Hari ini aku datang lebih pagi, karena akan mempersiapkan berkas-berkas meeting Pak Bos dengan kliennya.
Untung saja laporan kepada Pemda, Kepolisian, dan Lurah tetang keberadaan proyek yang dikerjakan Angga selesai kemarin sore, itupun ketika kantor sudah mulai sepi.
Pak Damar menunggu laporan di ruangan sampai aku selesai mengerjakannya, kenapa dia tidak menyuruhku mengerjakan besok saja atau dikerjakan di rumah.
Benar-benar Bos yang satu ini membuat kesabaranku di uji.
Ketika akan masuk ke kantor, aku berpapasan dengan Andina dan Cellin, mereka adalah staff bagian akuntansi yang mengelola keuangan dan menyusun buku kas, laporan keuangan berkala, bertanggung jawab terhadap kas proyek dan lain-lain.
“Nisa, kamu pulang jam berapa kemarin?” Cellin bertanya.
“Hampir magrib terpaksa aku shalat magrib di mushola dulu kemarin, Pak Damar bilang laporannya harus siap sore itu juga, terpaksa deh aku pulang telat.”
“Emang Pak Damar dari dulu gak pernah berubah ya, tegas dan gak bisa dibantah, sekretarisnya gak ada yang betah, kalau sekretarisnya ganjen dikit aja langsung dipecat hari itu juga, parahkan Nis? “ terang Andina kepadaku.
“Dengar-dengar sih dia pernah dikecewain, dikhianati sama pacarnya, dulu mereka sama-sama kuliah di Amerika, padahal mereka sudah berencana mau menikah lho.”
“Terus kabarnya lagi ceweknya itu sekretaris pertamanya waktu Pak Damar mulai menjabat jadi CEO di kantor ini,” lanjut Andina lagi menerangkan.
“Apa lagi sikap dingin dan berbicara ketusnya itu aku gak tahan, untung kita karyawan jarang ketemu ya, Ndin,” ucap Cellin.
“Pantes Pak Damar nyari yang berhijab kayak kamu Nis, Si Nisa kan gak mungkin ngera ..., ” celutuk Cellin lagi.
“Husst.” Andina memberi isyarat pada Cellin agar tak melanjutkan ucapannya mungkin dia takut aku tersinggung.
Aku hanya diam mendengarkan mereka, jadi karena itu mereka memilihku menjadi sekretaris, mereka pikir perempuan berhijab lebih sabar, legowo dan dianiaya diam saja.
Yah kalau sampai shalat saja dia marah seperti kemarin aku tidak akan tinggal diam, emang dia bisa menjamin aku masuk syurga, tidak kan? wong dia aja belum tentu masuk syurga.
Kami berpisah di lantai tiga aku segera menuju lantai empat, dan langsung mempersiapkan berkas-berkas untuk meeting bersama klien nanti sore.
Pak Damar adalah lulusan Master of Engineering (MEng) University of California.
Berkeley College of Engineering sangat terkenal karena menghasilkan banyak pengusaha sukses, di antara alumninya adalah salah satu pendiri dan CEO dari beberapa perusahaan terbesar di dunia.
Pak Damar mempunyai kecerdasan di atas rata-rata sehingga ia mampu menyelesaikan S2 nya di Universitas terkenal di Luar Negri dengan nilai terbaik dan mampu memimpin perusahaan sebesar ini menggantikan ayahnya.
Aku sudah siap dengan semua berkas di tangan dan menunggu Pak Damar di depan pintu ruangan CEO.
Tak lama kemudian Pak Damar keluar dari ruangan nya, ia langsung pergi ke arah pintu lift tanpa mengajak ku, setengah berlari aku mengikuti langkahnya yang lebar dari belakang, dengan membawa berkas-berkas dan tas ranselku.
Di dalam lift Pak Damar hanya diam saja, aku pun tak berani bertanya apa pun, aku hanya berani menatap sepatu pantofel mahalnya yang mengkilat.
Ia langsung menuju ke resepsionis, ada Lisa disana aku benar-benar belum siap bertemu Lisa, aku mengikuti langkah Pak Damar dari belakang, karena dia tak mengatakan apa pun jadi aku mengikutinya kemana pun dia pergi, kemarin Pak Damar Hanya mengajakku untuk meeting bertemu klien.
“Lisa jika ada yang mencari saya katakan saya meeting sebentar ke luar.”
“Baik Pak Damar,” ucap Lisa.
Aku melihat ke arah Lisa dan tanpa sengaja Lisa juga menatapku, dia menunjuk ke arahku dan Pak Damar secara bergantian dengan tatapan heran dan tak percaya, tentunya setelah Pak Damar berbalik arah ke pintu keluar.
“Sekretaris???” Lisa bertanya setengah berbisik ke arahku seperti tak percaya.
***
Aku melihat ke arah Lisa dan tanpa sengaja Lisa juga menatapku, dia menunjuk ke arahku dan Pak Damar secara bergantian dengan tatapan heran dan tak percaya, tentunya setelah Pak Damar berbalik arah ke pintu keluar. “Sekretaris???” Lisa bertanya setengah berbisik ke arahku seperti tak percaya. Ku tinggalkan Lisa yang terpaku dengan wajah melongonya itu, segera kususul Pak Damar dengan cepat. Mobil Camry mewah beserta supir pribadi sudah menunggu di depan kantor, Pak Damar langsung masuk dan duduk di belakang. Aku segera membuka pintu depan mobil dan berencana untuk duduk di dekat supir saja.
Matahari pagi bersinar dengan garangnya, padahal baru pukul 7 pagi sudah membuatku gerah, rasanya aku ingin segera cepat-cepat mengguyurkan tubuhku dengan air. Bumi ini semakin panas saja, akibat pemanasan global yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Efek rumah kaca, karbondioksida dari asap kendaraan dan pabrik, pembakaran hutan, pemakaian pendingin ruangan menyebabkan lapisan ozon semakin menipis sehingga bumi kita menjadi semakin panas, semua itu karena ulah manusia yang tidak mau menjaga alam ini bahkan merusaknya. Aku segera mandi, hari minggu ini aku bisa bersantai di rumah bersama ibu dan merawat bunga-bungaku yang sudah tak terawat lagi karena terlalu sibuk bekerja. “Nduk ... tolong ke warung Teh Diah, belikan keperluan dapur sudah pada habis,” titah ibu. “Baik Bu, Nisa pakai jilbab dulu.” Ku kenakan jilbab instan lebarku, tubuhku terasa segar setela
Hari berlalu tak terasa aku sudah terbiasa dengan sikap dinginnya Pak Damar, mengerjakan tugas dengan cepat, tak pernah basa-basi, irit bicara, tegas dan harus tepat waktu.Asal dia menghargai waktu shalatku saja sudah cukup, namanya juga jadi bawahan ya harus ikut semua perkataan bosnya dalam hal pekerjaan.Ketika sedang makan siang di kantin bersama Andina dan Cellin. Pak Lukman menghampiri kami yang sedang makan siang.“Assalamu’alaikum, Nisa,” ucapnya sambil tersenyum.Aku, Cellin dan Andina berpandangan heran.“Wa’alaikumsalam,” sahutku.“Kok ngucapin salamnya ke Nisa doang Pak?” tanya Andina.“Anu ... cuma mau nanyak alamat rumahnya Nisa aja d
Cukup lama juga wanita indo tersebut berada di ruangan Pak Damar, tak lama kemudian ia keluar. “Heh Mbak, lain kali jangan larang-larang saya untuk ketemu Pak Damar lagi, saya ini calon istrinya Pak Damar Hardana Wijaya, calon istri CEO,” wanita berparas Indo tersebut menjelaskan kepada ku. Sejenak aku terpaku mendengar ucapannya. “Baik Bu,” ucapku singkat. Aduh, aduh, belum juga jadi istri udah begitu, bagaimana kalau sudah jadi istrinya nanti. Aku masuk ke ruangan Pak Damar setelah ia menghubungiku melalui sambungan telepon, seperti biasa ia langsung ke inti tugasnya tanpa basa basi.
Hari ini aku segera mengerjakan laporan berkala proyek yang sedang dikerjakan oleh perusahaan.Tiba-tiba Pak Lukman datang menghampiriku, “Nisa CEO yang dulu dari perusahaan ini datang, segera sambut kedatangan beliau.”“Baik Pak.”Tak lama kemudian nampak rombongan mereka, ada General manager (manager umum) Pak Heri yang sudah cukup berpengalaman, Manager fungsional Bu Indah dan manager HRD Pak Lukman, mereka dulu yang mengintervieuw aku waktu itu, sepertinya mereka akan bertemu Pak Damar.Aku segera berdiri, menyambut kedatangan mereka.Tampak seorang pria berkacamata yang sudah cukup berumur tapi masih terlihat kharismatik dan berwibawa mengenakan jas dan sepatu pantofel.Di sampingnya berjalan seorang ibu-ibu paruh baya tapi masih terlihat anggun dan cantik.Beliau memakai kebaya dan sangg
Hari ini, hari libur aku janjian dengan Gendhis ia mengajakku makan, mungkin sebagai balasan karena aku sudah menemukan dan mengembalikan dompetnya, dan katanya lagi dia mau belajar agama, tentu saja aku tak menolaknya.Gendhis menjemputku ke rumah dengan mobil mewahnya, bahkan ia mampir sekedar untuk menyapa Ibu, aku suka pribadi Gendhis yang ramah, rendah hati dan lembut. Aku juga sudah menceritakan kepada Ibu tentang Gendhis.“Nis ... Kenapa Ibu gak sekalian di ajak aja,“ ucapnya menyarankan.“Jangan to, Nduk, Ibu gak biasa pergi ke tempat-tempat seperti itu, nanti bikin malu kalian aja, Ibu dibungkusi aja nanti,” ucap Ibu berkelekar. Gendhis tertawa.“Ya sudah Bu kami pamit dulu, assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam."
POV. Damar“Hai Damar, aku disuruh mamamu mengantarkan makan siang, katanya kamu sering lupa makan kalau lagi kerja.”Ucapnya lembut sembari meletakkan makanan di atas meja di dekat sofa.Aku tak menjawab tetap fokus pada laptopku.“Damar kamu kok gitu sih, aku tuh kemari karena perhatian sama kamu lho Damar, butik sampai kutinggalin demi nganterin makanan ke kamu.”Adelia agresif sekali mendekatiku, bahkan kebaikannya seperti dibuat-buat, sungguh aku tak suka, kalau tidak mengingat dia anak teman dari mamaku, mungkin sudah kuusir dari sini.“Ya nanti saya makan, masih kenyang.”“Nah gitu dong, itu baru namanya calon suami yang baik,”ujar Adelia.“Adelia kita tidak punya hubungan apa-apa, hany
Malam ini aku duduk di beranda rumah sembari menikmati angin malam, melepas kepenatan setelah seharian bekerja. Ibu tak menemaniku malam ini katanya beliau ingin istirahat setelah makan malam.Ponselku berdering, ku lihat layar ponselku ‘Gendhis’ aku segera mengangkatnya.“Assalamua’laikum, Ndis.”[Wa’alaikumsalam Nis, belum tidur kan?]“Belum Ndis, lagi nyantai aja ni.”Seperti biasa Gendhis menanyakan seputar hal-hal dasar agama yang belum dia ketahui, ku jelaskan semuanya sampai dia mengerti.[Nis, besok aku antar kamu ke kantor ya, biar aku tau kantor kamu dimana]Aku memang belum perna