Share

6. Piyik VS Biawak

"Sudah, ganti baju, gih! Abis itu istirahat," ucap Mama Mayang sambil menepuk pelan punggung Sakhi.

"Iya, Ma. Makasih, ya Mama udah dengerin aku."

"Nduk, siapa lagi yang bisa kamu percaya lebih dari orang di dalam rumah ini? That's what family for ... saling menguatkan dan menenangkan."

Satu kecupan hangat pun mendarat di pipi Mama Mayang.

"I love you, Ma!" Ucap Sakhi sambil beranjak ke kamarnya.

"I love you, more and more, Baby!" Jawab Mama Mayang sambil mengulas senyum hangat sambil terus memperhatikan punggung putrinya yang kini menghilang di balik tembok kamarnya.

Untuk sesaat Mama Mayang merasa ragu. Apakah keputusannya dan juga Bunda Haifa sudah tepat untuk menjodohkan anak-anak mereka. Mama Mayang berpikir jika Keenan yang pertama bertemu Sakhi di kota ini.

Artinya, Keenan yang akan dijodohkan dengan Sakhi nantinya. Namun beberapa saat lalu, dengan jelas Sakhi mengaku tak punya sedikit pun rasa pada Keenan. Dari sorot matanya saja, Mama Mayang bisa melihat kejujuran, kesedihan juga sorot mata sendu seolah tengah terluka, tapi entah karena apa.

Akhirnya, Mama Mayang memutuskan untuk tidak nenghubungi Bunda Haifa terlebih dahulu. Ia ingin memantau perkembangan hubungan Sakhi juga Keenan. Jika akhirnya Keenan berhasil membuat Sakhi jatuh cinta, maka perjodohan akan dilanjutkan. Namun jika yang terjadi sebaliknya, ia tidak akan mengorbankan perasaan putrinya. Semoga saja Bunda Haifa bisa berpikiran sama dengannya.

********

Sementara di kamar, Sakhi masih tidak percaya dengan apa yang dilaluinya hari ini. Di hari yang sama, semua orang dari masa lalu yang selama ini coba untuk dilupakan justru muncul bersamaan.

Ia tak mengerti, haruskah bersyukur atau mengeluh dengan kejadian ini. Di usia yang semakin dewasa, ia berharap dapat memandang rasa sayangnya kepada Kama yang lama terpendam dari sudut berbeda. Terlebih lagi, ada Keenan sahabat sekaligus mantan (eh ... udah balik jadi pacar lagi) yang perasaannya harus ia jaga. Hmmm ... semacam penebusan dosa untuk masa lalu yang Keenan dapat darinya.

Tak terasa Sakhi terlelap dalam lamunannya. Ya ... hati, otak juga raganya cukup lelah untuk bisa melewati kurang dari setengah hari ini. Perubahan suasana hati dari kaget, bahagia, bingung dan kembali patah hati dalam waktu singkat. Membuat Sakhi ingin sebentar saja beristirahat. 

Rasanya baru sebentar Sakhi memejamkan mata dan menikmati nyamannya selimut juga kasurnya. Tiba-tiba ia merasa ranjangnya bergerak. Perlahan seseorang juga mengguncang pundaknya. 

"Yik ... woi, bangun udah mau Magrib nih!"

Sayup-sayup suara Erlan—Abangnya terdengar. Dengan malas ia pun membuka mata dan menggeliat meluruskan otot-otot seluruh tubuhnya yang terasa tegang dan kaku. 

"Jorok, Lo! Masa cewe molor nyampe jam segini, mana belum mandi pula!" Seloroh Erlan sambil duduk tegap di bagian tepi ranjang adik semata wayangnya itu.

"Beneran, Dek lo balikan ama Keenan?"

"Hmm ...," jawab Sakhi singkat sambil duduk bersandar di kepala ranjang.

"Nggak ada sopan-sopannya, Lo! Masa jawab gue ha, hem kayak sapi aja!"

"Iya, Abang! Lagian orang baru juga melek, udah di cecer aja. Tahu dari mana?"

"Mama, lah! Udah buruan mandi, gih trus turun salat bareng, mumpung gue ama Papa udah pulang."

"Dasar piyik jomblo ngenes! Segitu putus asanya sampe harus balikan ama mantan! Rugi jadi adeknya Erlan, kalo ujung-ujungnya puter balik mungutin barang yang udah sempet lo buang! Hahahaha," cibir Erlan sambil berlalu dari kamar Sakhi.

"Dasar biawak! Gue bukan jomblo ngenes, gue selektif!" teriak Sakhi sesaat sebelum bayangan Erlan menghilang di balik pintu kamarnya.

Secepat mungkin Sakhi mandi dan bergegas turun untuk bergabung bersama keluarganya bersiap salat Magrib. Di bawah sudah nampak Papanya—Pak Nugraha dengan baju koko putih serta sarung bermotif kotak-kotak berwarna abu-abu. Meski sudah lewat setengah abad, tubuh Pak Bagas Sapta Nugraha masih begitu bugar.

Perawakan tinggi tegap, tulang hidung juga pipi yang tinggi, alis hitam tebal dengan kulit putih, membuat Pak Bagas tak kalah rupawan dari putra sulungnya Erlangga Angger Nugraha. Mereka bak kembar beda generasi, sementara Sakhi mewarisi mata bulat, bibir tipis serta surai hitam nan lebat dari Pak Bagas. Hanya saja tubuh Sakhi mungil mirip Bu Mayang.

"Duh, ganteng banget sih Papaku," ucap Sakhi sembari menghampiri Pak Bagas dan duduk di sebelahnya.

"Hm, masa? Ganteng mana sama mantan yang berhasil bikin kamu mau balikan?" jawab Pak Bagas sambil mengngkat alis dan mengulum senyum menggoda sang putri bungsu.

"Ah, pasti Mama, nih! Nggak sekalian diumumin di mushola aja pake toa, biar sekompleks pada tahu kalo Adek balikan sama Keenan," jawab Sakhi gemas dengan bibir mengerucut.

"Lah, emang kamu artis, Dek? Kok, sampe orang kompleks perlu tahu kalo kamu balikan sama Keenan. Kalo emang perlu, ntar deh, Mama bilang Pak Yusuf yang marbot itu biar umumin di mushola," jelas Bu Mayang panjang lebar semakin menggoda Sakhi.

"Mamaaaa ...," rengek Sakhi makin kesal dengan candaan Sang Mama.

Azan Magrib berkumandang, Pak Bagas mengajak keluarganya untuk ke mushola pribadi mereka dan melaksanakan salat berjamaah. Kesibukan Pak Bagas dan juga Erlan yang kini juga bekerja di perusahaan start up milik papanya—Nugros Corp, membuat mereka sudah jarang sekali bisa salat berjamaah seperti ini.

Usai salat berjamaah, Mama Mayang bersama Sakhi menyiapkan makan malam. Setelah berganti baju santai, Pak Bagas dan juga Erlan ngobrol di ruang tengah yang tidak jauh dari dapur dan ruang makan.

Erlan yang memang selalu usil dengan Sang Adik tak menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali menggoda Sakhi.

"Eh, Piyik! Lo beneran masih gagal move on dari si Keenan? Kok, gue lihat lo anyep bener ama tuh anak dari jaman sekolah dulu."

"Apaan, sih, Bang! Nggak usah sotoy, deh. Ngapain gue buang waktu buat jalan sama cowo kalo gue nggak ada rasa?"

Hati Sakhi sedikit berdenyut nyeri kala mengucap kalimat ini. Ya, sejujurnya apa yang dikatakan Erlan justru kondisi yang sebenarnya. Namun, lagi-lagi dengan alasan menebus rasa bersalah pada Keenan, Sakhi coba mengingkari kebenaran itu.

"Hilih, expert mau lo kibulin. Sekali ngeliat gelagat lo juga gue paham, apa isi ati ama otak lo, Yik!"

"Dih, nggak usah sok ngedukun ... emang situ, biawak jadi-jadian yang bisa jalan sama siapa aja tanpa ada rasa apa-apa. Cowo modelan Abang, tuh yang bikin cewe-cewe berprinsip kayak gue, lebih milih jadi jomblo daripada korban perasaan jalan ama biawak KW macem Abang!"

"Wah, songong, nih Si Piyik! Gue sadar pesona gue nggak mudah ditolak. Daripada kharisma gue dianggurin, yaudahlah gue sedekahin buat nyenengin fans-fans gue!"

"Sok kecakepan banget, sih! Gelaaay gue dengernya, tahu nggak!" Heran gue, apa yang dilihat ama cewe-cewe minim otak itu dari lo, Bang. Sayangnya termasuk si Mayra sohib gue," jawab Sakhi dengan ekspresi menelisik dan memandang Sang Abang dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Heh, Piyik! Udah gue bilang, pesona gue tidak terelakkan. Biasa, turunan dari Papa. Lihat aja, tuh si Mama. Tiap Papa keluar kota, segala sarung papa yang bau kentut, kumel, buluk aja dikelonin buat obat kangen!"

"Eh, kok jadi bawa-bawa Mama? Mana ada Mama kayak gitu, hoax, tuh si Abang!" tukas Mama Mayang sambil membawa lauk pauk ke meja makan.

"Ooh, jadi Mama suka ngelonin sarung Papa kalo lagi ditinggal ke luar kota? Nah, kalo lagi di rumah gini, kok malah dicuekin, sih?" Goda Papa Bagas sambil merangkul Mama Mayang.

"Tolong, ya ada anak perawan di sini Bapak-Ibu Nugraha. Jangan mempertontonkan kemesraan yang berlebihan, nggak bagus buat tumbuh kembang saya," cibir Sakhi pada kedua orang tuanya yang kini tengah berpelukan di sisi meja makan.

"Bilang aja lo ngiri, Yik! Sini-sini gue peluk adek gue yang jomblo, eh salah udah punya pacar tapi bekas mantan," ejek Erlan sambil menghampiri Sakhi sambil merengkuh tubuh adik mungilnya untuk dipeluk, atau lebih tepatnya Erlan memiting leher Sakhi.

"Abaang, lepasin! Ogah gue lo tempelin, sawan ntar!"

"Busyet! Lo pikir gue setan, Yik! Parah, lo!" jawab Erlan tanpa melepas tangannya dari leher Sakhi.

"Bukan, Abang bukan setan, tapi titisan setan! Makanya rawan bikin sawan, sono gih jauh-jauh!"

"Wah, makin songong si Piyik! Tuh, Pa masa Papa dikatain setan, kan nggak sopan," ujar Erlan mengadu sambil menarik-narik rambut Sakhi yang dikuncir ekor kuda.

"Mana ada! Gue bilang lo, Bang yang titisan setan!" 

"Lo pikir gue anak siapa, anak Papa, kan? Kalo gue titisan setan ... artinya secara nggak langsung lo mau bilang kalo Papa setan, Yik!"

"Kamu, ter-la-lu, Dek! Mana ada setan ganteng kayak Papa gini," tukas Pak Bagas dengan suara dibuat mirip Bang Haji Roma.

"Udah, ah! Kok, ribut terus, sih ... Sakhi buruan bantuin Mama siapin nasi sama piringnya. Abang juga jangan jahil terus, dong! Udah pada tua juga!" Hardik Mama Mayang.

Sakhi yang berhasil lepas dari Erlan pun langsung beranjak ke dapur dan membawa piring juga nasi ke meja makan. Ya, meski di luar ia selalu tampil sebagai perempuan dewasa, tenang dan juga cenderung dingin. Di rumah ia hanyalah Si Bungsu yang manja dan selalu jadi obyek kejahilan Papa juga Abangnya.

"Lagian kalian, tuh brojol dari perut Mama semua. Bukan mungut dari kebun binatang! Gimana ceritanya jadi biawak sama piyik? Mana bisa biawak sama piyik sodaraan. Habitatnya beda, induknya juga beda. Nah, kalian ... penanam sahamnya sama, distributornya juga sama!" Mama Mayang kembali mengomel pada dua anaknya.

"Abang, tuh, Ma!" tukas Sakhi sambil memasang wajah memelas.

"Lah, dia playing victim! Nggak nyadar lo, hobi banget ngatain gue biawak! Dasar piyik manja!" Balas Erlan.

"Duh, Gusti ... paringi power! Bocah loro kok angel eram tuturane!" geram Mama Mayang.

"Ngomong apaan, sih, Ma? Berdoa ke Allah masa multilingual gitu? Mana bisa dikabulin!" Sakhi mengomentari Sang Mama dengan geleng-geleng kepala.

"Nah, gini nih anak jaman sekarang. Gampang banget jadi wakilnya Tuhan. Gampang nge-bid'ah orang, nge-kafirin orang. Udah ada malaikat, Dek yang bertugas menilai amal manusia. Allah juga nggak menunjuk siapapun buat jadi wakil-Nya untuk ngehakimin orang lain, atau mutusin mau ngabulin doa atau sebaliknya," tutur Mama Mayang bijaksana.

"Iya, Ma. Maaf, Adek juga nggak maksud gitu, Mama, ih mendadak serius gini, jadi horor, kan," jawab Sakhi menyesal.

Ting tong ....

Tiba-tiba terdengar bunyi bel berbunyi sesaat setelah mereka duduk di ruang makan dan bersiap makan malam.

"Biar Abang aja, Ma yang lihat," ucap Erlan menghentikan Mama Mayang yang akan beranjak ke depan melihat siapa yang datang.

"Assalamualaikum ...," terdengar suara lelaki di luar pintu.

"Wa'alaikumussalam, tunggu sebentar!" sahut Erlan sambil mempercepat langkahnya menuju pintu.

Sesaat setelah pintu terbuka, Erlan cukup terkejut melihat siapa yang berdiri di sana.

"Eh, elo ... masuk gih!"

Wah, siapa ya yang datang? Kok, sampai bikin Bang Erlan kaget gitu .... yang tebakannya betul, dapet kiss jauh dari Babang Tamvan, Erlan ya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status