Hari ini, aku memutuskan untuk mengajak Dirga berlibur ke Puncak demi menikmati udara sejuk dan keindahan alam yang masih terjaga keasriannya. Sebelumnya, Dirga sudah berusaha mengajak Zahra, tetapi sayang, dia menolak undangan tersebut. Maka dari itu, kami hanya pergi berdua saja. Di akhir pekan, banyak kendaraan berlalu lalang menuju Puncak, mencari hiburan untuk melepaskan penat usai bekerja. Perjalanan kami pun cukup terhambat oleh kemacetan. Agar tidak merasa bosan, Dirga dan aku saling mengobrol untuk mengusir kejenuhan. "Zahra memang nggak mau ikut, Ga?" tanyaku untuk memastikan. "Mana mau dia pergi dengan laki-laki, menginap pula. Tapi kalau dipikir-pikir, Zahra itu cantik juga, ya, Ka?" ujar Dirga. Aku menoleh ke arah Dirga, dia tampak semakin tertarik pada Zahra. Namun, aku tahu sejak dulu, saat kami duduk di bangku SMA, Dirga telah menaruh perasaan terhadap Zahra. Aku hanya tak begitu menanggapinya waktu itu. Kini, Dirga bertanya kepadaku, "Eh, kamu nggak suka sama Zahra,
Hari demi hari berlalu, perasaanku semakin tak menentu. Entah mengapa, pikiran tentang Zahra terus berkelebat di kepalaku. Aku mulai sadar bahwa perasaan yang kupunya pada Zahra justru semakin dalam. "Apakah ini benar-benar cinta?" gumamku dalam hati. Di tengah kebingungan hati, malam ini ibu dan ayah mulai menanyakan soal hubunganku dengan seseorang perempuan. "Raka, ada yang ingin ibu tanyakan padamu," ungkap Ayah saat kami sedang duduk bersama di ruang keluarga. "Apa, Yah? Kok, kelihatannya serius sekali," balasku sambil memperbaiki dudukku. "Iya, ini menyangkut masa depanmu. Ibu heran, mengapa kamu sama persis seperti Ayah, sudah dewasa tapi tak pernah mau memikirkan masa depan," gerutu Ibu. Aku mengernyitkan dahiku, merasa tak pernah ada pembicaraan seperti ini sebelumnya. "Jadi?" Aku mencoba menyampaikan keseriusanku pada Ibuku. Ibu menatap Ayah sejenak, kemudian menghela nafas. "Jadi, kami rasa sudah saatnya kamu memikirkan wanita, maksudnya kamu harus mulai mempersiapka
Aku berangkat ke kantor seperti biasanya, hati terasa penasaran dengan isu pernikahan Dirga. "Apakah dia akan menikah dengan Zahra?" pikirku, keingintahuan ini menjadi duri di hati, namun takut untuk menanyakannya langsung. Sesuai kebiasaan, aku masuk ke ruanganku, dan tak lama Dirga datang menghampiri. Entah itu untuk minta tanda tangan atau membahas pekerjaan, namun kali ini ia membawa berkas. "Ini Ka, coba cek dulu," ungkap Dirga dengan wajah sumringah, mungkin karena kebahagiaan menjelang pernikahan. Sambil memeriksa berkas yang diberikan, aku tidak tahan untuk bertanya, "Kamu mau nikah ya Ga?" Dirga tersenyum, "Ho'oh, mau lamaran dulu, baru menikah." Ucapan itu terdengar sangat bahagia, membuat hati ini serasa tercabik. Sebelum Dirga meninggalkan ruangan, aku mencoba memberi dukungan, "Aku pasti datang." Namun, dalam hati, aku merasa frustrasi, mengapa tak berani menanyakan siapa calon istrinya? Apakah aku terlalu takut menghadapi kenyataan jika nanti Zahra ternyata menjadi cal
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis
Kupacu motor maticku dengan kecepatan tinggi, menuju salah satu perusahaan ternama di kotaku, jalanan macet membuatku kesulitan mengendarai motorku.Hari ini aku di panggil interview kerja di salah satu perusahaan kontruksi yang cukup bonafit. Aku tak ingin keterlambatanku membuatku gagal dalam interview nanti.Di jaman sekarang cukup sulit mendapatkan pekerjaan, entah berapa banyak lamaran yang sudah kukirimkan, tapi tak satupun lamaranku diterima.Setelah beberapa bulan menunggu akhirnya dapat panggilan interview juga. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam gedung bertingkat tersebut, disana bertuliskan nama perusahaan PT. Jaya kontruksi.Kuedarkan pandang ke seluruh ruangan, banyak karyawan dan karyawati yang kelihatan berjalan tergesa-gesa, mungkin mereka takut terlambat, pikirku.Aku langsung menuju meja resepsionis, untuk menanyakan ruangan mana yang menerima Interview untuk jabatan sekretaris.Sang resepsionis yang berpenampilan menarik dan make up yang cantik, memperhatikanku dari
"Assalamu'alaikum,” aku mengucap salam ketika sudah sampai di depan pintu rumah.“Wa'alaikumsalam,” terdengar suara ibu menjawab salam.Rumah tua ini adalah rumah sederhana peninggalan ayah yang terletak di pinggiran kota ini.Ibu membukakan pintu, kucium tangan ibu takzim.“Udah pulang toh, Nduk?”“Iya Bu, interviewnya sudah selesai, Nisa langsung pulang Bu.”“Bagaimana interviewmu, apa kamu bisa menjawab semua, Nduk?”“Alhamdulillah, bisa Bu berkat do'a dan restu Ibu, semoga bisa diterima kerja gajinya lumayan, bisa buat berobat Ibu dan untuk biaya hidup kita.” Kata ku berbinar.“Amin,” sambut Ibu cepat.“Maafin Ibu yo, Nduk, Ibu gak bisa bekerja lagi terpaksa kamu bekerja kesana kemari.”“Ibu kok ngomong gitu, Ibu sudah lelah berjuang selama 20 tahunan, kini saatnya aku yang berbakti kepada ibu,” ucapku sambil memeluk Ibu.“Yo wis ... ndang kamu makan dulu Nis, udah siang Ibu masak makanan kesukaanmu orek-orek tempe.” Ibu melepaskan pelukanku.“Asiiikk ... yuk Bu kita makan bareng,
Suara adzan shubuh berkumandang aku segera bangun untuk menunaikan panggilan Rabb-ku.Kulihat disamping ibu sudah bangun dari tadi. Ahhh ibu tak pernah kesiangan bangun pagi, ibu benar-benar wanita tangguh yang hebat, jika ia sehat selalu bangun cepat untuk menyediakan sarapan ala kadarnya.Jika dulu masih berjualan ibu akan bangun jam 03:00 WIB, jika orang lain masih tidur ibu sudah sibuk di dapur, membuat adonan kue untuk dijajakan dari rumah ke rumah.“Lho, Nduk Ibu pikir belum bangun, baru aja Ibu mau membangunkanmu.”“Sudah Bu, Nisa udah bangun pas dengar suara adzan tadi.”“Yo wes ibu shalat duluan yo.” Kujawab pertanyaan ibu dengan anggukan.Sebelum shalat shubuh, aku shalat sunat qabliyah shubuh dulu kemudian shalat shubuh dilanjutkan membaca alma’surat ( zikir pagi sore) yang setiap hariku amalkan.Setelah itu kuhadiahkan surah yasin untuk ayah, semoga bisa menjadi penolong, penerang dan penyejuk di alam barzah sana.Beberapa hari yang lalu aku masih bekerja di salah satu kam
Memang CEOnya seperti apa sih? Sepertinya mereka terlalu mempermasalahkan tentang siapa sekretarisnya. Ah sudahlah, yang penting tanda tangan kontrak dulu.Aku segera bergegas menuju lantai dua ruang HRD, dengan menggunakan lift.Hari ini penampilanku lumayan rapi, rok hitam, baju blouse panjang berwarna soft purple dan jilbab lebar bermotif berwarna senada, tak lupa sepatu kets putih kesayangan walaupun sudah lusuh tapi nyaman dipakai.Aku langsung bertemu dengan Manager HRD yang mewakili perusahaan untuk menandatangani kontrak kerja, usianya sekitar 35 tahunan.“Halo nama saya Lukman, saya yang mewakili perusahaan untuk penanda tanganan kontrak kerja Anda,” ucapnya sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman.“Saya Annisa Pak.” Kutangkupkan tangan di dada, tanpa menyambut uluran tangan Pak Lukman. Ia tampak kikuk dan terpaku beberapa saat.“Boleh saya duduk Pak?” aku mencoba mencairkan suasana agar Pak Lukman merasa santai karena telah menolaknya bersalaman.“Oh ya ya Silahkan Mbak