Share

2. Pura-pura Tidur

Tapi memasuki tahun kedua, Rey mulai berubah tak sesering dulu menghubungiku dengan alasan sibuk bekerja. Aku maklum.

Empat bulan sebelum genap dua tahun, Rey benar-benar menghilang. Nomor telepon dan semua akun media sosialnya tidak aktif.

Dan ini sudah satu tahun dari waktu yang Rey janjikan, aku masih menunggunya. Hingga Bang Fyan datang dan semua orang terdekatku meminta aku untuk mengakhiri penantian pada Rey.

"Ini sudah setahun dari waktu yang Rey janjikan. Dia memintamu menunggunya selama dua tahun, kamu bahkan telah menunggunya tiga tahun tanpa kabar darinya. Sudahlah, Ra. Mama mohon terima saja Fyan! Mama yakin dia bisa menjaga dan membahagiakanmu," kata Mama ketika malam itu tanpa diduga Bang Fyan beserta Ayah dan Bunda datang melamarku.

"Umur kamu sudah cukup untuk berumah tangga, Ra. Jangan buang waktu menunggu yang tidak pasti. Papa yakin Fyan tidak akan mengecewakanmu," tambah Papa

"Kalau aku sudah dari dulu aku berhenti menunggu Rey. Dia sudah nggak layak ditunggu, Ra," omel Maya ketika aku bercerita perihal lamaran Bang Fyan.

Keputusan memang berada di tanganku dan aku berhak bahagia. Bahkan aku masih beranggapan bahwa bahagiaku bersama Rey, tapi mungkin itu salah.

"Abang tahu aku masih menunggu Rey?" tanyaku pada Bang Fyan ketika beberapa hari yang lalu dia mengajakku makan siang.

"Iya, sangat tahu," jawabnya mantap.

"Kalau begitu, kenapa Abang bersikeras ingin menikahi Ara?" tanyaku sedikit ketus. Kulirik Bang Fyan tersenyum dan menatapku lekat.

"Karena Abang sayang sama Ara," jawabnya.

Aku membuang pandangan, bisa-bisanya Bang Fyan berkata seperti itu.

"Berarti Abang pagar makan tanaman dong karena merebut pacar sahabat sendiri?"

"Apakah Rey masih layak disebut pacar? Setelah dua tahun tanpa kabar tanpa komunikasi."

Kalimat Bang Fyan benar-benar kena di hatiku. Dua tahun kami tanpa komunikasi dan aku masih setia menunggunya.

"Abang jangan sok tahu! Bukankah selama ini kita juga nggak ada komunikasi?"

"Meski tak ada komunikasi diantara kita, tapi Abang tahu semuanya. Kemarin, Abang hanya tidak ingin mengganggu kalian. Itu saja."

"Kalau Ara ternyata masih berharap pada Rey dan tetap menanti kedatangannya. Apakah Abang akan tetap menikahi Ara?"

Bang Fyan nampak berpikir sejenak, dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Suatu saat jika Rey datang, Ara boleh menentukan pilihan. Abang akan terima apapun keputusan Ara. Yang penting saat ini Ara bersedia menikah dengan Abang."

"Kalau begitu Abang mempermainkan pernikahan dong?"

"Tidak ada maksud seperti itu. Abang hanya ingin Ara bahagia dan tidak terus larut dalam penantian yang sia-sia. Jika suatu saat takdir berkata lain, in sha Allah Abang siap."

Aku akan pegang kata-kata Bang Fyan jika suatu saat Rey datang. Aku menghela nafas berat, saat ini aku telah resmi menjadi istri Bang Fyan. Dan aku harus siap dengan segala konsekwensinya.

Berarti malam ini harus berbagi tempat tidur dengannya. Ya, Tuhan! Bagaimana kalau Bang Fyan meminta haknya malam ini? Aku benar-benar belum siap. Alasan apa yang harus aku berikan.

Apa aku pura-pura tidur saja, ya?

Teringat aku belum menunaikan kewajiban shalat Isya. Bergegas aku mengambil wudhu, dan segera menghadap Rabbku.

Mondar mandir aku gelisah sendiri. Duduk di tepi ranjang pengantin kami, yang seharusnya menjadi saksi penyatuan rasa diantara kami. Pelan ku usap sprei putih bertabur kelopak mawar.

Maafkan Ara, Bang Fyan!

Khawatir Bang Fyan segera datang, akhirnya aku mengambil tempat di sisi kanan ranjangku. Berbaring menghadap pinggiran ranjang. Ku taruh guling di belakangku, sebagai pembatas kalau nanti Bang Fyan tidur di sisi kiriku.

Lebih baik aku pura-pura tidur saja. Meskipun kantuk entah kemana perginya. Kucoba memejamkan mata dan memasang telinga. Memastikan pintu kamarku belum terbuka.

Cukup lama aku di posisi begini. Tapi sepertinya belum ada yang masuk ke kamarku. Kugerakkan tubuhku pada posisi terlentang. Tapi tiba-tiba seperti ada yang memutar handle pintu.

Segera aku kembali ke posisi semula. Mudah-mudahan Bang Fyan tidak melihat gerakanku.

Astaga!

Sebisa mungkin kuatur nafasku agar terlihat normal. Terdengar langkah kaki mendekati ranjang. Beberapa detik kemudian ranjang di sebelahku terasa bergerak.

Bang Fyan mungkin sudah berada di belakangku kini.

Bagaimana ini?

Jantungku rasanya seperti hendak meloncat. Terdengar jelas detaknya di telingaku.

"Ra, Abang tahu kamu belum tidur."

Deg!

Bang Fyan kok tahu ya, aku belum tidur. Apa tadi dia melihat pergerakanku? Atau nafasku yang tak beraturan terlihat oleh dia?

"Ara." Aku masih diam tak bergerak.

"Nggak usah pura-pura tidur, Mutiara!" Aduh. Bang Fyan kalau sudah memanggil namaku secara lengkap, biasanya dia sudah sampai pada tahap kesal.

Terdengar Bang Fyan berdecak. Sedetik kemudian aku merasakan tangannya menyentuh bahuku. Mau apa dia? Saking kagetnya aku terlonjak bangun menatap ke arahnya.

"Abang! Apa-apaan sih?" Jujur aku sangat kaget dan menatapnya kesal.

Segera ku tepis tangannya.

Bang Fyan beringsut mundur. Dia memiringkan kepalanya sambil mengerutkan dahi.

"Justru kamu yang kenapa, Ra? Dipanggil nggak jawab."

"Ara .... " Aku tak berani melanjutkan kalimat.

"Kamu udah shalat Isya?" tanyanya melembut.

"U-udah." Aku masih gugup.

"Kok ngga nunggu Abang? Kita kan bisa shalat berjamaah."

"Keburu ngantuk kalau nunggu Abang," gerutuku.

"Ngantuk tapi ngga tidur?"

Aku mendelik. Sebal.

"Abang mau shalat Isya. Tunggu, jangan tidur dulu!" Dia bergegas ke kamar mandi. Tak lama keluar dan segera mengambil sajadah dan sarung, kemudian menunaikan shalat Isya.

Aku melongo, tadi dia menyuruhku menuggu. Untuk apa? Jangan-jangan dia mau meminta haknya malam ini. Aku harus bagaimana?

Diam-diam kuperhatikan dia yang sedang khusuk menghadap Rabbnya. Bang Fyan memang ta'at beribadah, sejak dulu. Dia yang selalu mencerewetiku terutama perihal shalat.

Dia juga yang menceramahiku tentang hijab. Aku yang awalnya nyaman dengan jeans dan kaos oblong, perlahan mulai tertarik menggunakan rok dan gamis.

Bang Fyan melipat peralatan sholat, lalu duduk di pinggiran ranjang. Melirik ke arahku dan menepuk kasur di sebelahnya.

Aku mematung sesaat, dia mengulanginya lagi sambil mengangguk perlahan.

Aku beringsut turun dan berjalan memutar. Dengan ragu duduk di sebelahnya. Berada sedekat ini dengan dia, jangan tanya kondisi jantungku. Meskipun dia halal untukku, tapi sungguh ini belum terbiasa bagiku.

Dulu saat kami selalu bersama pun, tak pernah sedekat ini. Dia selalu menjaga jarak.

"Bang!" Aku memberanikan diri menatapnya.

Dia tak menjawab, seakan menunggu kalimatku selanjutnya.

"Ara ...." Tenggorokanku rasanya tercekat.

"Ya, kenapa? Ngomong aja!" Dia mentapku lekat.

"Ara belum siap jadi istri Abang yang seutuhnya. Perasaan Ara masih seperti dulu terhadap Abang. Tak lebih dari seorang adik pada kakaknya. Maaf." Aku memberanikan diri berbicara. Meliriknya malu-malu.

Senyumnya tertahan, sedetik kemudian terdengar dia terkekeh.

Aku mengerutkan kening. Apa ada yang lucu?

"Abang ngerti, Ra. Abang juga nggak akan maksa,kok. Ini tidak akan mudah, dan Abang akan bersabar sampai Ara siap. Kita pacaran dulu aja, ya. Anggap saja sekarang kita baru jadian." Senyumnya mengembang sambil mengerlingkan sebelah matanya. Genit.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nur Janah
sabar dan baik ya abangnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status