Share

5. Belanja

"Ini kamar tidur kita. Suka?"

Aku mengangguk.

"Pagi hari kita bisa menikmati sunrise melalui jendela besar ini, '' jelasnya seraya menunjuk jendela kaca besar di sebelah kiri kamar. "Dan sorenya, kita bisa menikmati sunset di balkon," lanjutnya menunjuk ke arah balkon.

"Dan di sana, ada dua kamar tidur lagi. Untuk anak-anak kita nanti." Dia menunjuk ke arah luar kamar sambil tersenyum.

Aku tersenyum tipis dan melihatnya sekilas. Bang Fyan sudah mempersiapkan ini untukku?

Pelan ku langkahkan kaki mendekatinya yang kini tengah berdiri berdiri di dekat jendela besar di bagian samping kamar. Cahaya matahari siang ini hanya tinggal sedikit masuk membentuk garis miring, menerpa wajahnya yang bersih. Matanya bulatnya menatap lurus ke luar jendela. Dengan kedua tangan berada di saku celana abu-abu yang dia kenakan.

Gagah.

"Kemarin, Abang bilang tinggal sekitar 30 menit perjalanan dari restoran yang tempo hari kita ketemu. Deket toko Ara. Tapi dari sini kan jarak cuma 15 menit, Bang."

Aku berdiri disampingnya dengan tatapan searah dengannya.

"Abang menyewa rumah untuk sementara. Karena disini belum bisa ditempati. Kan masih kosong begini, belom ada perabotan."

Melirik sekilas ke arahnya yang masih menatap lurus ke depan.

"Abang belum cerita pada Ara, kok tiba-tiba ada di kota ini dan menetap di sini? Ara pikir setelah kita menikahi Abang akan memboyong Ara ke Surabaya."

"Abang pindah kerja ke sini," jawabnya singkat.

Aku hanya mengangguk-angguk. Bang Fyan memutuskan untuk menyusul orang tuanya ke Surabaya, begitu aku resmi pacaran dengan Rey. Semula dia tinggal sendirian di rumahnya setelah orang tuanya pindah ke sana.

"Sudah berapa lama?" tanyaku penasaran.

"Tiga bulan yang lalu," jawabnya dengan senyum tipis.

"Kok Ara nggak tahu Abang sudah lama di sini? Tahu-tahu Abang datang melamar Ara malam itu," omelku cepat.

"Sebenarnya udah pernah beberapa kali ketemu Papa. Di kantor Papa."

"Papa nggak cerita sama Ara," balasku.

"Abang yang minta supaya jangan kasih tahu Ara dulu. Biar jadi kejutan." Bang Fyan terkekeh.

Aku membuang pandangan ke luar. Kenapa tiba-tiba jadi curiga sama Papa? Jangan-jangan ada campur tangan dari Papa dalam hal ini.

"Setelah shalat Dzuhur, kita cari furniture, ya. Pilih yang Ara suka! Kamu Nyonya di sini, dan berhak sepenuhnya atas rumah ini."

"Abang juga berhak untuk mengatur segala sesuatunya. Bukankah Abang juga akan tinggal di sini?"

"Kamu saja! Abang pasti suka apa yang kamu suka."

"Jangan terlalu baik sama Ara! Belum tentu Ara bisa membalasnya."

"Tak perlu dibalas, ini hak kamu sebagai istri. Sudah seharusnya Abang memberikannya." Datar dan tanpa ekspresi. Setelahnya dia berlalu meninggalkan aku yang mematung tanpa suara.

Dia bicara tentang hak. Lalu sebagai istri aku belum bisa memberikan haknya. Apakah adil baginya? Sementara hatiku saja masih milik orang lain.

***

Empat hari ini aku dan Bang Fyan sibuk bolak-balik ke toko furniture dan ke rumah kami. Ya, rumah kami. Rumah yang Bang Fyan beli atas namaku.

Aku hanya membeli perlengkapan rumah yang saat ini kami perlukan saja. Sofa, tempat tidur, gorden, dan perlengkapan dapur.

Dua kamar diatas yang terletak di seberang kamar kami sengaja masih kosong. Kamar yang kata Bang Fyan untuk anak-anak kami.

Membayangkan punya banyak anak-anak bersama Bang Fyan, membuat aku tersenyum getir. Apakah bisa?

Hari ke enam setelah pernikahan kami, Bang Fyan membawaku pindah ke rumah itu. Tentu saja dengan drama pelepasan Mama. Padahal jaraknya dari rumah Mama tak lebih dari satu jam. Kapan saja Mama bisa berkunjung. Ataupun sebaliknya, namun Mama melepasku seakan-akan aku akan pergi jauh ke luar pulau.

Aku menolak menggunakan jasa pembantu yang ditawarkan Mama. Aku bisa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Toh hanya ada aku dan Bang Fyan, tidak akan banyak pekerjaan.

"Mama nggak usah khawatir! Ara bisa lakukan semuanya sendiri kok." Aku meyakinkan Mama.

"Mama cuma khawatir kamu kecapean, Ra. Kan harus ke toko juga."

"Aku juga tidak akan membiarkan Ara cape sendiri, Ma. Mama tenang saja," kata Bang Fyan.

"Mama ini suka lebay. Kita pulang aja, yu! Biar mereka istirahat," timpal Papa.

"Papa sama Mama, nginep aja di sini!" pinta Bang Fyan.

"Lain kali saja, nanti malah mengganggu," goda Mama yang disambut kekehan Papa.

Selepas Mama dan Papa pulang, aku masih berkeliling rumah. Mengecek setiap sudut agar terlihat sempurna. Semua letak barang sesuai keinginanku. Bang Fyan ketika kutanya pendapat tentang apapun jawabnya hanya terserah.

"Sore ini nggak usah masak, Ra! Kita makan diluar. Kasian kamunya kan cape."

"Iya, Bang."

***

Sore ini kami pergi makan di luar. Lagi-lagi Bang Fyan memberikan wewenang kepadaku untuk memilih restoran dan menu yang akan menjadi hidangan kami.

"Bang, kok Ara terus yang menentukan semuanya? Emang Abang nggak ada keinginan, gitu?" protesku.

"Keinginan Abang itu supaya Ara nyaman, nggak merasa tertekan dan bebas memilih apa saja yang Ara mau. Nanti kalau Abang yang menentukan semuanya, terus Ara merasa tertekan. Abang gagal dong membuat Ara bahagia," jelasnya

"Ara bebas menentukan semuanya, tapi tidak termasuk bebas memilih dengan siapa Ara menikah," ucapku sinis.

Kurasa ucapanku itu akan menyakiti hatinya. Tapi Bang Fyan tetap tersenyum. Apakah dia tidak merasa sakit hati dengan ucapanku?

"Karena dalam hal menikah, yang memilih itu laki-laki. Seorang perempuan hanya menunggu untuk dipilih."

Jawaban macam apa? Memang perempuan tidak punya hak menentukan kebahagiaan pernikahannya. Egois!

Bukankah awal kebahagiaan itu adalah menikah dengan orang yang dicintai?

Bodo amat, lah! Aku tak ingin terlalu memikirkannya. Eh, tunggu! Dalam hal ini apakah aku yang bisa dibilang egois?

Usai makan Bang Fyan mengajakku ke salah satu mall besar di kota ini. Aku males nanya-nanya mau apa. Berjalan mengekor di belakangnya, seperti ajudan dengan tuannya.

Namun tiba-tiba dia memelankan langkah, dan mensejajarkan tubuhnya dengan tubuhku. Lalu menyambar jemari tangan kiriku. Menggenggamnya dengan tangan kanannya.

Sekilas kulihat wajahnya, dia tersenyum tipis dan kembali fokus ke depan.

Kami berhenti di depan sebuah outlet busana muslim.

"Mau apa, Bang?"

"Cari kerudung."

"Kerudung Ara udah banyak dan masih bagus-bagus."

"Tapi tidak ada yang menutup aurat secara sempurna," jawabnya datar.

Kerudungku memang hampir semua berbentuk segi empat ukuran pendek dan pasmina.

"Mbak, tolong bantu istri saya mencari kerudung syar'i. Instan ataupun segiempat!" pintanya pada gadis berseragam di hadapan kami.

"Baik, Pak. Mari, Bu. Silahkan!" Setengah ragu kuikuti gadis itu.

Sebenarnya aku bingung, tapi aku memutuskan untuk memilih beberapa kerudung berukuran lebar. Teringat pada kerudungku di rumah yang hampir semua merk brand terkenal dengan harga lumayan selangit. Bagaimana nasib mereka nanti?

Aku membeli beberapa kerudung saja, hanya warna-warna dasar yang nantinya bisa dipadukan dengan baju-bajuku. Bingung juga kalau tiba-tiba harus memborong.

Bang Fyan dengan santainya menungguku. Dia berdiri ketika aku datang menenteng beberapa Tote bag.

"Sudah?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Cuma segitu?" Dahinya mengernyit seraya menunjuk tentenganku.

"Besok-besok lagi aja, Bang. Ini sudah cukup dulu."

"Atau uangnya kurang? Nanti Abang tambahin."

"Nggak usah! Masih ada kok. Kita pulang aja, yuk!" Tanpa menunggu jawaban aku melangkah mendahuluinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status