Share

Bab IX

Teka-Teki Yang Terkuak

Olive membaca gelagat aneh suaminya, saat menghadiri joint meeting kedua perusahaan tempat mereka bekerja, di kantor Olive. Refan terlihat gusar, siang itu. Sebentar-sebentar mengechek ponselnya, dilakukan Refan saat tengah mempresentasikan paparan inisialisasi proyek bersama ini.

Refan menjelaskan kontribusi perusahaan PT Osfon dalam perencanaan awal proyek ini, memaparkan komposisi sumber daya manusia, alat-alat, metode serta hal teknis lainnya. Tiba-tiba Refan meminta izin kepada pimpinan rapat untuk meninggalkan ruangan karena keperluan mendadak. Padahal, semestinya ia yang menempati posisi strategis dalam proyek bersama itu, tak boleh meninggalkan tahapan penting pendiskusian draft perencanaan proyek.

“Untuk penjelasan lebih lanjut  dari perusahaan saya,  akan dijelaskan oleh Bapak Rudy, Direktur Komersial dan Pengembangan Bisnis, sebagai divisi langsung yang ikut bertanggung jawab atas kelancaran proyek bersama kita. Bapak Rudy, waktu dan tempat saya persilakan,’’jelas Refan di hadapan audience meeting.

Kebetulan, Tubagus juga hadir. Olive mengedipkan matanya ke Tubagus. Seolah mereka mengiyakan atau membenarkan ‘sesuatu’ tengah terjadi. Atau bahkan keduanya menyepakati ‘sesuatu’ untuk ditindaklanjuti.

Beberapa hari sebelumnya, mereka membahas kehambaran rumah tangganya berikut kejanggalan kelakuan suami Olive. Olive akhirnya juga sepakat menerima tawaran Tubagus, menyewa mata-mata, untuk mengintai pergerakan Refan yang mencurigakan. Kedipan mata Olive berarti memberi otorisasi Tubagus agar melakukan eksekusi. Tubagus menghubungi tenaga mata-mata sewaan yang telah disiapkan untuk menguntit Refan, sejak hari itu.

‘’Ya, kalau kapan itu, kan aku pikir kamu terburu-buru mencurigai suami kamu, nikah baru tiga bulan. Tapi setelah hari ini umur pernikahanmu 9 bulan, aku juga lihat dengan mata kepala sendiri keanehan Refan, OK aku ACC request kamu. Itu nomer WA paparazinya udah kukirim. Silakan hubungi sendiri. Aku udah bilangin ke mereka bahwa klien  akan kontek langsung,’’jelas Tubagus kepada Rita segera kompakan minta izin ke toilet di tengah berlangsungnya rapat.

‘’Memangnya, bisa sekarang mereka bertindak?”tanya Rita. ‘’Coba aja. Siapa tahu bisa, mereka mangkal di lobby, untuk klien lain,’’jelas Bagus.

Olive mengirim pesan WhattsApp berisi perintah menguntit berikut foto Refan dan mobilnya,  “Target bergerak ke lobby. Baju jas setelan atas bawah abu-abu, dalaman hem warna putih krem. Mobil diparkir di basemen 3 DF”.   

“Siap, “balas sang agen. Tiga orang agen dikerahkan. Satu diantaranya wanita. Mereka bergerak dengan satu unit taxi, satu unit kendaraan pribadi dan satu unit motor ojek, menguntit pergerakan Refan dari pintu exit gedung menuju arah jalan protokol Thamrin, putar balik di patung kereta kuda Arjuna Wijaya di kawasan Monas, Gambir. Posisi perhentian kendaraan Refan akhirnya dikenali saat berbelok ke kiri ke jalanan kecil setelah Plaza Central.

Hanya dua puluh meter dari mulut jalan, kendaraan Refan Mercedenz Benz S Class hitam itu belok kanan ke parkiran RS Jakarta, lalu menuruni basemen rumah sakit. Agen yang terlebih dulu bergerak adalah wanita yang menguntit target dengan taxi.

Tere menunggu target di depan lift lantai lobby. Sedangkan Refan masih berada di depan pusat informasi. Satu agen menunggu beberapa meter dekat lokasi parkir Mobil Refan. Satu agen lagi stand bye di lobby. Tere berhasil ikut memasuki lift yang sama dengan Refan. 

Akhirnya, pergerakan Refan terbaca jelas  memencet tombol lantai ruang bersalin di lantai lima. Hari itu, ketiga agen mata-mata berhasil mengumpulkan informasi disertai rekaman kamera jam tangan yang berhasil direkam oleh Agen Tere.   

‘’Ibu,  target berada di RS Jakarta, mengunjungi seseorang di unit perawatan bersalin,’’itu bunyi pesan WA agen Tere.

Team agen paparazzi berhasil menghimpun data pasien dengan nama dan alamat tempat tinggalnya. Nama pasien, Ny Rita Anastasia. Umur 24 tahun. Tinggal di Apartemen Aston Semanggi. Melahirkan anak pertama secara sesar, bayi perempuan dengan berat bayi 2,4 kg di rumah sakit itu.  Pasien yang dikunjungi Refan di rumah sakit itu, diperkirakan masih berada di sana dua hari lagi. Para agen ini meminta instruksi lebih lanjut.

‘’Tolong sewakan saya di unit hunian di lantai yang sama dengan alamat Rita. Barangkali ada unit yang bisa disewa untuk sebulan? Bisa disewakan atas nama salah satu kalian. Saya bayar biaya sewa plus tipsnya. Silakan tinggal di sana untuk menghimpun informasi sebanyak mungkin. Saya minta investigasi di lokasi apartemen perempuan itu juga,’’jelas Olive kepada mereka saat melakukan janji temu di restoran gantung Plaza Semanggi, malam itu.

Olive berusaha mengontrol emosi akibat akumulasi penasaran yang akhirnya terjawab malam itu. Hati suaminya raib, pernikahannya hambar di ambang kehancuran. Suami tercinta hilang diambil kuntilanak. Pantesan,  tiap kali weekend selalu saja ada alasan untuk tidak di rumah. Pantesan, jadi rajin bangun pagi dan menolak memberinya tumpangan kendaraan untuk berangkat ke kantor. Pantesan, tiap kali jam makan siang selalu menolak ajakan makan siang bareng yang ia tawarkan. Pantesan juga, meski jam kantor telah usai sejak sore pukul 4, Refan baru tiba di rumah pukul 11 malam. Kini, Olive menemukan alasan tepat untuk membongkar kedok mangkir jatah nafkah batin yang tidak ia terima di enam bulan terakhir.

Tepat pada jadwal hari kepulangan pasien wanita yang dikunjungi Refan selama 7 hari terakhir, ketiga agen mata-mata itu berhasil merekam sosok utuh perempuan menggendong orok memasuki mobil Refan. Gambar rekaman wajah wanita itu sangat jelas tampak depan dan samping. Gambar visual tubuh utuh perempuan itu juga tertangkap jelas oleh kamera para agen. Laporan rekaman audio visual kepulangan pasien wanita yang melahirkan di rumah sakit itu diserahkan para agen pada hari yang sama.

‘’Ibu Olive, yang kuat ya, Bu, “ujar Agen Tere ke Olive saat menyaksikan Olive hampir pingsan menyaksikan rekaman audio visual sosok perempuan yang selama ini merenggut kebahagiaan rumah tangganya, ditayangkan di laptop Agen Tere.

“File soft copynya mau saya kirim ke WA ibu, atau email aja?”tanya Agen Rere.

“Dua-duanya aja. Saya memerlukannya. Satu sama lain , saling jadi back up buat saya”jawab Olive lemas dengan mata berlinang tangis, menyalami ketiga agen mata-mata yang menemuinya di restoran tempat biasa mereka janjian.

Seluruh harapan Olive akan rumah tangganya luluh lantak. Bahkan ada keinginan untuk  tidak mempertahankan pernikahan itu. Runtuhnya harapan Olive, seperti keruntuhan gedung WTC di Amerika. Ketenangan emosinya dan trust yang selama hampir  satu tahun pernikahannya ini ia bangun kokoh bak batu karang, akhirnya hancur berkeping-keping.

Ia gontai kehilangan kendali dan kekuatan yang menjadi alasannya bertahan selama ini. Semua alasan ‘demi karir dan masa depan’ Refan, ternyata bohong semua. Ia teringat akan semua candaan dan nasihat Tubagus. Semuanya terbukti dan tidak disanksikan. Ia merasa begitu bodoh dicurangi tanpa perlawanan. Seperti sasaran pembunuhan berencana, yang korbannya pasrah menyerah bak kerbau dibawa ke pejagalan.

“”Ibu......., Tolong Olive, Bu.....Nggak kuat, Bu....,”dia berteriak dalam hati dengan dada sesak tak sanggup lagi bernafas serasa ingin sekali menangis di pelukan ibundanya. Bahkan ia juga sangat ingin menceritakan ini semua ke Tante Anita, Mamanya Refan.  Ia sudah jarang makan sejak tujuh hari lalu. Berat badannya juga turun drastis akibat tekanan batin. Di tengah sholatnya siang itu, Olive meminta kekuatan Tuhan agar ia sanggup tampil biasa seperti tidak ada apa-apa di hadapan suaminya, malam ini.

Benar, meski Olive ada janji temu dengan para agen dan pulang agak larut, pukul 10 malam, Refan masih belum pulang. Usai mandi, ia masih sempat memake up matanya yang bengkak karena seharian menangis. Ia ingin tampil seperti tidak ada apa-apa di hadapan suaminya malam ini.

“”Ya, Say. Makanannya udah aku siapin di meja. Barangkali masih mau makan malam,’’jelas Olive sambil mencium pipi kanan kiri suaminya menyambut kepulangannya. Ia menunjuk meja makan yang penuh hidangan makan malam dengan lilin yang ia nyalakan. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan suaminya yang menerima anugerah lahirnya sang buah hati. Ia duduk di ujung meja, dengan gaun tidur hitam pertanda duka, menanti Refan usai mandi agar segera menuju ruang makan. Olive mematung.

“Sibuk sekali ya, hari ini?’tanya Olive memecah keheningan diantara diam seribu bahasanya mereka berdua setengah jam berlalu. Ia melihat mata Refan juga seakan tak mau menatapnya untuk menjawab pertanyaan sederhana itu.

“Enggak sibuk banget. Cuman ketemu klien kantor di jamuan makan malam,’’celetuk Refan seperlunya, sambil mengunyah menu steak sapi dan kentang tumbuk mashed potato, makanan favoritnya selama kuliah di Inggris 3 tahun meraih gelar Msi, master of science. Refan menyudahi makan malam kali itu dengan menyeka mulutnya dengan lap makan dan meninggalkan Olive sendirian. Seolah mengisyaratkan ‘enggak ada sesuatu yang penting untuk kita bahas’. Mereka berpisah di meja makan.

Sepertinya bahasa tubuh yang sama Olive tangkap namun tak terlalu jelas sejak sembilan bulan lalu, bahkan beberapa bulan sebelum menikah. Hanya karena waktu itu, agak samar dan tanpa bukti cukup. Ia tak tega menuduh suaminya dengan tuduhan yang mengada-ada. Namun, kini semuanya jelas telanjang. Secuek apapun kedok muka hambar yang dipasang Refan, kini Olive mengerti, ini sinyal merah untuk pernikahannya yang tidak ada harapan.

Olive cukup cerdas menyikapi. Tak ingin kecurigaannya terbaca suami. Ia merencanakan upaya memergoki secara tragis. Agar ia sanggup menyajikan fakta hitam di atas abu-abu  yang selama ini begitu kabur di pikirannya tersemat dalam kalimat: Masa iya? Masa sih? Mana mungkin? Kenapa? Kok bisa seperti itu? Bahkan sampai kepada beberapa kalimat yang menyalahkan dirinya sendiri, ‘memang salahku ini apa? “kenapa aku tak membatalkan saja rencana pernikahan ini sejak itu? “Oh, betapa bodohnya aku. Kenapa harus aku yang mengalami ini semua?” sampai kalimat-kalimat itu kembali ke “aku salah apa, kok diperlakukan seperti ini?  Dan terakhir ia menanyakan kepada dirinya sendiri,”harus kuapakan semua ini?” mengakhiri kalimat kontemplasi yang dilakukannya di kamar mandi sunyi yang ia kunci tiga jam sejak pukul satu dini hari. Ia menangis maratap di kamar mandi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status