Pagi yang cerah, aku telah bangun sejak subuh tadi. Setelah menunaikan sholat subuh, aku berolahraga sejenak di sekitar rumah. Cuaca di pagi ini masih cukup segar, belum tercemar oleh asap kendaraan yang semakin padat seiring berjalannya waktu.Aku bersyukur, perusahaan milik ayah yang kini mulai menunjukkan perkembangan positif. Syukur Alhamdulillah, tender yang baru saja kami kerjakan berhasil tembus. Meskipun skala tender ini tak terlalu besar, namun ini bisa menjadi batu loncatan bagi kami untuk memenangkan tender-tender lebih besar di masa depan. Sementara itu, di rumah, Ibu tampak sibuk di dapur. Sejak tak ada lagi pekerja di rumah, Ibu mengambil alih peran dalam mengurus rumah tangga serta menjaga Oma yang kini tak mampu berjalan akibat penyakitnya yang telah kronis. Memang sudah sepatutnya mengingat usia Oma yang sudah sangat tua. Aku pun segera turun ke lantai bawah, mendapati Ibu tengah membawa sarapan untuk Oma di kamarnya. Dalam kesibukan pagi ini, rasa syukur dan kehan
Tujuh hari setelah kepergian Oma, kesedihan yang mendalam masih menyelimuti hati kami, terutama aku yang baru saja sempat tinggal bersama Oma. Dia begitu menyayangiku, walaupun terkadang ia mengalami demensia, tapi kenangan tentang diriku tetap menghiasi ingatannya saat ia memegang pipiku. Aku bisa merasakan kasih sayang Oma, meskipun terlambat, namun tak mengurangi rasa cinta yang tulus padanya."Kamu Raka kan? Cucu Oma yang paling ganteng, jadi anak Sholeh dan jadi CEO yang lebih sukses dari Opa dan ayahmu," ucapnya. Ucapan itu terus terngiang di telingaku, mengingatkan betapa berharganya sosok Oma dalam hidupku. Tanpa terasa, air mataku pun mengalir, membasahi pipi yang Oma dulu sentuh dengan penuh kasih. Tiba-tiba, bahu ku direngkuh oleh seseorang. “Raka?!” Aku menoleh ke belakang, dan ternyata itu adalah Dirga yang sedang berdiri di belakangku. Sepanjang acara tahlilan Almarhumah Oma, Bu Rania dan Dirga selalu berada di sini, mereka bahkan menginap di rumah ini. Aku mengusap air
Dalam dua hari, Dirga akan mulai bekerja di kantor yang sama denganku. Sejujurnya, aku belum sempat memberitahukan kepadanya tentang keberadaan Zahra di sini. Ah, Zahra… kenapa tiba-tiba aku teringat padanya? Gadis manis yang selalu menundukkan kepala, seakan menyimpan banyak rahasia di balik kepolosan wajahnya. Tidak, ini bukan perasaan rindu; aku tidak pernah merasakan cinta selain pada Briana. Saat aku tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang. "Masuk!" Aku berseru, tidak menyangka bahwa orang yang masuk ternyata adalah Zahra. Apakah ini suatu kebetulan? Atau justru semesta sengaja menyatukan kami? "Ah, tidak," batin ku, berusaha mengesampingkan perasaan yang mulai menguasai pikiranku. "Pak, ada berkas yang harus Bapak periksa dulu sebelum ditandatangani. Saya takut ada yang keliru," ucap Zahra, seraya meletakkan berkas itu di atas meja. Aku merasa degup jantungku semakin kencang ketika hendak meraih berkas tersebut, namun tidak sengaja menyentuh tangan Zah
Hari demi hari berlalu, begitu pula bulan demi bulan, dan tak terasa Dirga kini menjadi pegawai di kantorku yang disukai banyak karyawan lain. Memang, gayanya agak selengekan, tapi sifatnya membuat orang suka berteman dengannya. Tak lama kemudian, karyawanku pun mengetahui bahwa Dirga adalah sahabat baikku. Namun, ada satu hal yang membuatku penasaran. Setiap kali bertemu dengan Zahra, ada rasa yang tak bisa aku ungkapkan. Entah mengapa, frekuensi pertemuan kami dengan Zahra semakin sering, bahkan terkadang Dirga sengaja mengajak Zahra makan siang bersamaku. Melalui informasi yang didapat oleh Dirga, katanya bisnis orang tua Zahra bangkrut dan kini orang tuanya terlilit hutang di bank. Karena itulah, dengan berat hati, Zahra harus bekerja untuk membantu orang tuanya. "Sama kamu kok dia mau cerita, Ga? Sama aku kok tidak," ungkapku dengan rasa penasaran. "Mungkin dia segan, karena kamu Bosnya, sedangkan aku kan karyawan biasa sama kayak dia," jawab Dirga. Mendengar itu, aku merasa mun
Hari ini, aku memutuskan untuk mengajak Dirga berlibur ke Puncak demi menikmati udara sejuk dan keindahan alam yang masih terjaga keasriannya. Sebelumnya, Dirga sudah berusaha mengajak Zahra, tetapi sayang, dia menolak undangan tersebut. Maka dari itu, kami hanya pergi berdua saja. Di akhir pekan, banyak kendaraan berlalu lalang menuju Puncak, mencari hiburan untuk melepaskan penat usai bekerja. Perjalanan kami pun cukup terhambat oleh kemacetan. Agar tidak merasa bosan, Dirga dan aku saling mengobrol untuk mengusir kejenuhan. "Zahra memang nggak mau ikut, Ga?" tanyaku untuk memastikan. "Mana mau dia pergi dengan laki-laki, menginap pula. Tapi kalau dipikir-pikir, Zahra itu cantik juga, ya, Ka?" ujar Dirga. Aku menoleh ke arah Dirga, dia tampak semakin tertarik pada Zahra. Namun, aku tahu sejak dulu, saat kami duduk di bangku SMA, Dirga telah menaruh perasaan terhadap Zahra. Aku hanya tak begitu menanggapinya waktu itu. Kini, Dirga bertanya kepadaku, "Eh, kamu nggak suka sama Zahra,
Hari demi hari berlalu, perasaanku semakin tak menentu. Entah mengapa, pikiran tentang Zahra terus berkelebat di kepalaku. Aku mulai sadar bahwa perasaan yang kupunya pada Zahra justru semakin dalam. "Apakah ini benar-benar cinta?" gumamku dalam hati. Di tengah kebingungan hati, malam ini ibu dan ayah mulai menanyakan soal hubunganku dengan seseorang perempuan. "Raka, ada yang ingin ibu tanyakan padamu," ungkap Ayah saat kami sedang duduk bersama di ruang keluarga. "Apa, Yah? Kok, kelihatannya serius sekali," balasku sambil memperbaiki dudukku. "Iya, ini menyangkut masa depanmu. Ibu heran, mengapa kamu sama persis seperti Ayah, sudah dewasa tapi tak pernah mau memikirkan masa depan," gerutu Ibu. Aku mengernyitkan dahiku, merasa tak pernah ada pembicaraan seperti ini sebelumnya. "Jadi?" Aku mencoba menyampaikan keseriusanku pada Ibuku. Ibu menatap Ayah sejenak, kemudian menghela nafas. "Jadi, kami rasa sudah saatnya kamu memikirkan wanita, maksudnya kamu harus mulai mempersiapka
Aku berangkat ke kantor seperti biasanya, hati terasa penasaran dengan isu pernikahan Dirga. "Apakah dia akan menikah dengan Zahra?" pikirku, keingintahuan ini menjadi duri di hati, namun takut untuk menanyakannya langsung. Sesuai kebiasaan, aku masuk ke ruanganku, dan tak lama Dirga datang menghampiri. Entah itu untuk minta tanda tangan atau membahas pekerjaan, namun kali ini ia membawa berkas. "Ini Ka, coba cek dulu," ungkap Dirga dengan wajah sumringah, mungkin karena kebahagiaan menjelang pernikahan. Sambil memeriksa berkas yang diberikan, aku tidak tahan untuk bertanya, "Kamu mau nikah ya Ga?" Dirga tersenyum, "Ho'oh, mau lamaran dulu, baru menikah." Ucapan itu terdengar sangat bahagia, membuat hati ini serasa tercabik. Sebelum Dirga meninggalkan ruangan, aku mencoba memberi dukungan, "Aku pasti datang." Namun, dalam hati, aku merasa frustrasi, mengapa tak berani menanyakan siapa calon istrinya? Apakah aku terlalu takut menghadapi kenyataan jika nanti Zahra ternyata menjadi cal
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis