Share

Bab VI

Promosi Jabatan

Merasa telah pensiun dini dari profesinya sebagai PSK dan tidak lagi kelayapan di diskotek,  Rita memikirkan cara merekrut pekerja malam. Job desknya  travelling menerbangi rute Jakarta – Penang atau Jakarta –Johor Bahru- Malaysia.   

Berangkat naik pesawat, pulang lewat laut dengan rute berbeda, naik kapal feri via Penang Port menyeberangi selat selama dua jam.  Begitu sampai di Pelabuhan Sri Junjungan Dumai, lanjut jalan darat dengan mobil travel menuju Pekanbaru yang akan ditempuh delapan jam. Bermalam semalam di Pekanbaru,  paginya kemudian lanjut dengan pesawat ke Jakarta. Untuk rute Jakarta-Johor Bahru, berangkat naik pesawat ke Batam, menyeberangi selat naik feri dua jam dari Batam Center sampai ke Port Klang-Stulang Laut Johor Bahru. Pulangnya, lewat jalur yang sama.

“Cece, berangkatnya naik pesawat. Jakarta - KL, lanjut KL-Penang. Kok pulangnya kenapa harus susah-susah lewat jalur laut?”tanya Rita kritis, dijawab Melanie, ‘’Udah...ikutin aja sesuai arahan bos besar, gak usah banyak tanya’’. 

Melanie menawarkan sebuah promosi jabatan, alias kenaikan pangkat. Jika kemarin dulu Rita adalah bawahan, kini Melanie mempromosikannya menjadi bos di bawah bos besar. Jika sebelumnya Melanie selalui memantau pergerakan traveling para kurir, maka tugas itu diserahkannya ke Rita.  

“Rekrut orang, pantau perjalanannya. Aku mau liburan ke Belanda. Tugas mereka sama seperti apa yang kamu kerjakan dulu, bertukar koper di hotel. Koper yang dikasih orang di Malaysia itu buat kurir kamu, harus dibawa pulang ke Jakarta. Suruh kurir atur janji sama orang yang mau antar koper di kamar hotel.” Jelas Melanie sembari menegaskan bahwa tugas awal Rita harus dimulai dari mencari kurir.

Menyiapkan paspor dan booking tiket pesawat, itu tugas berikutnya. Rita putar otak mengingat sudah enggak kelayapan clubbing lagi. Sedangkan di club malam bekas tempat kerjanya terdahulu, ia hanya kenal 2-3 orang sexy dancer. Dari hasil mengontak mereka, hanya satu orang yang berminat. Sementara Melanie memintanya merekrut minimal 10 kurir sekaligus, selama satu minggu ini.

‘’Musti cari orang ke mana ya?” gumam Rita dalam hati. Maka ia coba-coba tawarkan lowongan kerja backpacker di f******k. Lumayan, lima puluh orang melamar. Dari sana, ia menyortir menurut CV yang masuk. Background pendidikan terlalu tinggi, ia buang. Juga yang background pekerjaannya kantoran, dia buang. Dari f*, ia merekrut 5 orang yang dianggapnya tidak berpendidikan, dan bukan dari kalangan kantoran. Supaya jangan banyak pertanyaan.

Siang itu, setelah mentok cari orang di f******k hanya dapat 5 calon kurir, ia keluar rumah melintasi terminal bus Manggarai Jakarta Selatan pagi itu, Rita minggir di tukang asong. Pura-pura beli tissue. Saat seorang kenek bus metromini juga membeli sesuatu di tukang asong, Rita memberanikan diri beramah tamah Sok Kenal Sok Dekat. Membaca logat bicara pria kenek bus metromini itu berlogat Jawa ngapak, ia berusaha memakai logat yang sama untuk mengakrabi si abang.

‘Lagi nyantai, Bang?” Pertanyaan itu dijawab senyuman si Abang kenek. “Punya keluarga perempuan yang mau ikut kerja sama saya, nggak Bang? Gaji lumayan, kok.” Tawar Rita disambut kooperatif si Abang Kenek.

“Saya minta nomor HP ibu boleh? Soalnya saya mau narik lagi. Itu metromini udah nunggu. Nanti malam jam 10, saya kelar narik, sih Bu. Jam segitu saya ada di rumah. Saya bisa telfon Ibu,’’jelas si Abang kenek. “Iya, itu kartu nama saya. Abang nanti telfon saya kalo sudah senggang. Nomor telfon saya ada di situ. Saya istirahat biasanya jam 12 malam. Gak papa telfon saya jam 10 malam,”jelas Rita.

Malam itu, Abang kenek yang bernama Anto menghubungi Rita yang di kartu namanya menyebut berprofesi sebagai export import trader. Hasil pembicaraan telfon malam itu, Anto akan membawa beberapa orang perempuan dalam keluarganya untuk bekerja ikut Ibu Rita. Esok hari, Anto membawa istrinya Osih, Romlah tantenya dan juga Yati ponakannya untuk ketemu Ibu Rita di food court Mall Pasaraya Manggarai, Jakarta Selatan.

“Kenalin Bu, ini istri saya, tante dan ponakan saya. Mereka emang pada lagi nyari kerja. Kemarin kerja di garmen, tapi kena PHK. Kalo cuman kerja ngambil sampel barang ke Malayia satu dua hari dapet gaji Rp 15 juta sih, semua pada mau, Bu,’’jelas Anto, pria berbadan gelap berusia 30 an itu sembari meremas bungkus rokok kosong, dibarengi anggukan ketiga perempuan yang adalah keluarga dekatnya. 

Mereka menyerahkan berkas-berkas yang diminta Rita untuk syarat bikin paspor. “Iya, ini lengkap semua ya berkasnya. Seminggu lagi ikut saya. Wawancara di kantor imigrasi Jakarta Selatan. Kan, kerjanya nggak berat. Cuman ambil sampel barang di Malaysia. Paling besar ya, satu koli, atau satu koper sport atau koper besar,”jelas Rita.

Dalam seminggu ini, Rita berhasil merekrut 10 perempuan. Lima orang diantaranya dari f******k, tiga lagi dari koneksi Anto abang kenek metromini dan dua lagi dari bisnis menjalankan uang alias rentenir yang ia jalankan di lingkungan pekerja malam tempat ia bekerja dulu, ada dua orang yang terjerat hutang bunga berbunga dan akhirnya enggak bisa bayar. Yang ini, bersedia melunasi hutangnya dengan menerima tawaran kerja menjadi kurir ambil sampel barang ke malaysia. Hutang uang dibayar dengan tenaga.

Kesepuluh tenaga kurir yang berhasil direkrut, ada  yang berlatar belakang ibu rumah tangga, kenek metromini, pekerja domestik Asisten Rumah Tangga (ART). Selebihnya ada yang korban PHK buruh pabrik, ada juga pekerja malam kelas diskotek dan kafe dangdut yang ingin tobat meninggalkan dunia bejat,  dan ada juga pekerja malam yang juga ingin terbebas dari jerat hutang rentenir. Selain mereka, Rita berhasil merekrut PSK bantaran Kali Manggarai yang selama ini lelah bersaing berpindah lokasi lapak kerja dari sana ke bilangan jalanan seputar PRJ Kemayoran tergusur hebatnya persaingan pasar dengan para bencong.

Rita juga menyiapkan sesi training tiap kurirnya, dua jam, secara terpisah, guna menghindari saling kenal, saling kontak yang nantinya membahas hal-hal yang bukan-bukan. Itu saran Melanie.

Dalam sesi training per kurir yang berlangsung dua jam, ia mengajarkan cara berpakaian. Ia bahkan membelikan tiap mereka satu stel baju kantoran dan tas kerja,  yang akan dikenakan selama perjalanan, lengkap dengan jam tangan dan  perhiasan imitasi. Buat kurir berusia emak-emak, ia membelikan busana muslim mewah berbahan satin. Ia mengajarkan cara berpakaian yang elegan, juga merias wajah  untuk meyakinkan petugas imigrasi di Malaysia bahwa mereka bukan pencari kerja atau TKI yang akan memasuki wilayah Malaysia dengan visa turis.

Rita juga meminta mereka menukarkan biaya akomodasi yang telah disiapkan dengan mengisi dompet mereka dengan mata uang Ringgit, sebanyak RM 4000. Uang tersebut akan ditunjukkan kepada petugas imigrasi Malaysia, jika para petugas itu menanyakan mana uang sakunya. ‘’Cukup tunjukin aja. Bukan dikasiin,’’terang Rita.

Jika petugas imigrasi menanyakan keperluan mereka datang ke Malaysia, Rita mengajarkan sejumlah jawaban. Deal bisnis minyak kelapa sawit CPO, jual beli karet alam,  jual beli cacao atau coklat, jual beli alat berat dan sejumlah jawaban lain yang tidak lebih hanyalah karangan belaka. Penjelasan Rita dijawab anggukan tanda mengerti dan patuh para kurirnya.

‘’Tapi nanti, pulang dari Malaysia kalian harus bawa barang yang diserahkan sama orang Ibu di sana. Barangnya bisa berupa koper travel bag kosong, sport bag kosong, sepatu high wedges, mainan anak, lukisan kaligrafi, termos es besar berisi ikan,  laptop, atau mungkin barang-barang lain. Itu semua sampel barang yang mau Ibu jual di Jakarta. Bawa aja, kalau naik pesawat, masukkan  ke bagasi penumpang. Jangan taruh di kabin, soalnya size nya rada besar,’’jelas Rita dalam sesi trainingnya.   

Kendati sesi training telah dipisah hanya Rita empat mata dengan satu orang calon kurir, kelompok kurir keluarga si abang kenek Anto, ternyata masih bisa mendiskusikannya usai sesi training, setelah mereka tiba di rumah masing-masing. “Tante Osih dan Emak Romlah dikasih wejangan juga, ya, sama Bu Rita? ‘’tanya Yati ke dua kerabatnya mengawali diskusi mereka.

“”Kok kayaknya ada yang aneh? Sampai kita didandanin dan diajarin bagaimana ngejawab pertanyaan petugas imigrasi. Padahal, jasa paketan luar negeri kan banyak, ya Tante Osih? Kenapa harus kita yang ngambil ke sana?’beber Yati kritis.

Mereka bertiga mendiskusikan job desk pekerjaan yang dipaparkan si bos. Namun di ending pembicaraan, mereka sepakat mengambil kesempatan kerja itu, wait and see. Jika pekerjaan itu baik-baik dan upahnya sesuai janji, mereka akan lanjutkan. Namun jika tidak, mereka akan kompakan mundur.     

Hari demi hari berganti, Rita sibuk menyiapkan keberangkatan para kurirnya. Sehari yang hanya 24 jam itu serasa kurang buat Rita. Sebab dia harus memantau ke-10 kurirnya. Ada yang di pukul 24.00 masih dalam perjalanan malam via bus antar kota di Malaysia. Betapapun, mereka semua, baik yang on the way di kapal feri sinyal hilang muncul, atau yang baru check in counter di bandara, atau bahkan yang tengah menunggu transaksi serah terima koper, semuanya harus dia pantau. Jika ada yang alami kesulitan selama perjalanan, ia harus lapor ke atasannya, Melanie.

Di mata Rita, ini pekerjaan sederhana yang memberi dia komisi besar, Rp 25 juta per kurir. Komisi cair setelah kurir tiba di Jakarta dan koper bawaan mereka dia terima dengan baik.  Memang, dibenaknya ada tanda tanya, kenapa pekerjaan sederhana ini memberinya penghasilan besar? Namun, lantaran takut dibilang ‘rewel’ oleh Melanie, ia memilih diam. Disisi lain yang sangat ekstrim, pekerjaan ini menawarkan nilai plus yang signifikan dibanding melayani bookingan pria hidung belang,

 “Terima kasih, Bu Rita, saya bisa kerja ikut Ibu. Terima kasih dikasih gaji Rp 15 juta cuman kerja dua hari,’’jelas Osih, istri Anto si Abang Kenek Metromini, usai menyerahkan koper yang ia bawa dari Malaysia. Perempuan berusia 29 tahun yang selama ini bekerja juga sebagai kenek metromini itu merasa taraf hidupnya ditolong oleh Rita.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status