Share

7. Follower Sejati

Agak tergesa-gesa aku mengendarai motor matic kesayanganku pagi ini. Bukan pagi, ini sudah beralih siang. Aku terlambat setengah jam dari biasanya. Ini hari pertama aku kembali ke toko setelah aku menikah.

Pagi tadi Maya mengirim pesan padaku bahwa hari ini dia akan datang terlambat ke toko. Ya, ini jadwal rutinnya menemani ibunya ke dokter.

Genangan air di beberapa bagian jalan yang pagi ini sengaja tak kuhindari, menimbulkan percikan air ketika laju motorku sama sekali tak kuperlambat. Biasanya aku akan menghindar demi si merah kesayanganku ini tetap kelihatan bersih.

Memasuki area pertokoan yang berjajar rapi, sedikit kupelankan laju motorku. Dengan tergesa-gesa kuparkirkan si merah di depan satu-satunya toko yang masih tutup. Bergegas turun dan tanpa membuka helm aku berjalan sambil mengambil kunci di dalam tas dan berjalan mendekati pintu.

Kulihat Iren, satu-satunya karyawanku yang sedari tadi duduk d depan konter sebelah bangkit dan berjalan ke arahku.

"Pagi, Mbak," sapanya.

"Pagi, Ren. Dah lama nunggu, ya?" tanyaku sambil membuka kunci tanpa melihat ke arahnya.

"Lumayan, Mbak."

"Pagi, Neng Ara. Kesiangan, ya?"

Tanpa menoleh pun aku sudah tahu si empunya suara pasti sedang senyum-senyum nggak jelas.

Aku menghela napas kasar dan tanpa berniat menjawabnya, kuteruskan aktivitasku membuka rolling door.

"Abang bantu, ya." Tanpa menunggu jawabanku, dia menyerobot mengambil alih pekerjaanku.

Lagi-lagi aku menarik nafas kasar dan membuang muka. Kulirik sekilas Iren yang berdiri tak jauh dariku sambil menahan tawa. Kulebarkan mata, mengintimidasi. Alih-alih berhenti, Iren membuka mulut tanpa bersuara. Sedetik kemudian dia merapatkan jari-jarinya pada bibirnya.

Menyebalkan.

"Selesai .... "

Pandanganku beralih pada pria disamping kiriku. Bang Ijam, namanya Jamil, tapi lebih suka dipanggil Ijam. Pria jangkung karyawan counter sebelah yang lebaynya melebihi anak-anak abege. Tapi baik dan tidak pernah kurang ajar.

"Eh, iya Bang. Makasih, ya," jawabku sambil mengangguk.

"Kembali kasih, Neng Ara," balasnya selalu dengan senyum khas. Kepedean.

"Maaf, selalu merepotkan."

"Nggak, kok, sama sekali nggak ngerepotin. Abang malah senang bisa bantu. Saat ini mungkin baru bisa bukain rolling door, siapa tahu nanti Abang bisa buka hati Neng Ara."

Ya ampun!

Dalam hati aku bergidik.

"Lama nggak kelihatan, kemana aja? Abang 'kan jadi kangen," lanjutnya cengengesan.

"Saya ada sedikit urusan, Bang. Maaf saya beres-beres dulu." Tanpa menunggu jawabannya aku bergegas masuk ke toko menyusul Iren yang sudah masuk duluan sambil tetap menahan tawa.

"Jangan lupa sarapan, Neng Ara, " teriaknya kemudian.

Aku memutar bola mata, jengah. Membuka helm dan menaruhnya di tempat biasa. Setengah kulempar aku meletakkan tas di atas meja. Menghempaskan diri di atas kursi dan menatap Iren yang mulai bersih-bersih. Iren melepaskan tawanya yang sedari tadi ditahan.

"Selalu begitu setiap pagi," kataku frustasi.

"Begitulah kalau punya follower sejati, memangnya dia belum tahu kalau Mbak Ara sudah nikah?" jawab Iren terkekeh.

"Kayaknya belum."

"Tapi Bang Ijam itu baik ya, Mbak. Cuma lebay akut. Dia nggak pernah pegang-pegang tangan atau tindakan tak senonoh lainnya," tambahnya.

"Ya juga sih. Eh, jangan- jangan kamu naksir dia ya, Ren."

"Idihh, nggak lah. Gini-gini juga selera Iren tuh yang cool."

"Kayak kulkas maksudnya?"

"Ya bukan dong, amit- amit deh, punya cowo kayak kulkas berjalan."

Aku tersenyum tipis sambil memijit pelipis pelan.

"Mbak Maya nggak masuk?" tanya Iren

"Masuk. Nanti agak siangan. Nemenin ibunya dulu ke dokter."

Iren hanya mengangguk, lalu kembali fokus melanjutkan pekerjaannya.

***

"Sorry, aku telat, Ra," ucap Maya begitu sampai satu jam kemudian.

"Nggak apa-apa, May. Bagaimana keadaan ibumu?"

"Alhamdulillah baikan."

"Syukurlah."

"Oh ya, Ra, kamu inget customer kita yang dari Surabaya itu nggak? Kemarin dia order sepatu banyak lho."

"Mbak Nindy?"

"Iya. Biasanya dia beli sepatu buat dia doang kan. Kemarin sekalian beli buat suaminya juga beberapa sepatu anak-anak. Katanya buat putrinya."

"Bagus, dong, Alhamdulillah."

"Tapi dikirim bukan ke Surabaya," lanjut Maya.

"Terus?"

"Dikirim ke alamat barunya, di kota ini. Katanya baru pindahan."

Kami memang berjualan secara online juga. Dan banyak pembeli dari luar yang menjadi pelanggan kami.

Drrrttt

Drtttt

Ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari nomor Bang Fyan.

[Abang sedang dalam perjalanan menuju toko Ara.]

"Ngapain Bang Fyan ke sini?" gumamku.

"Kangen lah, namanya juga pengantin baru," ledek Maya.

"Wah, bakalan ada yang terbakar, tuh, di sebelah," tambah Iren.

Aku memutar bola mata sementara Maya dan Iren kembali cekikikan.

Sepuluh menit kemudian mobilnya sudah terparkir di depan tokoku. Aku segera keluar menyambutnya.

"Tempatnya strategis ya, Ra. Juga nyaman." Bang Fyan memperhatikan seisi tokoku.

"Alhamdulillah, Bang. Lumayan lah."

Setelah berbasa-basi sebentar, kami pun berpamitan.

"Saya pinjam Ara sebentar, " pamit Bang Fyan tersenyum dan melirikku.

"Oh, iya. Lama juga nggak apa-apa, kok. Kalian kan udah halal," jawab Maya.

Sontak aku melotot ke arahnya dan hanya dibalas oleh cekikikan Maya. Kulirik Bang Fyan juga tersenyum ke arahku. Entah bagaimana wajahku saat ini, kurasakan sedikit memanas.

"Kami pamit dulu. Ayo, Ra."

"Ah, iya, Bang. Sebentar Ara ambil tas dulu."

Aku berjalan beberapa langkah menuju meja, di dekat Maya berdiri, tempat tasku berada.

Begitu sampai di depan mobilnya, dia berjalan ke samping kiri mobil. Membukakan pintu untukku. Tepat satu detik sebelum aku masuk, tiba-tiba terdengar suara si jangkung karyawan konter sebelah.

"Eh, Neng Ara! Mau kemana?" Serempak kami menoleh ke arah suara itu.

Nampak Bang Ijam berjalan terburu-buru menghampiri kami.

"Mau jalan sebentar, Bang. Per .... "

"Kenalkan saya Ijam, lengkapnya Jamil. Ijam itu panggilan sayang dari Neng Ara, " ucapnya sambil mengulurkan tangan pada lelaki yang berdiri tak jauh dariku.

Astaghfirullah!

Belum selesai aku bicara, dia sudah memotong dengan kalimat yang sontak membuatku menepuk dahi. Bukankah semua orang juga memanggil dia dengan nama Ijam? Ingin rasanya aku menonjok bibirnya. Sumpah, aku merasa tak enak pada Bang Fyan.

Bang Fyan menyambut uluran tangan Bang Ijam.

"Sofyan Daud, panggil saja Fyan. Saya suaminya Ara," jawab Bang Fyan dengan tenang dan tersenyum penuh arti.

Aku melirik wajah Bang Ijam. Sumpah! Aku hampir tak bisa menahan tawa. Ekspresinya sangat mengkhawatirkan dan sulit dijelaskan. Yang pasti ada raut kecewa bercampur dengan kaget. Sedikit melankolis.

"Kami permisi dulu," pamit Bang Fyan sambil melepaskan tangannya dari genggaman pria itu. Lalu dengan gerakan tangan dia mempersilakan aku masuk. Segera aku turuti.

Ketika mobil yang kami tumpangi perlahan meninggalkan pelataran pertokoan, aku masih melihat lewat spion, pria jangkung karyawan konter sebelah itu masih mematung.

"Kamu ternyata punya penggemar juga, ya," kata Bang Fyan tanpa melihat ke arahku. Bibirnya tersenyum, pandangannya fokus ke depan.

Aku hanya tersenyum miring, meski kutahu Bang Fyan tak akan melihatnya.

"Sepertinya dia sangat mengagumimu." Kali ini Bang Fyan melirikku.

"Maaf, Bang. Dia memang seperti itu dan Ara tak pernah menanggapinya," tuturku pada lelaki di sampingku. Tak enak juga atas sikap Bang Ijam barusan, takut suamiku salah faham.

"Abang nggak apa-apa, kok, karena Abang tahu selera Ara itu seperti apa. Ya, nggak jauh-jauh dari Abang lah kriterianya," ucapnya pede.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status