Share

3. Sang Mantan

Kama menarik tubuhnya menjauh dari Sakhi dan mensejajari tubuh Kai. Dielusnya lembut kepala putra kesayangannya yang saat ini tengah menggenggam ujung cardigan yang dikenakan Sakhi seolah takut ditinggalkan.

"Kakak Sakhi harus pulang, Boy! Besok-besok kita ajak kakak main ke taman atau ke rumah Oma, ya," bujuk Kama.

"No, Daddy! Kai mau bobo' sama Mimma Sakhi! Kai mau Kak Sakhi jadi Mimmanya Kai!" Dengan raut wajah kesal serta suara sedikit meninggi, Kai menjawab.

"Kai, sayang, anak tampan ... nggak boleh kasar, ya sama Daddy, nggak sopan. Kalau Kai mau panggil Kakak dengan sebutan Mimma juga boleh, tapi sekarang Kakak harus pulang. Nanti, Kai anterin Kakak, ya!"

Dengan bibir mengerucut dan isak tertahan, Kai menganggukkan kepalanya. Tangan mungilnya yang tadi menggenggam ujung cardigan Sakhi, kini telah berada dalam genggaman tangan Sakhi. 

"Kita ganti dulu bajumu, Boy!"

Kama yang tak diacuhkan oleh dua orang yang baru saja melewatinya menuju lantai bawah mencoba menghadang putranya.

"Ups! maaf Daddy, Kai lupa!"

Si Bocah gembil itu pun memperlihatkan cengiran khas bocah dengan mata membeliak yang membuatnya terlihat makin menggemaskan. Kama membantu Kai ganti baju, sementara Sakhi turun untuk menunggu mereka di ruang tengah lantai bawah. Itupun setelah dengan susah payah membujuk Kai agar mau ganti baju hanya dengan Daddynya.

"Let's go, Mimma!"

Kai berlari ceria ke arah Sakhi yang tengah duduk di ruang keluarga. Sementara Kama mengikuti di belakang dengan celana jeans serta kaos putih polos lengan panjang yang ditarik hingga siku. Menampakkan lengan kekar dengan dada bidang yang pelukable banget! Hal itu sukses membuat Sakhi terpesona.

"MasyaAllah ... Abang bikin gue sampe lupa napas! Ah ... andai aja gue beneran emaknya nih bocah, udah gue uyel-uyel itu Bapaknya! Ups!" Batin Sakhi sambil tak lepas menikmati makhluk Tuhan yang sukses mengobrak abrik jiwa kejombloannya.

Masih menikmati pemandangan yang menyegarkan jiwa raga seorang jomblowati yang bukan karena tak laku, tapi belum mau membuka hati. Sosok makhluk tampan nan maskulin yang mengalihkan dunia Sakhi ternyata sudah duduk di sofa seberang Sakhi berada saat ini. Kesadaran Sakhi baru kembali ketika Kai mengguncang tubuhnya karena tak merespon pertanyaannya.

"Mimmaaaa! Kok, Kai nggak dijawab, sih?"

"Eh ... oh iya, tadi Kai tanya apa? Maaf, Kakak tadi lagi mikir, kenapa jadi tiba-tiba hujan di luar. Padahal, kan Kakak mau pulang."

Yap, bersyukur di luar tiba-tiba turun hujan yang cukup lebat. Bisa dijadikan alasan kenapa Sakhi tidak fokus untuk beberapa saat. Sayangnya, sepertinya hanya Kai yang percaya dengan alasan Sakhi. Namun tidak dengan papa muda yang kini menikmati ekspresi Sakhi yang salah tingkah dibuatnya.

"Ooo ... mikirin hujan, kirain Abang, Adek lagi terpesona lihat seseorang karena efek kangen berkepanjangan." 

Skak Mat!

Sambil mengulum senyum Kama menanggapi alasan yang diberikan Sakhi pada anaknya. Ya, dia tahu bahwa Sakhi memperhatikannya sejak menuruni tangga hingga duduk di sofa. Ia tak bermaksud membuyarkan pandangan kekaguman itu, karena menikmati ekspresi memuja yang ditunjukkan Sakhi seperti saat dulu ketika mereka begitu dekat dan ia begitu manja.

Mendadak wajah Sakhi terasa hangat dan seketika merona. Malahan bisa jadi bukan hanya wajahnya yang merona karena menahan malu, mungkin sudah sampai ujung jempol kakinya.

"Mamp*s! Kebanting deh harga diri gue. Pake ketahuan lagi kalo lagi terpesona."

"Kantong ... mana kantong, tolong kantong kresek, dong! Mau ditaruh mana muka gue sekarang?" Sakhi bermonolog dan masih berusaha menetralkan degup jantung juga menghilangkan rona wajahnya.

"Assalamualaikum ...!"

Terdengar seruan dari ruang tamu. Sakhi, Kama dan juga Kai segera mengalihkan pandangan ke asal suara. 

"Wa'alaikumussalaam ...."

Mereka serentak menjawab salam. Di saat yang sama, wajah Kama sedikit menegang. Kai yang tengah berada di samping Sakhi mendadak ingin duduk di pangkuan Sakhi. 

"Mimma, Kai mau pangku ... buruan! biar Uncle kaget lihat Kai udah punya Mimma."

"Oh, okay tampan ... semoga kaki Kakak kuat, ya. Soalnya Kai, kan ndut banget!"

"No, bukan Kakak tapi Mimma!"

"Ok, ok, sorry, Boy!"

Sakhi menggelitik tubuh Kai yang berada di pangkuannya hingga tertawa sambil terus menggeliat. Mereka sampai lupa dengan seseorang yang tadi mengucap salam dan menuju ke tempat mereka berada saat ini. Kama sudah beranjak dari duduknya dan berusaha menghampiri tamunya agar tidak sampai ke ruang tengah. Terlambat!

"Hai, Kak! Mana si Kai? Ini aku bawain kura-kura yang dia mau."

"I'm here, Uncle Keen!"

Kai melongok ke belakang lewat sisi lengan Sakhi yang saat ini duduk membelakangi tamu tersebut. Bersamaan dengan itu Kama baru akan mengajak tamunya kembali ke ruang tamu, tetapi Sakhi sudah menoleh ke belakang dan melihat siapa yang datang.

Sesosok pemuda, tinggi, tegap, dengan wajah putih bersih dihiasi jambang panjang juga alis tebal yang serasi dengan hidungnya yang mancung. Kemeja flanel dengan kaos putih polos di dalamnya dengan celana jeans dan juga sneakers, gaya khas anak muda yang casual, tetapi tetap menawan.

"Keenan!"

Sakhi reflek memanggil nama pemuda tersebut. Meski berpisah selama lima tahun lebih, tidak sulit untuk mengenali wajah itu. Belah dagu khas Keenan dan bibir merah tipis yang dulu selalu mengulas senyum bocah, serta mata kecoklatan yang selalu berhasil membuat Sakhi merasa tenang kala menatapnya.

Lelaki itu, Keenan ... sahabat kecil Sakhi sekaligus Sang Mantan. Ada rasa rindu dan bersalah yang kini berlomba memenuhi rongga dada Sakhi kala bertemu pandang dengan mata coklat itu. Ada yang berubah ... mata itu tak lagi teduh seperti dulu, terlihat hampa dan ada rasa sakit juga kecewa yang tergambar saat ini di sana.

"Hai, apa kabar?" Sapaan Keenan membuyarkan lamunan Sakhi.

"Oh, ba baik. Kamu?"

"As you see now, i'm ok!"

"Baguslah, aku seneng kamu baik-baik aja."

"Uncle Keen kenal sama Mimmanya Kai?

"Mimma?" Keenan mengerutkan dahi mendengar pertanyaan keponakannya.

"Iya, Kakak Sakhi jadi Mimmanya Kai sekarang."

Entah apa yang dirasakan pemuda itu saat ini. Namun yang pasti aura kekecewaan menguar dari tubuhnya. Tatapan sendu dengan sejuta tanya diberikan pada Sakhi yang berdiri tak jauh darinya. Sementara Sakhi, hanya bisa melihat Kama juga Keenan bergantian. Bingung bagaimana menjelaskan. Satu hal yang ia tahu pasti apa yang terjadi saat ini. Kembali ada yang terluka dan disakiti.

(Hal terberat yang harus aku lakukan bukanlah memilih diantara kalian ...

Melainkan bertahan dengan sebuah pilihan

Hujan hari ini tak hanya menimbulkan genangan ...

Tetapi juga kembali membangkitkan kenangan

Aku menyayangimu Keenan sahabatku

 Tapi maaf aku belum bisa memberi hati ini untukmu

Bukan maksudku membuatmu kembali terluka

Namun semesta yang  membuatku menikmatinya

Dulu aku cukup puas menjadi pengagum rahasianya

Tapi ijinkan kali ini aku serakah, untuk memilikinya)

"Apa ini alasanmu dulu meninggalkanku, Sakhi Khaira Nugraha?" Tanya Keenan dengan tatapan datar pada Sakhi juga Kama secara bergantian.

"Kamu salah paham, Keen!" Kama coba menengahi.

"Ok, aku siap mendengar semua kebenaran dari kalian, sekarang!"

Keenan menatap nyalang pada Kama juga Sakhi. Rahangnya mengeras, bibirnya yang biasa mengukas senyum ramah kin hanya menyeringai tipis seolah begitu miris.

"Kai, tunggu Mimma di kamar atau sambil mainan dulu ya, Boy! Daddy, Uncle dan Mimma harus bicara sebentar."

"Ok, Mimma! Kai mau bawa kura-kura dari Uncle ke kamar aja."

Mereka bertiga duduk di dalam diam di ruang tengah. Hingga Keenan memecah keheningan dengan pertanyaan yang mengejutkan.

"Apa kamu punya hubungan dengan Kak Kama saat kita berpacaran?"

Nah, lho ... walaupun nggak pacaran, tapi Sakhi sama Kama kan pernah ciuman. Bakal jawab apa kira-kira Sakhi ntar?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status