Share

3. Siapa Seseorang Itu?

Ada perasaan sedikit lega mendengar penuturannya. Tapi aku harus tetap waspada, laki-laki kan mana tahan. Astaghfirullah. Kok aku jadi suudzon, ya.

"Abang cuma ingin mengucapkan terima kasih, Ara sudah mau menjadi istri Abang. Abang janji akan selalu berusaha memberikan yang terbaik buat Ara supaya Ara selalu bahagia. Dan Abang juga minta sama Ara untuk belajar menerima Abang sebagai suami Ara."

Aku mengangguk, pelan. Lidahku kaku meski hanya mengucap kata iya. Tangannya kanannya terulur lalu meraih jemariku dan tanpa ada jeda dia membawanya. Detik berikutnya aku merasakan bibirnya menempel pada jemariku dan sontak membuat kedua mataku membulat.

Belum lagi reda gemuruh di dadaku, ketika kurasakan sesuatu menempel di keningku. Bang Fyan mengecup keningku? Astaga, irama jantungku kian tak beraturan. Apa dia akan meminta lebih malam ini?

Segera ku tarik diriku agak ke belakang. Pipiku terasa memanas. Entah seperti apa rupanya kini.

Bang Fyan berdehem sambil memalingkan wajahnya.

"Istirahatlah!" katanya kemudian.

Aku tersentak dan segera berdiri. Berbaring di tempat semula dengan posisi membelakanginya. Dan guling sebagai pembatas aku dan Bang Fyan.

Kurasa kasur di belakangku bergerak, sepertinya Bang Fyan mulai berbaring.

"Tidur membelakangi suami itu dosa, lho." Pelan terdengar suaranya. Lebih mirip gumaman.

Aku diam, pura-pura tak mendengar saja. Aku tahu ini salah, Bang. Maaf.

Kupejamkan mata dan berusaha untuk terlelap. Tapi hatiku tetap terjaga.

Ini aneh saja. Tiba-tiba aku harus berbagi tempat tidur. Dan orang itu adalah Bang Fyan yang kuanggap kakakku dan tak pernah aku harapkan menjaga suamiku.

Terdengar dengkuran halus di belakangku. Rupanya dia sudah terlelap. Aku merasa aman sekarang. Tapi bagaimana kalau dia terbangun ketika aku sedang terlelap?

Ish!

***

Entah bagaimana aku bisa terlelap. Mungkin setelah perjuangan dan pergulatan hati, bahwa Bang Fyan tidak mungkin melakukan hal-hal yang tidak aku harapkan.

Menggeliat dan mencoba membuka mata yang masih enggan terbuka. Rasanya ada banyak lem menempel pada bulu mataku.

Teringat bahwa semalem aku tidak tidur sendiri, aku menengok sebelah kiriku dimana laki-laki berusia 32 tahun itu semalam berbaring. Kosong. Rupanya dia telah bangun. Mungkin di kamar mandi, tapi pintunya sedikit terbuka dan tidak terdengar gemericik air di sana.

Tak ingin begitu memikirkannya aku bangun merapikan rambut juga tempat tidur. Berjalan malas ke arah meja rias dimana ku letakkan weker.

05.10

Ya, ampun! Setengah berlari aku ke kamar mandi. Mencuci muka, menggosok gigi dan mengambil wudhu. Keburu siang kalau mandi dulu, toh semalam aku tidak terjadi apa-apa antara aku dan Bang Fyan.

Segera kutunaikan shalat subuh. Kenapa dia tidak membangunkan aku?

Sepagi ini perutku minta diisi, mungkin efek kemarin makan sedikit. Segera aku menuju dapur, biasanya Mama sudah menyiapkan sarapan.

Benar saja, harum pisang goreng menguar ketika aku sampai di dapur. Nampak Mama dan kak Rani sibuk di depan kompor. Sementara bi

Sumi pembantu kami tengah mencuci piring.

"Pengantin baru kok kesiangan! Istri itu harus bangun lebih pagi dari suaminya. Menyiapkan sarapan sebelum suami bangun. Rumah tangga itu ibadah, apa yang kamu kerjakan niatkan karena Allah. Dan suami adalah ladang pahala bagi istrinya." Mama ikut duduk di hadapanku, kami hanya terhalang meja makan.

Aku tak menyahut, mengangguk sambil mulai mengunyah.

"Bangun tidur mandi dong, Ra. Berantakan begini mana enak dipandang suami. Di depan suami harus selalu rapi, cantik dan wangi," ucap Kak Rani menambahkan.

"Emangnya semalam nggak ngapa-ngapain? Kok kamu nggak mandi, nggak keramas?" lanjutnya setengah berbisik.

Tapi sepertinya Mama bisa mendengar, terbukti dia nampak menahan senyum sambil melirik kami.

Aku memutar bola mata sambil berdecak.

"Apaan sih, kak Rani!"

Kak Rani cekikikan. Begitupun Mama.

"Fyan tadi bikin kopi sendiri, Ra. Mau Mama buatin tapi dia nolak."

Aku mengedarkan pandangan ke teras belakang. Sepertinya Bang Fyan tengah mengobrol dengan Papa dan Mas Tio di sana.

Bang Fyan memang sangat akrab dengan Papa. Sejak kecil, sebelum Papa punya Endra. Papa sangat menginginkan anak laki-laki. Dan Bang Fyan sudah seperti anak lelakinya.

"Kamu belajar masak juga, Ra. Biar Fyan betah makan di rumah."

"Kak Rani belum tahu aja masakan Ara. Pasti ketagihan."

"Beneran?"

"Masa Ara bohong sih, Kak"

"Ara udah jago masak sekarang, Ran." Mama meyakinkan.

Aku tersenyum bangga pada kak Rani dibalas oleh acungan jempol kakak perempuanku itu.

"Udah bangun?" Bang Fyan tiba-tiba sudah ada di sampingku.

"Kok Ara nggak dibangunin?"

"Nggak tega, kamu tidur pules banget. Tadi udah mau dibangunin lagi, tapi kamu lagi sholat."

Bang Fyan berlalu, berjalan menaiki tangga. Aku teringat sesuatu dan segera berjalan mengikutinya.

"Bang!"

Dia berhenti tepat di depan pintu kamar. Membalikkan badan, menyuguhkan wajah gantengnya.

Ish! Apaan sih, Ara.

"Dari kita pertama bertemu lagi sampai sekarang, Ara nggak liat Abang merokok?"

"Ya, terus?" Dia berbalik kemudian masuk ke dalam kamar.

"Abang nggak merokok lagi?"

"Sudah dua tahun ini." jawabnya santai lalu duduk diatas kasur sambil membuka laptop.

Wow! Luar biasa!

Padahal dulu dia perokok berat. Aku sering ngomel-ngomel kalau sedang bersamanya. Setiap saat aku cereweti untuk meninggalkan kebiasaan tersebut. Tapi tak pernah digubris.

"Bisa?" tanyaku seraya duduk di hadapannya.

"Ya, bisa!" jawabnya dengan senyum lebar. "Untuk seseorang yang sangat berati bagi kita, apapun kita lakukan untuknya," lanjutnya dengan tatapan serupa mata pisau, menancap kuat menembus hatiku.

Seseorang? Itu artinya ada orang yang meminta Bang Fyan berhenti merokok selain aku. Hemm, mungkin orang yang sangat istimewa baginya. Siapa? Hebat bener dia! Dan kenapa Bang Fyan malah menikahiku?

"Seseorang?" Akhirnya kutanyakan juga.

"Hmm," jawabnya dan tatapannya kini sudah beralih ke layar laptop.

"Istimewa,ya?"

"Sangat!"

Aku menghela nafas kasar. Entah kenapa aku tak suka mendengarnya. Turun dari kasur dan hendak meninggalkannya, tapi tiba-tiba tanganku ditahan oleh tangannya.

Bang Fyan bangkit meraih tanganku yang satunya lagi dengan tangannya yang lain. Aku mematung. Kami sekarang berhadapan dengan jarak yang cukup dekat. Dan aku tak berani mengangkat wajahku.

"Dulu, kamu kan yang suka cerewetin Abang. Kamu yang suka ngomel-ngomel kalau Abang merokok. Abang berusaha ingin menjadi seperti yang kamu mau. Memperbaiki dan memantaskan diri untuk orang yang sangat istimewa di hati Abang."

Aku? Seseorang itu ternyata aku?

"Kamu nggak perlu berpikir ada orang lain selain kamu. Dulu, sekarang dan nanti." Seakan tahu apa yang aku pikirkan. Apakah dia benar-benar menyukaiku?

"Sejak kapan?"

Aku memberanikan diri mengangkat wajahku. Pandangan kami bertemu. Segera ku palingkan wajah ke arah samping.

Tak sanggup lama-lama aku beradu pandang dengannya. Kurasakan tangan kanannya melepas tanganku, sedetik kemudian beralih pada anak-anak rambut di keningku. Merapikannya dan menyelipkannya ke belakang telingaku.

"Jauh sebelum Rey datang dan menawarkan cinta untukmu," ucapnya serius.

Aku sedikit terperanjat, tak menyangka Bang Fyan akan mengatakan itu. Aku tak boleh larut dalam suasana ini, segera ku tarik tangan kiriku yang masih dalam genggamannya. Lalu tersenyum gugup sambil meliriknya sekilas.

"Lalu kenapa Abang biarkan Rey mengisi hatiku?"

"Abang pikir Ara akan bahagia. Ah iya, Abang mau ngecek dulu email yang masuk," dengan satu gerakan cepat dia sudah duduk lagi menghadap laptopnya. Sepertinya dia tidak ingin membahasnya lebih lanjut.

Akupun beringsut ke kamar mandi, mengambil keranjang cucian dan segera membawanya ke luar kamar. Susah payah menormalkan detak jantung yang barusan bergemuruh sangat kuat

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status