Share

Bab II

Awalnya, Gara-gara OD

Suasana diskotek ramai. Refan bersama Jason menuju sofa bertuliskan “reserved”, di sudut ruangan. Refan merebahkan pundaknya di sandaran.

Seorang wanita kurus berkulit coklat exotis menjemput Jason. Jason beranjak, meninggalkan Refan sendirian. Seorang waitress menyapa dan mengangguk membaca bahasa isyarat Refan yang meminta  wine barley tercampur dua butir ekstasi, seperti biasa. Saat nampan sampai di mejanya, Refan langsung menenggaknya, segera membawanya ‘on’.

Namun, setengah jam kemudian, Refan berubah pikiran, teringat janji kencannya dengan Tunangannya, ke Sanur.

Sesosok perempuan berparas oriental mendatanginya, seorang PR (Public Relations). Melanie, namanya. Refan menarik Melanie duduk di sofa. “Cece, tolong panggil yang di pinggir meja sana,” pinta Refan menunjuk gadis bermata sipit, tinggi, berkulit putih, perkiraan berumur 25 tahun, rambut panjang sepinggang dan berdada tipis.

“Oh,  itu Fira, anak buah aku. Sebentar aku panggil.” Melanie bangkit dari sofa menghampiri Fira, seorang penari sexy dancer asal Sukamandi Subang, berbisik ke telinganya, dijawab anggukan Fira.

Fira segera menghampiri Refan . “Mau apa, Mas?”tanya Fira dengan logat medok Sunda Jawa. “Pil H5 (bahasa gaul dari untuk pil happy five) seperti tempo hari, kamu ada?” tanya Refan.

Refan sedang tidak moody ikutan tripping, terlanjur kekencengan akibat menenggak ekstasi. Ia teringat akan janji kencan dengan tunangannya, Olive. Bermaksud pamitan meninggalkan Jason dan menjemput Olive. Agar efek ‘on’ ekstasi segera hilang, ia berusaha menenggak H-5. Supaya ia aman berkendara.

Fira menyerahkan sebungkus rokok Esse ke meja Refan. Di dalamnya tersemat lipatan tissue berisi dua pil, yang segera ditenggak Refan. Namun setelah beberapa jengkal meninggalkan meja Refan, Fira baru sadar. Ia salah menyerahkan barang. Seharusnya memberikan pil Happy Five, tapi tertukar dengan ekstasi. Kebetulan warnanya sama, sama-sama kuning dan sama-sama bundar, temaram lampu diskotek membuatnya salah kasih.

Refan yang terlanjur menenggak dua butir pil terakhir dalam sebungkus rokok Esse inipun percaya saja, bahwa kondisi tubuhnya pasti akan segera kembali normal dari efek ‘on’, tak lama lagi.

Merasa berdosa dan ada beban mental untuk bertanggung jawab, Fira kepikiran. “Wah, gimana nih, gue salah kasih,’’gumam Fira dalam hati. Fira mengamati tubuh Refan dari kejauhan. Lima menit berlalu, masih belum apa-apa. Namun, lima belas menit kemudian, Fira dikejutkan oleh kerumunan orang di sekeliling Refan. Refan terkapar di sofa, mulut penuh busa, terengah-engah sesak napas.

Takut dituntut oleh Melanie, atasannya, Fira menyuruh seorang penari striptease yang kelar pentas, mendampingi Refan. “Ah, enggak mau. Kenal juga, enggak. Apaan, sih?”jawab si penari.

Panik. Lalu Fira pergi menjauh, menghindari hal-hal yang tak diinginkan menimpanya. Sementara orang  yang tadi se-table dengan Refan pun, pergi menjauh. Benar, Jason malah menjauh.

Sesosok perempuan muda, tak jauh dari meja Refan menghampiri pria sekarat itu. Tepat beberapa detik kemudian, security diskotek menyergapnya.

“Mba, keluarganya, apa temannya? Silakan ikut dampingi Bapak ini ke rumah sakit,’’jelas petugas berambut cepak itu memaksa.

Perempuan itupun melongo saat digelandang masuk ke mobil yang disiapkan oleh pihak manajemen untuk membawa para korban over dosis ke rumah sakit terdekat.

“Nama mba, siapa?”tanya petugas itu lagi. “Saya Rita, Pak. Sexy dancer baru. Baru kerja dua malam,”jelas perempuan berkulit sawo matang itu merapikan rambut pikokan coklat ikal panjang sepinggang ke arah depan, menutupi buah dadanya yang menyembul.

Rita yang baru diterima kerja di diskotek itu sebagai penari erotis, bak kerbau dicolok hidung. Ia gadis desa asal pelosok Cirebon, usia 23 tahun. Perempuan lugu belia, itu bingung harus bereaksi apa. Pekerja club lainnya menjauh, Rita malah mendekat. Maklum, pendatang baru, lugu dan belum ada pengalaman kerja di dunia malam.

Ia menuruti permintaan satpam agar mendampingi pria sekarat itu ke UGD rumah sakit di bilangan Semanggi, Jakarta. Ia menandatangani formulir isian pasien. Sampai akhirnya, dipindahkan ke bangsal perawatan satu jam kemudian, Rita masih mendampingi pria sekarat itu hingga pagi. Bahkan ia merelakan tidur di sofa paviliun ruang perawatan, seperti mendampingi keluarganya sendiri yang terbaring sakit.

Rita merasa terjebak profesi barunya ini. Hidup di desa saling tolong menolong gotong royong, mendidiknya tumbuh dengan karater suka menolong. Tapi ketika ia bekerja di kota besar, rasanya jadi kena getah, lantaran terlalu care. Pikirnya, mungkin mami PR (panggilan perekrut penari di club malam) atasannya, mengkondisikannya dengan settingan skenario ini. Ia harus mendampingi pria tak dikenal yang over dosis ke rumah sakit. Ataukah memang ini jadi bagian dari job desknya.

Menunggui pria tak dikenal itu semalaman, Rita berharap ponsel si pria berdering. Supaya ia bisa memberitahu keluarganya, bahwa orang ini dirawat di rumah sakit.

Pria itu terbangun, pukul 06.00 pagi, merasa asing. Refan membuka matanya, menyadari tubuhnya terbaring  berlilit infus di tangan. Ada perempuan tak dikenal tidur di sofa. Kaget tak habis pikir. Refan lalu memanggil perempuan yang tidur duduk dengan muka tertelungkup di meja sofa,  beberapa jengkal dari tempat ia terbaring.

“Mba, siapa?” Teriak Refan memanggil perempuan yang mengenakan tank top seksi dan rok mini itu. Ia mengulangi teriakannya agak keras, lantaran perempuan itu tidak bergeming.

“Ini saya dimana?”tanya Refan, mendapati perempuan itu bangun mengumpulkan nyawa. “Mba, siapa?” tanya Refan mengulangi lagi pertanyaan yang belum sempat dijawab.

“Ini di rumah sakit, Mas Refan. Betul nama Mas, Refan, kan? Maaf, saya ambil KTP Mas di dompet, lalu saya baca KTP Mas, tadi malam, buat ngisi formulir pendaftaran pasien. Oh, kenalkan, saya Rita, pekerja di club. Saya disuruh satpam mendampingi Mas. Semalam, Mas pingsan dan kejang. Saya baru kerja dua hari di sana. Pikir saya, mendampingi pengunjung club yang sakit seperti Mas adalah bagian dari pekerjaan saya. Apa begitu, ya?’’jelas Rita dengan nada bingung, berusaha tersenyum meski nyawanya belum ngumpul,  seolah menanyakan sesuatu baik ia dan si pria itu sama-sama tak paham apa jawabannya.

“Mas Refan sudah sehat?’’tanya Rita sembari merapikan kaki jenjangnya menyilang dan mengelap ujung bibirnya yang tipis, kuatir lipstiknya belepotan.    

Refan menegakkan tubuhnya dari posisi rebah, ia hendak duduk. Kemudian, ia merasa ingin ke kamar mandi untuk buang hajat. “Mau ke mana, Mas? Biar Rita bantu,’’sambil satu tangan memapah Refan ke kamar mandi, dan satu tangannya lagi memegangi botol infus. Tubuh Rita yang tingginya sekuping Refan, berusaha mengimbangi berat tubuh Refan yang tak sepadan. Cukup berat, memapah pria kekar jangkung itu menuju kamar mandi. Menyadari pria ini belum kuat betul untuk berjalan, Rita ikut sempoyongan. Namun berhasil membimbingnya kembali dari kamar mandi menuju ranjang rumah sakit.

“Mba Rita, kamu semalaman enggak tidur, gara-gara saya?” Tanya Refan berusaha akrab meski ekspresinya kaku. “Silakan istirahat lagi. Nanti kalau sudah berasa segeran, silakan boleh pergi. Tapi sebelum pergi, boleh saya minta nomor ponselnya?”

Rita menyodorkan ponselnya ke Refan, agar Refan menginput nomornya dan memiss call. “Panggil saya Rita aja, Mas. Umur saya baru 23, pastinya lebih muda dari Mas. Maklum, saya belum hapal nomor ponsel saya. Silakan input nomor ponsel Mas dan di miss call dari situ,’’kata Rita.  “Eh iya, ponselku, habis baterai. Tapi nomer aku ada di situ,ya, di panggilan keluar, “jelas Refan.

Tak berselang lama, seorang perawat pria masuk ke ruangan itu untuk memandikan pasien. Namun Refan menolak. “Sebentar lagi ada keluarga datang, mereka bisa bantu saya mandi. Tapi, saya boleh tanya ya Mas. Saya kok di bawa ke rumah sakit. Saya sakit apa, ya?’’tanya Refan.

“Ada visitasi dokter pagi ini. Bapak, silakan menanyakannya langsung ke dokter. Saya perawat, tidak bisa menjawab pertanyaan Bapak, hanya dokter yang boleh menjelaskan,’’jawab perawat itu sesaat setelah kelar merapikan ruangan.

Refan meminta Rita memapahnya kembali ke kamar mandi. Ia minta dibantu mandi. “Rita, bisa tolong bantu saya dulu, mau mandi. Tolong saya sebelum Rita  pergi dari sini. Tolong bawa kursi yang itu ke dalam kamar mandi,’’pinta Refan sambil menunjuk kursi khusus untuk tempat duduk pasien mandi.

Tak disadari, keduanya terjebak dengan sentuhan-sentuhan lawan jenis yang tak seharusnya. Ketika tubuh kekar itu dipapahnya. Ketika tangan halus Rita menyentuh tubuh Refan saat membuka kancing bajunya. Refan mencium sisa wangi parfum di tubuh dara berdada penuh itu. Bahkan saat Refan merasa tak perlu malu saat dilucuti. Pandangan mata Refan tertuju pada belahan dada Rita. Meski telah ditutupi rambut ikal panjang sepinggang, masih merangsang urat nafsunya.

Sentuhan-sentuhan Rita di tubuhnya pagi itu, membangkitkan gairah alami seorang pria. Meski Refan berusaha menahan, agar gairah yang tak semestinya itu bangkit mempermalukannya. Refan menikmati tiap sentuhan dara cantik langsing berkulit coklat berdada penuh ini.

Di benak Rita, ia merasa ini semua settingan. Tempat kerjanya menjebak dia temani tamu ke rumah sakit. Sementara Refan tersengat perhatian dan bantuan tulus perempuan yang tak dia kenal, saat ia sekarat. Oleh sebuah kebetulan mereka dipertemukan, namun benih cinta kemudian muncul di sana. Cinta bersemi di kamar mandi. Di benak Rita, ia tak berharap kebaikannya dikenang. Itu sebabnya, ia menolak pemberian uang tip Refan.

“Enggak usah, Mas. Rita tolongin Mas, tulus kok. Rita bukan malaikat. Jangan panggil Rita malaikat lagi, ya. Rita boleh pergi sekarang, ya Mas. Nomor ponsel Mas sudah aku simpan.”kata Rita berpamitan, menepis sanjungan Refan yang mengatakan ia bak malaikat penolong, sambil menjabat tangan Refan dan mengembalikan lembaran uang ratusan ribu pemberian Refan.  

Visitasi dokter pagi ini berlangsung pukul 09.00. Refan menanyakan pertanyaan yang tak bisa dijawab perawat. Ia akhirnya paham, semalam ia over dosis. Dalam hati ia berpikir, ‘’Jadi yang aku tenggak terakhir dua butir lagi semalem itu berarti bukan pil happy five. Wah, berarti ekstasi lagi. Pantesan aku OD,’’ Dokter internist itu menjelaskan agar  ia bed rest dua malam. Senin siang, baru boleh meninggalkan rumah sakit. Itupun dengan catatan jika kondisinya membaik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status