Share

Bab IV

Diskursus Asal Usul Uang Gampang

Kencan dengan Rita memang jauh beda dengan mengencani Olive. Kencan dengan Olive membedakan rupa, sensasi dan rasa. Packingannya sopan, alim, menjaga kesucian dan satu hal pasti, agak ‘dingin’, sedingin es. Refan bisa tampil alim di hadapan Olive. Meski sesungguhnya ia cukup nakal saat dilayani Rita. Di alam bawah sadar Refan, ia menyukai sosok binal yang mampu mengimbanginya mengarungi bahtera asmara.

Rita bukan perempuan matre, itu nilai plusnya. Setidaknya ia cukup waktu menyimpulkan, dari enam bulan berselang tiap sabtu malam. Ketika menikmati suguhan cinta Rita. Sekalipun Rita bekerja di dunia malam, Refan melihat Rita berbeda dengan cewek-cewek lain. Rita bukan tukang porot. Namun, ia mengakui Rita memang tipe perempuan pemburu uang gampang.  

Malam itu, Refan memintanya berhenti dari pekerjaannya. Namun, buat Rita jenis pekerjaan yang baru setahunan dilakoninya ini mutlak, tak boleh diganggu gugat. Bahwa untuk hidup enak memang hanya bisa diperoleh dengan meregang urat kemaluan. Ketika tawaran dan saran agar Rita berhenti dari profesinya itu berubah kesan menjadi sebuah ultimatum, Rita mulai menimbang-nimbang pro kontra tawaran itu.

Sebuah diskursus teori kemakmuran yang diyakininya turun temurun dari nenek moyang, bahwa hidup makmur mulia paling gampang hanya dari selangkangan, melayang-layang memenuhi pikirannya.  Seperti suara tawon mengelilingi kepalanya, ultimatum Refan menyengatnya. Filosofi hidupnya menemukan titik runtuh hari itu. Jujur, ia tak ingin kehilangan jaminan kemakmuran dengan melepas profesi yang dimatanya sangat menjanjikan. Maka ia mengajukan pertanyaan kasar yang dikemasnya sesopan mungkin.  

“Terus, aku makan apa, Mas? Lagian udah biasa kerja malem, kok, disuruh banting setir jadi perempuan rumahan. Nanti, lah, aku pikirin. Kasih aku waktu, ya Mas,”Jawab Rita dengan sangat sopan berusaha menegosasi tawaran pelanggan setianya ini.

Permintaan Refan menyisakan perenungan panjang di benak Rita, malam itu. Panjangnya melebihi jam-jam panjang kenikmatan terpanjang yang pernah mereka lalui bersama. Hanya karena ada sedikit cinta di hati Rita, akhirnya seminggu kemudian, di malam ritual birahi mereka berdua. Rita menyerah kalah, tak mampu menolak permintaan fans ranjangnya ini. Refan terobsesi, tak ingin simpanannya itu dinikmati pria lain, apapun dalihnya. Wow, semula hanya fans, lalu berubah jadi posesif.

Atas nama cinta, akhirnya Rita memutuskan. Keputusan bulatnya ia kemukakan malam itu sebelum ia tenggelam dalam kubang kenikmatan.  Karena ada cinta di hati untuk Mas Refan, akhirnya Rita mengiyakan ultimatum itu, pensiun dari dunia malam. Namun, Rita memilih tetap tampil elegan secara moral bak perempuan yang  mandiri secara finansial, steady di jalur bukan tipe wanita perongrong, tapi dengan sebuah kompensasi.  Ia menerima tawaran kerja dari Melanie, seorang PR di tempat kerjanya yang mendadak pensiun dan menghilang dari peredaran. 

                                                            ###

Suatu siang, Melanie menelfon Rita mengajaknya ketemuan di sebuah restoran wagyu  di bilangan Plaza Indonesia.

“Kamu tahu nggak, Rita. Dapet uang besar itu nggak kudu ngeregang selangkangan. Kalau kamu mau tahu banget pekerjaan macam apa itu, ini kerja halal yang menghasilkan uang, lebih dari cukup. Dan tentu lebih mulia dari pekerjaan kita dulu,”Jelas Melanie memulai promosinya menawarkan pekerjaan.

Ia menceritakan kisah suksesnya punya pacar baru sangat tajir. Pekerjaan itu dikelola oleh pacar barunya. Tawaran itu dituturkan Melanie setelah bercerita panjang lebar tentang pacarnya, pria kulit hitam yang mengaku berkewarganegaraan Mexico, berkenalan dengannya dan menyodorkan kartu nama tertulis profesi pekerja sosial di sebuah lembaga internasional.

"Oww.. Pekerjaan dari lembaga internasional, "pikir Rita. 

Meski agak penasaran, Rita menahan keingintahuannya tentang jenis pekerjaan yang ditawarkan mantan rekan kerjanya itu. “Boleh, lah, Cece (panggilan hormat untuk kakak di kalangan  Chinese), aku cobain,’’jawab Rita.

Esok pagi, Melanie mengantar Rita ke kantor imigrasi di bilangan Lebak Bulus, Jakarta. Melanie mengecek kelengkapan berkas Rita, agar bisa diajukan permohonan bikin paspor. Ada foto, akte kelahiran, KTP, kartu keluarga, juga ijazah sekolah. Melanie juga mentraining Rita agar menjawab alasan pembuatan paspor itu secara elegan.

“Bilang, mau ke Brazil, meninjau sentra produksi etanol, ya? Karena ada rencana bikin pabrik etanol juga, gitu. Kan, kamu punya sawah yang ditanam tebu di kampung. Etanol sekarang jadi lahan bisnis baru,’’tukas Melanie berusaha mengajarkan trik lolos wawancara di hadapan petugas imigrasi.

PR yang kini beralih profesi menjadi mami di balik layar (germo terselubung) ini, menunjukkan segepok berkas pengajuan paspor para calon pekerja  yang ia rekrut. Melanie memastikan  mereka semua pensiun dari PSK (pekerjaan seputar kemaluan) yang ia sebut dengan istilah lain pekerjaan seputar selangkangan atau PSS. Mengadu nasib dengan peruntungan yang bukan main. Bahwa uang gampang tak selalu harus mengalir dari selangkangan.

Jika hanya selangkangan yang ia andalkan, mungkin ia akan menuai penyakit di masa depan, seolah tegas ia berusaha meyakinkan Rita. ‘Hey, jangan terlena dengan pekerjaan itu. Nanti tambah umur juga banyak saingan. Terus, belum lagi risiko penyakitan!’’jelas Melanie agak melengking.

Benak Rita girang bukan main mendengar promosi Melanie yang kedengarannya makin lama makin mirip tukang jamu. Dijamin OK, dijamin makmur, dijamin happy, itu selalu jadi embel-embel buntut promosinya. Ada kadar bangga di hatinya, lantaran tergiur tawaran itu. Katanya, ia tak perlu keluar biaya sepeserpun. Semua biaya akan ditanggung si Bos. Begitu kembali ke Indonesia, gaji akan cair US$4000, setara dengan Rp 50 juta.

“Dari biaya akomodasi yang aku siapkan aja, udah ada untung, loh. Ya, cukup lah, kalau buat renovasi dapur rumah orang tua kamu. Biaya akomodasi PP kamu aku siapin US$3000, itu buat kalau ada keperluan ekstra. Kalau tiket pesawat dan booking hotel, semua udah aku siapin,’’kata Melanie menambahkan. Wah, untung berapa sih, ya, bikin Rita penasaran  ingin segera menjajal peruntungannya.

Benar, setelah Rita mengantongi paspor hijau, ia segera mendapat peluang merubah nasib dengan pekerjaan baru bertajuk ‘Selamat Tinggal Kemiskinan’. Menyemangatinya untuk ‘caio’ semangat terus di sepanjang jalan tol panjang menuju bandara. Rita menerbangi Jakarta-Rio de Jenairo hampir tiga kali dalam setengah tahun ini. Menjadikan sosok Rita tampil mandiri secara finansial di hadapan Refan. Bikin Refan makin cinta.

Ternyata cinta tak selalu harus dengan imbalan harta, cinta sejati  rupanya. Mungkin nasihat orang tua, benar adanya. Rita juga bukan tipe penuntut. Jika permintaan kencan Refan makin sering dan uang nafkah yang ia terima kadarnya sama, perempuan desa ini terima apa adanya.

Ada hal lain yang juga disuka oleh Refan. Rita tidak menuntut dinikahi. Wah, itu tipe easy going banget, sejalan dengan program pengendalian hama dan penyakit keuangan. Mengingat acapkali simpanan menuntut naik status jadi istri semi syah, biasanya ada embel-embel jaminan kemakmuran yang setara dengan istri terang-terangan. Kenapa kok Papa enggak beliin aku ini itu, seperti istri Papa – itu kalimat tuntutan yang dikenali oleh pria-pria yang punya piaraan.

Apalagi jika punya anak, tuntutan akan merambah lagi ke status akte kelahiran, dengan ancaman harus mengakui sebagai keturunan syah. Bikinkan aku surat nikah ganda, tanpa persetujuan istri pertama. Eh, kok lama-lama kayak kunci rumah atau kunci mobil, harus ada serepnya. Padahal sebenarnya yang digandakan bukan kuncinya, justru malah rumah kuncinya. Biar kalau bosen dengan yang ini, bisa lebih nikmat dengan yang ono.

Rita teringat obrolan pria-pria pekerja kasar di warteg pinggir jalan. ‘’Hidup itu perlu variasi,’’ kata sopir taxi.

‘’Itu bukan pendapat kami para supir, orang-orang dengan profesi yang distigmai beranimo kurang alias minus, S-U-P-I-R,  ada susu mampir. Bukan. Ternyata hampir semua pria memiliki motto hidup yang sama. Hidup perlu variasi.’’

‘’Lah! Yang perlu variasi sebenarnya apanya, Bang? Terus yang disebut hidup itu mananya? Apanya yang hidup?’’Protes ibu pelayan warteg ikut nyamber.

Pertanyaan Ibu pelayan warteg itu disambut gelegar tawa seisi warung, para pembeli yang seluruhnya pria.

Ketika Rita memikirkan topik obrolan seputar hidup perlu variasi, ia merasa paling paham. Karena ia berkecimpung saban hari dengan kepuasan pria. Standard kenikmatan pria memang menuntut variasi. Setidaknya itu yang ia pelajari dari pelajaran hidup menjadi penjaja cinta di satu tahun terakhir sebelum melakoni profesi Selamat Tinggal Kemiskinan ini.

Ia sadar siapa dirinya. Apalagi dari segi bibit, ia bukan dari latar belakang keluarga selevel keluarga Refan, yang orang tuanya pensiunan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Rita merasa naik derajat, meski hanya menyandang status simpanan. Tak apalah, yang penting ia kecukupan dari tataran basic need nya Abraham Maslow, sandang, pangan, papan.

Refan mampu menaikkan level kepuasan hidup Rita, lantaran Rita juga memuaskannya di ranjang tiap malam minggu. Take and give. Refan membiayai sewa apartement Rita yang dibayar tahunan. Rumah tipe 45 di bilangan Cibubur juga dibeli cash keras oleh Refan. Belum lagi mobil honda jazz meski bukan baru. Semua kepemilikan surat-suratnya atas nama Rita. Meski uang nafkah pernah tiba-tiba menyusut sejak Refan mengabarkan hendak dijodohkan orang tuanya, Rita masih menghormati satu permintaan Refan.

“Tolong hargai privaciku. Bagaimanapun aku sudah beristri sejak hari ini,” pinta Refan di suatu hari, sejak April sebulan lalu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status