"Kita mau kemana, Bang?" tanyaku ketika kami sudah duduk di dalam mobil. Hari pertama setelah pernikahan kami Bang Fyan mengajakku ke luar."Pacaran." jawabnya santai.Aku hanya mencebik mendengarnya."Mumpung Abang masih cuti, apa salahnya kita menghabiskan waktu bersama," lanjutnya.Memilih tak bersuara lagi, dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sejak pagi tadi pagi benda ini tidak kusentuh. Ada beberapa pesan dari Maya juga teman-temanku semasa kuliah dan SMA. Isinya sebagian mengucapkan selamat dan selebihnya meledekku. Resiko pengantin baru, jadi bahan guyonan teman-teman.Asyik membalas chat mereka, aku lupa kalau di sebelahku ada seseorang yang sepertinya merasa diabaikan.Beberapa kali dia berdehem. Aku hanya meliriknya sekilas. Lalu kembali fokus ke layar ponsel.Cekiiiittt!!!Mobil tiba-tiba direm mendadak. Sontak aku menjerit kaget. "Kenapa sih, Bang Fyan?" Aku bertanya dengan nada agak tinggi."Ada kucing tiba-tiba menyebrang," jawabnya dengan tetap fokus ke depan ta
"Ini kamar tidur kita. Suka?" Aku mengangguk."Pagi hari kita bisa menikmati sunrise melalui jendela besar ini, '' jelasnya seraya menunjuk jendela kaca besar di sebelah kiri kamar. "Dan sorenya, kita bisa menikmati sunset di balkon," lanjutnya menunjuk ke arah balkon."Dan di sana, ada dua kamar tidur lagi. Untuk anak-anak kita nanti." Dia menunjuk ke arah luar kamar sambil tersenyum.Aku tersenyum tipis dan melihatnya sekilas. Bang Fyan sudah mempersiapkan ini untukku? Pelan ku langkahkan kaki mendekatinya yang kini tengah berdiri berdiri di dekat jendela besar di bagian samping kamar. Cahaya matahari siang ini hanya tinggal sedikit masuk membentuk garis miring, menerpa wajahnya yang bersih. Matanya bulatnya menatap lurus ke luar jendela. Dengan kedua tangan berada di saku celana abu-abu yang dia kenakan. Gagah."Kemarin, Abang bilang tinggal sekitar 30 menit perjalanan dari restoran yang tempo hari kita ketemu. Deket toko Ara. Tapi dari sini kan jarak cuma 15 menit, Bang."Aku b
Teringat beberapa hari yang lalu ketika Bang Fyan memberikan benda persegi tipis itu padaku."Ini. Peganglah! Untuk keperluan rumah selama satu bulan. Untuk keperluan pribadi Ara, Abang sudah transfer ke nomor rekening Ara."Bang Fyan terlalu baik untukku. Aku tak bisa menerima semua kebaikannya, mengingat sikapku sejauh ini belum bisa menjadi seperti layaknya seorang istri.Ini memang menjadi dilema panjang dalam hidupku kini. Aku bukannya tak mau menjadi istri yang baik buat Bang Fyan. Bukan juga tak tahu tentang hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Ini tentang rasa dan perasaan. Bagiku, segala sesuatunya memang harus dibarengi dengan perasaan. Aku paling tidak bisa mengabaikan perasaan. Dan perasaanku masih sepenuhnya milik dia yang tak kunjung kembali.***Ini malam pertama kami tidur di rumah sendiri. Sejak tiba di rumah beberapa menit yang lalu dan setelah menyimpan belanjaan dan berganti pakaian, aku duduk bermalas-malasan di ruang tengah. Bingung juga mau ngapain. Sebenarn
Agak tergesa-gesa aku mengendarai motor matic kesayanganku pagi ini. Bukan pagi, ini sudah beralih siang. Aku terlambat setengah jam dari biasanya. Ini hari pertama aku kembali ke toko setelah aku menikah.Pagi tadi Maya mengirim pesan padaku bahwa hari ini dia akan datang terlambat ke toko. Ya, ini jadwal rutinnya menemani ibunya ke dokter.Genangan air di beberapa bagian jalan yang pagi ini sengaja tak kuhindari, menimbulkan percikan air ketika laju motorku sama sekali tak kuperlambat. Biasanya aku akan menghindar demi si merah kesayanganku ini tetap kelihatan bersih.Memasuki area pertokoan yang berjajar rapi, sedikit kupelankan laju motorku. Dengan tergesa-gesa kuparkirkan si merah di depan satu-satunya toko yang masih tutup. Bergegas turun dan tanpa membuka helm aku berjalan sambil mengambil kunci di dalam tas dan berjalan mendekati pintu.Kulihat Iren, satu-satunya karyawanku yang sedari tadi duduk d depan konter sebelah bangkit dan berjalan ke arahku."Pagi, Mbak," sapanya."Pa
Aku hanya berdecak sebal sementara lelaki tampan di sampingku kembali terkekeh.Bang Fyan mengajakku makan siang di salah satu restoran favorit kami dulu. Letaknya tak jauh dari tokoku. Berada di seberang taman kota yang banyak ditumbuhi pohon Flamboyan. Dan kami sering menyebutnya dengan sebutan taman Flamboyan. Di tempat ini aku kecil sering menghabiskan waktu bersama. Pun setelah dewasa.Di taman ini juga aku dan Rey sering bertemu untuk sekedar ngobrol dan menikmati coklat panas yang kami beli di cafe yang tak jauh dari taman."Taman itu tidak banyak perubahan, ya," ucap Bang Fyan seraya menatap lurus ke seberang jalan. Dari restoran ini memang sangat jelas terlihat aktivitas di taman itu. Banyak para abege dan remaja yang sedang beraktivitas di bawah pohon Flamboyan yang rindang.Selepas makan, Bang Fyan mengajakku duduk di salah satu bangku di bawah pohon Flamboyan. Sebenarnya aku enggan mampir ke sini. Banyak sekali momen yang kulalui di taman ini."Tunggu sebentar, ya!" titah
Hari-hari selanjutnya aku jalani seperti biasa, dingin dan kaku. Seperti hubunganku dengan Bang Fyan. Sangat kaku. Tak terasa sudah satu bulan kami menjalani pernikahan seperti ini. Kami halal dan hidup serumah, tapi jarang terlibat obrolan. Hanya sebatas basa-basi menawarkan sarapan atau kopi.Sebenarnya Bang Fyan sering memulai percakapan, tapi aku selalu menanggapinya dingin. Dia juga tak pernah bersikap kasar padaku, meskipun aku terkadang ketus.Seperti malam-malam sebelumnya, kami tidur berjauhan di sisi ranjang yang berbeda. Saling memunggungi, dan ada guling di tengah sebagai pembatas.Bang Fyan tak pernah membahas masalah ini, meskipun aku tahu dia tak menginginkan keadaan ini. Kadang aku pun merasa bersalah dalam situasi seperti ini, tapi entahlah hatiku masih belum terbuka hingga kini.Untuk urusan yang lain aku telaten mengerjakannya. Seperti membuatkan sarapan dan menyiapkan baju kerjanya.Pagi-pagi sekali setelah menunaikan shalat subuh aku sudah mulai membuat sarapan. M
Sadar tubuh kami masih merapat dengan posisi tangan saling memeluk. Aku secepatnya menarik tubuhku. Begitupun Bang Fyan. Kami sama-sama gugup. Untuk menutupi rasa gugupnya, Bang Fyan meraih tanganku dan membimbingku ke ruang tengah. Membantuku duduk untuk kemudian kembali ke dapur. Beberapa detik kemudian dia datang dengan segelas air putih. Pria itu punya duduk di sampingku dan menyerahkan gelas itu."Minum dulu!" suruhnya lembut.Enggan menjawab, aku menerima gelas dari tangannya kemudian meminum separuh isinya. Berniat meletakkannya di atas meja, tapi tangannya bergerak cepat meraih gelas di tanganku. Dan tak dapat dihindari ketika tangan kami bersentuhan, dia mengambil gelasnya lalu meminum sisa airnya. Setelah itu menaruhnya di atas meja seperti niatku semula.Aku mematung di tempat dudukku, melihat apa yang baru saja dia lakukan."Jadi pergi ke toko?" tanyanya kemudian.Aku menggeleng. Tidak mungkin juga aku pergi ke toko dengan keadaan mata bengkak seperti ini. Meski belum be
Sampai cangkir di tangan kiriku tandas, begitupun cangkir yang ada di tangan kanannya. Kosong. Aku melepaskan tangan kananku yang berada di pinggangnya. Meraih cangkir yang kosong di tangan kanannya. Kemudian meletakkan di meja kecil yang berada di samping kursi.Bang Fyan mengikutiku langkahku kemudian membimbingku duduk di kursi sementara dia bersimpuh di hadapanku. Meraup kedua tanganku dan menggenggamnya lembut."Terimakasih sudah memberikan senyuman termanis untuk Abang. Itu sangat berarti bagi Abang. Tetaplah tersenyum untuk Abang. Karena dengan melihat senyum Ara, Abang seperti menggenggam seluruh dunia." Manik hitam itu lekat menatapku, kemudian tanganku terangkat dan berhenti di bawah bibir tipisnya. Kurasakan beberapa kali kecupan lembut di sana, membuat aku semakin merasakan denyutan aneh menjalar ke seluruh tubuhku.Hujan masih rintik-rintik di luar sana. Seperti gerimis di hatiku menyirami sesuatu yang baru tumbuh jauh di dasar paling dalam.Bang Fyan duduk di sampingku