terlalu baik untukku. Aku tak bisa menerima semua kebaikannya, mengingat sikapku sejauh ini belum bisa menjadi seperti layaknya seorang istri.

Ini memang menjadi dilema panjang dalam hidupku kini. Aku bukannya tak mau menjadi istri yang baik buat Bang Fyan. Bukan juga tak tahu tentang hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.

Ini tentang rasa dan perasaan. Bagiku, segala sesuatunya memang harus dibarengi dengan perasaan. Aku paling tidak bisa mengabaikan perasaan. Dan perasaanku masih sepenuhnya milik dia yang tak kunjung kembali.

***

Ini malam pertama kami tidur di rumah sendiri. Sejak tiba di rumah beberapa menit yang lalu dan setelah menyimpan belanjaan dan berganti pakaian, aku duduk bermalas-malasan di ruang tengah. Bingung juga mau ngapain.

Sebenarnya aku sudah mulai mengantuk, tapi untuk pergi ke kamar rasanya enggan. Akhirnya menyalakan televisi yang ada di ruang tengah dan memilih tontonan yang satupun tidak ada yang menarik minatku. Sesekali membuka ponsel lalu kembali ke layar televisi.

"Belum ngantuk?" tanya Bang Fyan yang entah sejak kapan berada di dekat kursi yang kududuki.

"Eh, belum," jawabku agak gugup bercampur kaget.

Lelaki itu berlalu ke belakang dan beberapa menit kemudian kembali dengan dua buah cangkir di tangannya. Lalu memberikan satu cangkir kepadaku dan dengan ragu aku menerimanya.

"Makasih," ucapku. Asap yang mengepul mengantarkan aroma coklat yang begitu kuat menyapa indera penciumanku. Membuatku sejenak memejamkan mata sambil menghirupnya kuat-kuat. Sempurna.

"Masih sama ekspresinya ketika bertemu dengan secangkir coklat panas," ucap Bang Fyan yang kini duduk di sampingku.

Aku menoleh sejenak sambil tersenyum tipis lalu kembali fokus pada coklat panas di tanganku.

"Ekspresi yang selama empat tahun ini sangat Abang rindukan," lanjutnya. Membuat aku menghentikan gerakanku untuk menyeruput coklat dalam genggamanku. Lalu kembali menoleh ke arahnya dan mendapati dia tengah tersenyum menatapku lembut.

Aku mengerutkan kening sebagai tanda tidak percaya dengan apa yang dia katakan.

"Abang kira akan selamanya Abang dibelenggu kerinduan terhadap semua yang ada pada Ara. Ternyata Tuhan hanya menguji Abang selama empat tahun ini. Meskipun rasanya seperti berpuluh bahkan ribuan tahun," kekehnya kemudian menyeruput coklat miliknya.

"Dan ternyata selama empat tahun itu Abang jadi pinter gombal, nya?" cibirku.

"Sejak dulu Abang sudah ingin gombalin Ara, tapi Abang tahan karena belum saatnya. Yang ada nanti Abang malah diketawain karena ngegombalin adik sendiri," tawanya makin menjadi.

Selanjutnya tak kuhiraukan lagi, aku asik menikmati coklat ini. Minuman favoritku dari dulu, dan Bang Fyan sangat faham betul. Bahkan ketika aku merajuk, tak akan susah untuk membuat senyumku mengembang kembali. Cukup dengan memberikan aku coklat panas.

"Tapi ada satu hal yang Abang sayangkan."

"Apa?" tanyaku cepat.

"Penasaran, ya?"

"Nggak."

"Tadi nanyanya cepet amat."

"Biasa aja."

"Nggak mau ngaku!"

"Emang biasa saja!" jawabku tak kalah sewot.

Tak terdengar jawaban dari lelaki di sampingku yang kembali asik dengan coklatnya. Aku mendengus kesal sambil memutar bola mataku. Tapi tak ada reaksi apa-apa darinya.

"Apa!?" ulangku.

"Tuh kan, kelihatan sekali jiwa keponya." Dia kembali terkekeh membuat kesabaranku menipis. Reflek aku meraih bantal kursi dan melemparkannya pada lelaki yang nampak puas terkekeh.

"Ihh nyebelin!"

Buk!

Tepat mengenai tanganya dan spontan cangkir yang masih berisi coklat itu tumpah sebagian mengenai tangan dan piyamanya.

"Aw!!" Pekiknya.

Akupun tak kalah kaget, segera kuletakkan cangkir di atas meja lalu mengambil tisu yang berada tak jauh dari cangkir. Tak membuang waktu aku segera membersihkan dengan tangan kanan dan tangan kiriku memegang pergelangannya.

Untuk beberapa saat aku fokus membersihkan sisa-sisa coklat.

"Maaf," ucapku seraya mengangkat wajah dan kudapati wajahnya yang hanya berjarak beberapa inci dari wajahku sedang menatapku lekat. Sejenak pandangan kami bertaut namun segera aku menunduk kembali karena tak mau berlama-lama menatapnya. Dengan cepat kuselesaikan membersihkan tumpahan coklat pada tangannya.

Namun kejadian selanjutnya sangat tidak kuduga. Tangan Bang Fyan yang satunya meraih cangkir yang masih tersisa coklat lalu menumpahkannya sedikit ke atas pahanya yang berbalut piyama. Sontak mataku melebar dan mulutku sedikit terbuka, apa yang dia lakukan?

Belum hilang kekagetanku dia meraih tanganku dan membimbingnya mengambil tisu lalu menaruhnya di atas pahanya yang barusan sengaja dia tumpahi sisa coklat. Dalam genggaman tangannya, tanganku bergerak membersihkan tumpahan coklat di sana.

Untuk beberapa saat aku bertahan dalam posisi ini, dan selanjutnya aku menarik tanganku dan melepaskannya dari genggamannya.

"Modus!"

Dia hanya tersenyum jahil seraya berdiri.

"Abang ganti baju dulu," ucapnya yang sengaja tidak kubalas. Aku sangat kesal dengan ulahnya barusan yang sengaja menumpahkan sisa coklat ke atas pahanya. Niat banget sepertinya menggenggam tanganku dan membuat ada perasaan aneh menyelusup tanpa permisi ke dalam hatiku.

Selang beberapa menit dia sudah kembali dengan piyama baru. Lalu duduk lagi di sampingku. Memasang wajah datar seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Masih penasaran, nggak?"

"Nggak."

"Yakin?"

"Nggak."

"Kok jawabnya nggak mulu?"

"Abang juga nggak niat jawab kan?"

Tiba-tiba terdengar tawanya begitu saja.

"Abang cuma mau bilang kalau sekarang Ara tuh jadi agak kaku sama Abang. Kenapa?"

"Ya karena sekarang statusnya juga berbeda kan? Dulu Abang adalah sahabat sekaligus kakak bagi Ara. Sekarang kan suami Ara, jadi .... "

"Jadi bagus dong, sekarang kita tidak ada batasan. Bisa pegang tangan dan ... "

"Dasar modus!" jawabku cepat.

"Tapi Ara juga suka kan dimodusin?" tanyanya membuat pipiku sontak memanas.

"Sok tahu!"

"Nggak usah bohong. Pipi kamu itu sudah menjawab dengan sendirinya."

Astaga!

Aku bangkit dan segera meninggalkan dia yang masih senyum-senyum nggak jelas. Lebih baik aku tidur saja daripada terus menerus diledekin. Bang Fyan memang sangat gemar menggodaku. Dulu aku sering menangis karena kerap beradu pendapat dengannya. Dia yang egois dan tak mau mengalah dengan pendapatnya tapi jadi orang pertama yang melindungiku kalau ada yang menggangguku.

Aku berbaring di atas sofa yang terletak di dekat jendela besar di kamar.

"Kenapa tidur di sana? Takut diapa-apain ya sama Abang?" Rupanya dia mengikutiku masuk kamar dan segera berbaring di ranjang.

Aku tak menjawab.

"Ayo tidur di sini saja! Bukankah di rumah Mama juga kita tidur satu ranjang? Apalagi ini rumah kita." Dia menepuk kasur di sebelahnya.

Aku tetap diam.

"Kan Abang sudah bilang, Abang tidak akan memaksa. Anggap saja kita lagi pacaran. Tapi kalau Ara tetap bersikeras tidur di sana, Abang akan memaksa. Sekarang tinggal pilih, mau jalan ke sini sendiri atau Abang gendong?" Dia bangkit dan sepertinya akan segera berjalan menghampiriku.

"Nggak usah digendong, Ara bisa jalan sendiri!" kataku ketus seraya berjalan ke arah kasur dan berbaring membelakanginya di ujung kasur yang kosong.

Semoga saja malam ini Bang Fyan tidak khilaf.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status