"Ini kamar tidur kita. Suka?"
Aku mengangguk."Pagi hari kita bisa menikmati sunrise melalui jendela besar ini, '' jelasnya seraya menunjuk jendela kaca besar di sebelah kiri kamar. "Dan sorenya, kita bisa menikmati sunset di balkon," lanjutnya menunjuk ke arah balkon."Dan di sana, ada dua kamar tidur lagi. Untuk anak-anak kita nanti." Dia menunjuk ke arah luar kamar sambil tersenyum.Aku tersenyum tipis dan melihatnya sekilas. Bang Fyan sudah mempersiapkan ini untukku?Pelan ku langkahkan kaki mendekatinya yang kini tengah berdiri berdiri di dekat jendela besar di bagian samping kamar. Cahaya matahari siang ini hanya tinggal sedikit masuk membentuk garis miring, menerpa wajahnya yang bersih. Matanya bulatnya menatap lurus ke luar jendela. Dengan kedua tangan berada di saku celana abu-abu yang dia kenakan.Gagah."Kemarin, Abang bilang tinggal sekitar 30 menit perjalanan dari restoran yang tempo hari kita ketemu. Deket toko Ara. Tapi dari sini kan jarak cuma 15 menit, Bang."Aku berdiri disampingnya dengan tatapan searah dengannya."Abang menyewa rumah untuk sementara. Karena disini belum bisa ditempati. Kan masih kosong begini, belom ada perabotan."Melirik sekilas ke arahnya yang masih menatap lurus ke depan."Abang belum cerita pada Ara, kok tiba-tiba ada di kota ini dan menetap di sini? Ara pikir setelah kita menikahi Abang akan memboyong Ara ke Surabaya.""Abang pindah kerja ke sini," jawabnya singkat.Aku hanya mengangguk-angguk. Bang Fyan memutuskan untuk menyusul orang tuanya ke Surabaya, begitu aku resmi pacaran dengan Rey. Semula dia tinggal sendirian di rumahnya setelah orang tuanya pindah ke sana."Sudah berapa lama?" tanyaku penasaran."Tiga bulan yang lalu," jawabnya dengan senyum tipis."Kok Ara nggak tahu Abang sudah lama di sini? Tahu-tahu Abang datang melamar Ara malam itu," omelku cepat."Sebenarnya udah pernah beberapa kali ketemu Papa. Di kantor Papa.""Papa nggak cerita sama Ara," balasku."Abang yang minta supaya jangan kasih tahu Ara dulu. Biar jadi kejutan." Bang Fyan terkekeh.Aku membuang pandangan ke luar. Kenapa tiba-tiba jadi curiga sama Papa? Jangan-jangan ada campur tangan dari Papa dalam hal ini."Setelah shalat Dzuhur, kita cari furniture, ya. Pilih yang Ara suka! Kamu Nyonya di sini, dan berhak sepenuhnya atas rumah ini.""Abang juga berhak untuk mengatur segala sesuatunya. Bukankah Abang juga akan tinggal di sini?""Kamu saja! Abang pasti suka apa yang kamu suka.""Jangan terlalu baik sama Ara! Belum tentu Ara bisa membalasnya.""Tak perlu dibalas, ini hak kamu sebagai istri. Sudah seharusnya Abang memberikannya." Datar dan tanpa ekspresi. Setelahnya dia berlalu meninggalkan aku yang mematung tanpa suara.Dia bicara tentang hak. Lalu sebagai istri aku belum bisa memberikan haknya. Apakah adil baginya? Sementara hatiku saja masih milik orang lain.***Empat hari ini aku dan Bang Fyan sibuk bolak-balik ke toko furniture dan ke rumah kami. Ya, rumah kami. Rumah yang Bang Fyan beli atas namaku.Aku hanya membeli perlengkapan rumah yang saat ini kami perlukan saja. Sofa, tempat tidur, gorden, dan perlengkapan dapur.Dua kamar diatas yang terletak di seberang kamar kami sengaja masih kosong. Kamar yang kata Bang Fyan untuk anak-anak kami.Membayangkan punya banyak anak-anak bersama Bang Fyan, membuat aku tersenyum getir. Apakah bisa?Hari ke enam setelah pernikahan kami, Bang Fyan membawaku pindah ke rumah itu. Tentu saja dengan drama pelepasan Mama. Padahal jaraknya dari rumah Mama tak lebih dari satu jam. Kapan saja Mama bisa berkunjung. Ataupun sebaliknya, namun Mama melepasku seakan-akan aku akan pergi jauh ke luar pulau.Aku menolak menggunakan jasa pembantu yang ditawarkan Mama. Aku bisa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Toh hanya ada aku dan Bang Fyan, tidak akan banyak pekerjaan."Mama nggak usah khawatir! Ara bisa lakukan semuanya sendiri kok." Aku meyakinkan Mama."Mama cuma khawatir kamu kecapean, Ra. Kan harus ke toko juga.""Aku juga tidak akan membiarkan Ara cape sendiri, Ma. Mama tenang saja," kata Bang Fyan."Mama ini suka lebay. Kita pulang aja, yu! Biar mereka istirahat," timpal Papa."Papa sama Mama, nginep aja di sini!" pinta Bang Fyan."Lain kali saja, nanti malah mengganggu," goda Mama yang disambut kekehan Papa.Selepas Mama dan Papa pulang, aku masih berkeliling rumah. Mengecek setiap sudut agar terlihat sempurna. Semua letak barang sesuai keinginanku. Bang Fyan ketika kutanya pendapat tentang apapun jawabnya hanya terserah."Sore ini nggak usah masak, Ra! Kita makan diluar. Kasian kamunya kan cape.""Iya, Bang."***Sore ini kami pergi makan di luar. Lagi-lagi Bang Fyan memberikan wewenang kepadaku untuk memilih restoran dan menu yang akan menjadi hidangan kami."Bang, kok Ara terus yang menentukan semuanya? Emang Abang nggak ada keinginan, gitu?" protesku."Keinginan Abang itu supaya Ara nyaman, nggak merasa tertekan dan bebas memilih apa saja yang Ara mau. Nanti kalau Abang yang menentukan semuanya, terus Ara merasa tertekan. Abang gagal dong membuat Ara bahagia," jelasnya"Ara bebas menentukan semuanya, tapi tidak termasuk bebas memilih dengan siapa Ara menikah," ucapku sinis.Kurasa ucapanku itu akan menyakiti hatinya. Tapi Bang Fyan tetap tersenyum. Apakah dia tidak merasa sakit hati dengan ucapanku?"Karena dalam hal menikah, yang memilih itu laki-laki. Seorang perempuan hanya menunggu untuk dipilih."Jawaban macam apa? Memang perempuan tidak punya hak menentukan kebahagiaan pernikahannya. Egois!Bukankah awal kebahagiaan itu adalah menikah dengan orang yang dicintai?Bodo amat, lah! Aku tak ingin terlalu memikirkannya. Eh, tunggu! Dalam hal ini apakah aku yang bisa dibilang egois?Usai makan Bang Fyan mengajakku ke salah satu mall besar di kota ini. Aku males nanya-nanya mau apa. Berjalan mengekor di belakangnya, seperti ajudan dengan tuannya.Namun tiba-tiba dia memelankan langkah, dan mensejajarkan tubuhnya dengan tubuhku. Lalu menyambar jemari tangan kiriku. Menggenggamnya dengan tangan kanannya.Sekilas kulihat wajahnya, dia tersenyum tipis dan kembali fokus ke depan.Kami berhenti di depan sebuah outlet busana muslim."Mau apa, Bang?""Cari kerudung.""Kerudung Ara udah banyak dan masih bagus-bagus.""Tapi tidak ada yang menutup aurat secara sempurna," jawabnya datar.Kerudungku memang hampir semua berbentuk segi empat ukuran pendek dan pasmina."Mbak, tolong bantu istri saya mencari kerudung syar'i. Instan ataupun segiempat!" pintanya pada gadis berseragam di hadapan kami."Baik, Pak. Mari, Bu. Silahkan!" Setengah ragu kuikuti gadis itu.Sebenarnya aku bingung, tapi aku memutuskan untuk memilih beberapa kerudung berukuran lebar. Teringat pada kerudungku di rumah yang hampir semua merk brand terkenal dengan harga lumayan selangit. Bagaimana nasib mereka nanti?Aku membeli beberapa kerudung saja, hanya warna-warna dasar yang nantinya bisa dipadukan dengan baju-bajuku. Bingung juga kalau tiba-tiba harus memborong.Bang Fyan dengan santainya menungguku. Dia berdiri ketika aku datang menenteng beberapa Tote bag."Sudah?" tanyanya.Aku mengangguk."Cuma segitu?" Dahinya mengernyit seraya menunjuk tentenganku."Besok-besok lagi aja, Bang. Ini sudah cukup dulu.""Atau uangnya kurang? Nanti Abang tambahin.""Nggak usah! Masih ada kok. Kita pulang aja, yuk!" Tanpa menunggu jawaban aku melangkah mendahuluinya.Teringat beberapa hari yang lalu ketika Bang Fyan memberikan benda persegi tipis itu padaku."Ini. Peganglah! Untuk keperluan rumah selama satu bulan. Untuk keperluan pribadi Ara, Abang sudah transfer ke nomor rekening Ara."Bang Fyan terlalu baik untukku. Aku tak bisa menerima semua kebaikannya, mengingat sikapku sejauh ini belum bisa menjadi seperti layaknya seorang istri.Ini memang menjadi dilema panjang dalam hidupku kini. Aku bukannya tak mau menjadi istri yang baik buat Bang Fyan. Bukan juga tak tahu tentang hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Ini tentang rasa dan perasaan. Bagiku, segala sesuatunya memang harus dibarengi dengan perasaan. Aku paling tidak bisa mengabaikan perasaan. Dan perasaanku masih sepenuhnya milik dia yang tak kunjung kembali.***Ini malam pertama kami tidur di rumah sendiri. Sejak tiba di rumah beberapa menit yang lalu dan setelah menyimpan belanjaan dan berganti pakaian, aku duduk bermalas-malasan di ruang tengah. Bingung juga mau ngapain. Sebenarn
Agak tergesa-gesa aku mengendarai motor matic kesayanganku pagi ini. Bukan pagi, ini sudah beralih siang. Aku terlambat setengah jam dari biasanya. Ini hari pertama aku kembali ke toko setelah aku menikah.Pagi tadi Maya mengirim pesan padaku bahwa hari ini dia akan datang terlambat ke toko. Ya, ini jadwal rutinnya menemani ibunya ke dokter.Genangan air di beberapa bagian jalan yang pagi ini sengaja tak kuhindari, menimbulkan percikan air ketika laju motorku sama sekali tak kuperlambat. Biasanya aku akan menghindar demi si merah kesayanganku ini tetap kelihatan bersih.Memasuki area pertokoan yang berjajar rapi, sedikit kupelankan laju motorku. Dengan tergesa-gesa kuparkirkan si merah di depan satu-satunya toko yang masih tutup. Bergegas turun dan tanpa membuka helm aku berjalan sambil mengambil kunci di dalam tas dan berjalan mendekati pintu.Kulihat Iren, satu-satunya karyawanku yang sedari tadi duduk d depan konter sebelah bangkit dan berjalan ke arahku."Pagi, Mbak," sapanya."Pa
Aku hanya berdecak sebal sementara lelaki tampan di sampingku kembali terkekeh.Bang Fyan mengajakku makan siang di salah satu restoran favorit kami dulu. Letaknya tak jauh dari tokoku. Berada di seberang taman kota yang banyak ditumbuhi pohon Flamboyan. Dan kami sering menyebutnya dengan sebutan taman Flamboyan. Di tempat ini aku kecil sering menghabiskan waktu bersama. Pun setelah dewasa.Di taman ini juga aku dan Rey sering bertemu untuk sekedar ngobrol dan menikmati coklat panas yang kami beli di cafe yang tak jauh dari taman."Taman itu tidak banyak perubahan, ya," ucap Bang Fyan seraya menatap lurus ke seberang jalan. Dari restoran ini memang sangat jelas terlihat aktivitas di taman itu. Banyak para abege dan remaja yang sedang beraktivitas di bawah pohon Flamboyan yang rindang.Selepas makan, Bang Fyan mengajakku duduk di salah satu bangku di bawah pohon Flamboyan. Sebenarnya aku enggan mampir ke sini. Banyak sekali momen yang kulalui di taman ini."Tunggu sebentar, ya!" titah
Hari-hari selanjutnya aku jalani seperti biasa, dingin dan kaku. Seperti hubunganku dengan Bang Fyan. Sangat kaku. Tak terasa sudah satu bulan kami menjalani pernikahan seperti ini. Kami halal dan hidup serumah, tapi jarang terlibat obrolan. Hanya sebatas basa-basi menawarkan sarapan atau kopi.Sebenarnya Bang Fyan sering memulai percakapan, tapi aku selalu menanggapinya dingin. Dia juga tak pernah bersikap kasar padaku, meskipun aku terkadang ketus.Seperti malam-malam sebelumnya, kami tidur berjauhan di sisi ranjang yang berbeda. Saling memunggungi, dan ada guling di tengah sebagai pembatas.Bang Fyan tak pernah membahas masalah ini, meskipun aku tahu dia tak menginginkan keadaan ini. Kadang aku pun merasa bersalah dalam situasi seperti ini, tapi entahlah hatiku masih belum terbuka hingga kini.Untuk urusan yang lain aku telaten mengerjakannya. Seperti membuatkan sarapan dan menyiapkan baju kerjanya.Pagi-pagi sekali setelah menunaikan shalat subuh aku sudah mulai membuat sarapan. M
Sadar tubuh kami masih merapat dengan posisi tangan saling memeluk. Aku secepatnya menarik tubuhku. Begitupun Bang Fyan. Kami sama-sama gugup. Untuk menutupi rasa gugupnya, Bang Fyan meraih tanganku dan membimbingku ke ruang tengah. Membantuku duduk untuk kemudian kembali ke dapur. Beberapa detik kemudian dia datang dengan segelas air putih. Pria itu punya duduk di sampingku dan menyerahkan gelas itu."Minum dulu!" suruhnya lembut.Enggan menjawab, aku menerima gelas dari tangannya kemudian meminum separuh isinya. Berniat meletakkannya di atas meja, tapi tangannya bergerak cepat meraih gelas di tanganku. Dan tak dapat dihindari ketika tangan kami bersentuhan, dia mengambil gelasnya lalu meminum sisa airnya. Setelah itu menaruhnya di atas meja seperti niatku semula.Aku mematung di tempat dudukku, melihat apa yang baru saja dia lakukan."Jadi pergi ke toko?" tanyanya kemudian.Aku menggeleng. Tidak mungkin juga aku pergi ke toko dengan keadaan mata bengkak seperti ini. Meski belum be
Sampai cangkir di tangan kiriku tandas, begitupun cangkir yang ada di tangan kanannya. Kosong. Aku melepaskan tangan kananku yang berada di pinggangnya. Meraih cangkir yang kosong di tangan kanannya. Kemudian meletakkan di meja kecil yang berada di samping kursi.Bang Fyan mengikutiku langkahku kemudian membimbingku duduk di kursi sementara dia bersimpuh di hadapanku. Meraup kedua tanganku dan menggenggamnya lembut."Terimakasih sudah memberikan senyuman termanis untuk Abang. Itu sangat berarti bagi Abang. Tetaplah tersenyum untuk Abang. Karena dengan melihat senyum Ara, Abang seperti menggenggam seluruh dunia." Manik hitam itu lekat menatapku, kemudian tanganku terangkat dan berhenti di bawah bibir tipisnya. Kurasakan beberapa kali kecupan lembut di sana, membuat aku semakin merasakan denyutan aneh menjalar ke seluruh tubuhku.Hujan masih rintik-rintik di luar sana. Seperti gerimis di hatiku menyirami sesuatu yang baru tumbuh jauh di dasar paling dalam.Bang Fyan duduk di sampingku
Kulihat Bang Fyan menyugar rambutnya secara kasar. Aku tak suka caranya seperti ini. Kenangan itu tak bisa dipaksakan untuk hilang. Membekas bukan berarti ingin mengulang. Perlu waktu untuk menggantikan seseorang yang telah terpatri di dalam hati. Dan aku sedang berusaha keras untuk itu.Dia masih duduk di bangku itu dengan kedua sikut bertumpu pada pahanya. Kepalanya menunduk dengan urat-urat tegas jelas terlihat di wajahnya. Nampak kemarahannya begitu ingin disembunyikan. Satu sisi hatiku merasa bersalah telah membuat wajahnya begitu memerah namun sisi hatiku yang lain juga merasa marah dengan caranya.Beberapa menit kemudian nampak dia bangkit dan mengusap wajahnya kasar. Lalu berjalan tergesa-gesa menuju mobil dimana aku terlebih dahulu telah masuk.Tanpa suara dia duduk di kursi kemudi, lalu melajukan mobil menuju rumah Mama.Selama perjalanan yang hanya beberapa menit saja, kami saling diam. Tak ada suara selain deru mesin mobil yang memenuhi rongga telinga. Hatiku yang mulai
Kesal karena kejadian kemarin sore di taman Flamboyan belum juga reda, pagi ini dia sudah menambahnya. Segera aku turun untuk menemuinya di bawah. Dadaku terasa naik turun menahan kesal yang memuncak.Sepagi ini biasanya dia sedang berolahraga kecil di taman. Sebelum membantuku menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah.Tiba di ruang makan aku mendapati dua piring roti bakar. Harum margarin begitu menggoda untuk menikmatinya. Dia tahu kesukaanku.Selain itu terdapat dua buah cangkir yang masing-masing mendampingi satu piring. Teh panas dengan irisan lemon yang sudah tentu untukku dan secangkir kopi miliknya yang sepertinya tersisa setengahnya.Aku berpikir sejenak, apakah ini sogokan agar aku tak marah dengan kelancangannya merubah wallpaper ponselku? Bisa saja iya, karena tidak biasanya dia membuat sarapan untuk kami.Mengabaikan wangi margarin dan lemon tea favoritku, aku melangkah ke taman samping di dekat kolam renang. Tempat biasanya dia berolahraga ringan setiap pagi. Sepi. Lalu d