Share

2. Mendadak Jadi Mimma

"Ayo, Daddy!"

Bocah kecil itu terus merajuk sambil menarik lengan Kama yang belum beranjak dari kursinya.

"Maaf, Pak! Tadi Den Kai nangis minta diantar ke Bapak. Makanya saya bawa buat cari Bapak." Pak Tarno memberi penjelasan dengan raut gugup kepada Kama.

"Iya, Pak nggak apa-apa. Ya sudah Bapak bisa pulang duluan naik taxi, ini ongkosnya biar saya bawa mobil sendiri nanti."

Kama menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan kepada Pak Tarno—Supirnya. Pak Tarno pun segera berlalu meninggalkan kantin. 

"Hai, Aunty!"

Tiba-tiba saja Kai si bocah tampan dengan pipi gembil itu menyapa Sakhi sembari melambaikan tangannya. Tak lupa senyum merekah yang memamerkan deretan gigi putih kecil dan rapinya ia berikan.

"Oh, hai tampan!"

Sedikit kikuk Sakhi membalas sapaan Kai. Namun ia bisa segera menguasai diri dan situasi saat ini.

"Nama kamu Kai, ya? Kamu bisa panggil kakak, Kak Sakhi."

"Kakak, Apa tidak salah, Dek? Kamu memanggilku abang, lantas kenapa anakku memanggilmu kakak? Kau sudah pantas disebut Bunda atau Mama malahan." Seloroh Kama ketika mendengar Sakhi meminta Kai memanggilnya Kakak.

"Aku kan masih single, belum terlalu tua juga. Masih pantaslah disebut kakak. Lagian sekarang kan aku panggil abang Pak Kama!" jawab Sakhi cepat tanpa melihat ke arah Kama.

"Ooh, masih single ... baguslah," sahut Kama sambil mengulum senyum dan melihat ke arah Sakhi.

Di saat bersamaan Sakhi melihat Kama yang tengah mengulum senyum dan menatapnya. Entah mengapa jantungnya berdegup kencang tak beraturan. Hanya dengan senyum terkulum dan tatapan dalam juga hangat itu bisa membuat Sakhi mati gaya.

"Ya Tuhan, kayaknya ada yang salah deh sama jantung gue. Semoga aja gue ga kena serangan jantung mendadak terus ko'it. Belum kawin nih, eh nikah maksudnya," batin Sakhi sembari terus menghindar dari tatapan Kama untuk menetralkan degup jantungnya.

"Daddy, kakaknya cantik, ya? Kai suka sama Kakak sakhi!"

"Iya, cantik banget ... Daddy juga suka."

"Ya salaaam, jiwa GR ku merontaaah, ini bapak ama anak ga nyadar apa ya gue udah mati gaya setengah hidup," batin Sakhi yang kembali dibuat salah tingkah oleh ucapan Kama.

"Kai, kalo kakak Mayra cantik juga kayak Kak Sakhi, nggak?" tukas Mayra tiba-tiba.

"Cantik juga, tapi lebih cantik Kakak Sakhi! Jadi Kai lebih suka Kakak Sakhi buat jadi Mimma!"

"Mimma?"

"Iya,  kata Daddy mommy baru Kai nanti dipanggilnya Mimma. Kai mau punya Mimma, biar nggak main sama foto Mommy aja setiap hari!"

"Eh ..."

Sakhi yang mendengar perkataan Kai reflek melihat ke arah Kama. Tampak Kama mengelus kepala Kai dengan sayang tetapi terlihat sendu. Hal itu tentu saja mengundang rasa penasaran di benak Sakhi. Masih bimbang untuk bertanya atau diam saja, beruntung Mayra menanyakan apa yang membuatnya penasaran.

"Memangnya Mommy Kai kemana?"

"Kami berpisah, Kai tidak pernah bertemu Mommynya sejak ia usia dua tahun," jelas Kama sambil meraih Kai ke dalam gendongannya.

"Let's go home, Boy!"

"Ok, Daddy! Tapi, boleh nggak kalo pulangnya sama Kakak Sakhi?"

"Hah!" 

Sakhi yang masih menatap intens interaksi antara anak dan bapak itu pun dibuat kaget dengan pertanyaan Kai. Sejak tadi ia sibuk merapal bermacam doa agar Kama segera pergi menjauh dan agar ia bisa bernapas lega. Justru saat ini anaknya meminta agar mereka bisa pulang bersama. Kepala Sakhi berdenyut seketika, keringat dingin pun mulai bermunculan di dahi. Rasanya jika bisa ingin sekali ia kabur saja dari tempat itu saat ini juga.

"Nah, kebetulan say! Gue mau nemenin Mama ke arisan di rumah Budhe. Lo pulangnya barengan aja ama Pak Kama ama Kai!" Celetuk Mayra seketika sambil mengerling jahil pada Sakhi.

"Kamvreeett!" jerit batin Sakhi sembari menatap Mayra dengan tatapan seolah ingin menerkam.

"Saya duluan ya, Pak! Titip ya, maklumin aja kalo malu-malu masih perawan, minim pengalaman," ujar Mayra sambil beranjak dari kursinya dengan cengiran sok polos yang membuat Sakhi makin ingin menelannya bulat-bulat.

"Eh, kunyuk! Lo pikir gue barang main titip aja? Gue bisa pulang naik ojek online kayak biasanya!" 

Sakhi yang baru saja berdiri dari kursi hendak melarikan diri dan mengejar Mayra yang melambai padanya sambil terus tertawa harus terhenti ketika tangan seseorang menahannya.

"Abang antar kamu, Dek!"

Tatapan Sakhi dan Kama bertemu. Ada rasa hangat yang seketika merayap dalam dada Sakhi. Tak ingin makin salah tingkah, Sakhi memutuskan kontak mata dengan Kama dan beralih pada Kai.

"Hei, Tampan! Masa udah gedhe gendong? Turun yuk, jalan sama kakak!"

Kai pun buru-buru minta diturunkan dari gendongan Kama. Mereka bertiga berjalan beriringan menuju parkiran. Beberapa mahasiswa menatap mereka penuh tanda tanya. Sebab selama ini Sakhi tidak pernah terlihat jalan bareng cowok manapun di kampus. Sekarang justru bersama dosen baru dan anak kecil yang mukanya benar-benar hasil scan sosok Kama.

Selama menuju parkiran Kai terus saja berceloteh riang. Kama cukup heran, karena selama ini Kai bisa dibilang cukup sulit untuk akrab dengan orang asing. Begitu pula dengan Sakhi, ia yang selama di kantin tadi lebih banyak diam, sekarang justru tampak aktif menanggapi celotehan Kai tanpa terlihat terusik sama sekali.

Sesampainya di mobil, Kai membuka pintu belakang dan Sakhi juga mengikuti. Namun belum sampai Sakhi masuk, suara bariton yang membuat hati Sakhi kebat-kebit sedari tadi kembali terdengar. 

"Duduk di depan, Dek! Kamu mau Abang terlihat seperti supir?"

Dengan sedikit canggung akhirnya Sakhi berpindah ke kursi di samping kemudi. Selama perjalanan Sakhi lebih banyak berinteraksi dengan Kai ketimbang Kama. Semesta sepertinya juga tengah berusaha mendekatkan mereka. Belum setengah perjalanan, Kai tertidur pulas di kursi belakang. Dua orang dewasa itu kembali dilingkupi kecanggungan.

"Dek, kenapa dulu Kamu tiba-tiba menghilang?"

Mendengar pertanyaan Kama, Sakhi menghela napas panjang. Mengingat masa lalu membuatnya kembali merasakan sakit yang tak bisa ia luapkan kala itu. Sakit, tapi tak berdarah. Perih!

"Bukan menghilang, Bang. Adek hanya ingin memulai dari awal di tempat yang baru. Adek nggak mau terjebak dengan hal-hal juga orang-orang di masa lalu."

"Termasuk Abang dan juga ... Keenan?"

Mendengar nama Keenan disebut, rasa bersalah menelusupi hati Sakhi. Biar bagaimanapun dia yang pergi dan menyakiti hati sahabat sekaligus mantan pertama dan satu-satunya itu.

"Bagaimana kabar Keenan, Bang? Dia kuliah di mana?" Sakhi mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Baik, dia kuliah di Kota ini juga. Dari pertama bertemu Abang, kamu belum menanyakan kabar. Justru Keenan yang tidak ada di sini kamu tanyakan. Apa Adek masih ada rasa dan belum bisa melupakannya?" tanya Kama hati-hati.

Hening, tak ada jawaban dari mulut Sakhi. Kama meghela napas berat, Sakhi kecilnya yang dulu manja kini telah menjadi wanita dewasa. Makhluk rumit yang susah dipahami jalan pikiran juga hatinya. Entahlah, tetapi harus diakui, ada rasa sakit di hati Kama ketika Sakhi menanyakan Keenan—adiknya.

"Rumah, Adek di mana? Dari tadi Abang belum tahu alamatnya. Kita pulang ke rumah Abang dulu aja, ya? Ini sudah dekat, nanti Abang antar setelah mengganti baju Kai dan menidurkannya."

Sakhi ingin protes, tetapi mengingat jarak rumahnya masih cukup jauh akhirnya ia menurut saja. Nanti pesan ojek atau taksi online dari rumah Kama pikirnya.

Mobil Kama memasuki pekarangan rumah minimalis setelah Pak Tarno membukakan pagar. Dengan hati-hati Kama menggendong Kai masuk ke dalam rumah menuju kamarnya. Sementara Sakhi mengekor dibelakang dalam diam. Mungkin karena tidak fokus, Sakhi mengikuti Kama hingga ke kamar yang berada di lantai dua. 

Diperhatikannya Kama membaringkan putra semata wayangnya dengan lembut ke atas kasur. Diusapnya dan dicium kening putranya dengan penuh kasih sayang. Seutas senyum tipis tanpa sadar terukir di bibir Sakhi melihat pemandangan itu. Kama yang beranjak berdiri dan hendak keluar kamar agak terkejut melihat Sakhi berdiri tak jauh di belakangnya. Namun kemudian tersenyum hangat menatap Sakhi yang sepertinya masih tak sadar berada di mana karena masih asyik memperhatikan Kai yang tertidur pulas di atas ranjang.

"Kenapa ikut ke kamar Abang?"

"Hah! Kamar Abang?" Tanya Sakhi kikuk dan sedikit linglung.

"Hmm ... ini kamar Abang dan Kai. Adek mau nemenin Kai bobo', atau mau nemenin Daddynya ...."

Belum sampai Kama menyelesaikan kalimatnya, Sakhi sudah memotong sambil segera berbalik untuk menyembunyikan wajahnya yang merona bahkan mungkin sudah seperti udang rebus kematangan saat ini.

"Adek tunggu di bawah"

Srrt ...

Tangan Kama dengan cepat meraih lengan Sakhi untuk menahannya. Jarak yang cukup dekat Membuat Sakhi makin gugup dan merasa gerah. Kama makin mengikis jarak mereka dan mendesak Sakhi mundur hingga membentur dinding kamar. Diraihnya dagu Sakhi untuk mengangkat wajahnya yang tertunduk. Sesaat mereka saling tatap dalam diam. Degup jantung mereka seperti berkejaran.

"Jangan pergi lagi! Abang butuh Adek, baik dulu ataupun sekarang."

Sakhi tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya bisa menatap mata Kama untuk mencari kebohongan di sana. Tiba-tiba Kama makin menunduk dan menyatukan dahi mereka. Memejamkan mata sesaat mengatur napas juga degup jantungnya. Dibukanya kembali matanya dan memandang Sakhi yang juga masih mematung menatap matanya.

"Dek, Abang mau kamu jadi Mimmanya Kai!"

"Mama ... Sakhi dilamar, Ma!"

Batin Sakhi menjerit karena kaget dengan ungkapan Kama. Belum habis rasa kagetnya, tiba-tiba sebuah tangan mungil menggapai dan menggenggam erat jemarinya.

"Mimma, ayo bobo'!"

"Hah?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status