Alhamdulillah akhirnya aku sampai di rumah, setelah seharian bekerja lelah juga, ketika hendak turun dari motor Bu Romlah datang dan menghampiri.
“Annisa sore amat pulangnya? Dari mana aja sih?”
Sepertinya Bu Romlah sengaja menungguku pulang, ia penasaran sekali dengan hidupku, dulu ketika aku mulai kuliah saja dia mengejekku dan ibu.
“Orang miskin gak usah banyak gaya lu, Nis, pake mau kuliah segala, udah cukup makan aja syukur.”
Yah begitulah Bu Romlah, tapi aku tetap menghormatinya, karena dia lebih tua dariku anggap saja ucapanya sebagai motivasi supaya bisa hidup lebih baik lagi.
“Pulang kerja Bu Romlah, O ya, ada apa Bu kok sampe nyamperin Nisa ke rumah?”
“Kagak Nis, emang lu kerja dimana sih?" tanya Bu Romlah penasaran.
“Saya kerja di kantor Bu Romlah.”
“Em beneran lu kerja di kantor? Emang jabatan lu apa?”tanyanya lagi.
“Iya Bu, masa Nisa boong.”
“Jabatan nya apa? trus gajinya berapa?” Bu Romlah terus bertanya tentang jabatanku.
“Cuma sekretaris biasa, Bu, udah ya Bu Romlah Nisa mau masuk dulu hampir magrib,” aku segera mengakhiri percakapanku dengan Bu Romlah.
Sebelum dia berkomentar lagi, aku segera masuk ke dalam.
"Baru jadi sekretaris, udah belagu lu, Nis," kudengar sekilas Bu Romlah bersungut-sungut.
Ibu sudah menungguku dari tadi, segera kucium tangan ibu, aku tak mau menceritakan apa yang terjadi hari ini di kantor, takutnya ibu kepikiran sehingga lambungnya kumat.
Setelah istirahat sebentar kemudian aku mandi supaya tubuh dan pikiranku fresh kembali, dilanjutkan dengan shalat magrib menunaikan kewajiban yang pertama dihisab di akhirat nanti.
Esoknya aku ke kantor seperti biasa, huuuft kuhembuskan nafasku kuat, bismillah ... semoga hari ini berjalan dengan baik.
Setelah absen, aku segera naik ke lantai empat, kelihatannya Pak Damar belum datang.
Aku sedang menekuni laptopku dengan serius.
Tap ...
Tap ...
Tap...
Terdengar sepatu pantofel mahal melangkah berjalan ke arahku, segera kuangkat wajahku, untuk memastikan siapa yang datang, Aku langsung berdiri sebagaimana menyambut kedatangan atasan.
“Pagi Pak,”sapaku pagi ini, beliau langsung masuk ke dalam tanpa melihatku.
Lebih baik begini, mungkin dia juga menjaga pandangannya dari yang bukan mahram, mencoba berpikir positif saja.
“Nis ... aku mau nganterin hasil desain proyek bangunan ini ke Pak Damar,” lapor Angga kepadaku.
Angga adalah salah satu karyawan Drafter yang bertanggung jawab dalam penggambaran proyek yang akan dikerjakan dan yang sudah selesai dikerjakan.
“Ya udah masuk aja, Pak Damar di dalam kok,” jawabku santai.
“Telpon dulu, kira-kira dia sibuk gak.”
“Emang gak bisa berhenti bekerja sebentar gitu, untuk memeriksa laporan dari karyawannya,” protesku.
“Yah begitulah beliau, kalau sedang sibuk gak mau di ganggu, pernah salah satu karyawan harus menunggu sampai lama gara-gara pak Bos sibuk, kecuali kalau laporannya mendadak harus dikerjakan”
“Emm gitu ya, kejam amat.”
“Itulah gunanya sekretaris, menghubungkan antara Pak Bos yang kayak es batu dengan karyawanya,” ucapnya sambil tertawa.
“Emang kamu bener-bener gak tau kalo Pak Bos kita kayak gitu?”
“Enggak,” aku menggeleng.
“Ya udah telpon gih,” ucap Angga sembari menungguku menghubungi Pak Damar.
Tut ... Tut ... Tut ...
[Ya]
[Pak, Angga mau ketemu bapak, dari bagian Drafter, kira-kira Ba--]
[Suruh masuk aja!]
Telpon mati.
Haa? Aku melongo, segitunya belum juga selesai ngomong, langsung dipotong dan dimatikan.
“Pak Damar bilang masuk aja, Ngga.” Berarti Bos beginilah yang harus ku hadapi sehari-hari, sabar ya Nis.
Aku bergegas untuk turun ke bawah shalat Zuhur dan makan siang bersama Andina dan Cellin.
Setelah itu aku kembali lagi ke ruangan, apa pak Damar gak makan siang ya kok gak keluar-keluar? workaholic banget kelihatannya, mungkin saja delevery makanan pikirku, jaman sekarang kan sudah praktis.
Telepon berdering, kuangkat [Segera ke ruangan saya] Ya Rabb jika mendengar panggilan dari Pak Damar rasanya seperti akan maju ke medan perang saja.
Aku langsung masuk.“ada apa pak?”tanyaku.
“Tolong kamu buat laporan proyek yang sedang dikerjakan oleh Angga tadi, laporan pembangunan kepada Pemda setempat, Polres, dan Lurah”
“Baik Pak,”jawabku dan segera berbalik ke arah pintu keluar.
“Oh iya, untuk datanya hubungi Angga.” Kuputar kembali tubuhku menghadap Pak Damar.
“Baik Pak.”
Aku segera keluar ruangan ketika hendak menarik handle pintu, “Saya butuh secepatnya," sambungnya lagi.
“Yang hard copy Bapak butuh jugakan pak?” tanyaku agak kesal.
“Ya,”jawabnya singkat, padat, dan jelas.
Apa-apa harus cepat memangnya aku robot, gak ada apa toleransi sedikit, aku kan juga manusia. Astaghfirullah ... kenapa aku ngedumel. Ikhlas Nis biar berkah.
Azan ashar terdengar, aku segera turun ke mushola untuk menunaikan shalat ashar, setelah shalat kubaca Al Fatihah, setelah sebelumnya membaca istighfar dan sholawat Nabi “ayah hanya alfatihah yang dapat kuhadiahkan untuk ayah di waktu ashar ini.”lirihku.
Aku bergegas kembali ke ruanganku untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
Iseng kubuka handphone, yang kutinggalkan di dalam laci meja.
Satu panggilan dari nomor tak dikenal dan satu pesan ‘klik' kubuka pesan dari nomor tak dikenal itu.
[Apa pekerjaanmu sudah selesai? Kenapa kamu pergi saat jam kerja?]
Pak Damar? Ya siapa lagi kalau bukan dia, sepertinya dari tadi ia menghubungiku melalui pesawat telepon, karena tak kuangkat dia beralih menghubungiku melalui nomor handphoneku.
Tok..tok..tok kuberanikan diri menemui Pak Damar, aku hanya ingin menjelaskan bahwa aku shalat ashar ke mushola.
“Masuk”
Pak Damar tetap menekuni laptopnya sesaat, kemudian ia mengangkat kepalanya dan menatap tajam ke arahku, ku tundukkan pandanganku.
Lalu ia merenggangkan dasinya dan duduk bersandar ke sandaran kursi.
“Sudah selesai?”
“Be-belum Pak.”
“Kalau belum selesai, kenapa kamu kelayapan dijam kantor?”
Ya Allah tak adakah kata- kata yang lebih enak didengar, seolah-olah aku ini perempuan gak benar yang suka keluyuran.
“Saya menyuruhmu untuk segera menyelesaikan laporan yang saya berikan
” ujarnya, tumben banyak ngomong si Bos.
“Ini malah di tinggal begitu saja, dengan laptop terbuka.”Apa? dia sampai mengecek ke mejaku?
Kutarik nafasku, huuftt ... tenang Nisa, jelaskan dengan tenang.
“Saya minta maaf Pak Damar, jika saya salah telah meninggalkan pekerjaan yang Bapak berikan begitu saja, tapi salahkah saya jika menunaikan kewajiban saya terlebih dahulu sebagai seorang muslim?”
Pak Damar terdiam dan membuang pandangannya dariku.
Aku rasa dia paham apa maksud dari perkataan ku, bahwa aku cuma shalat ashar sebentar, rasanya tak perlu kujelaskan lagi secara rinci.
“Baiklah, besok sore kita meeting dengan klien, persiapkan berkasnya besok secepatnya.”
“Kamu boleh keluar,” lanjutnya.
Aku segera keluar tanpa mengucapkan satu patah katapun.
***
Hari ini aku datang lebih pagi, karena akan mempersiapkan berkas-berkas meeting Pak Bos dengan kliennya. Untung saja laporan kepada Pemda, Kepolisian, dan Lurah tetang keberadaan proyek yang dikerjakan Angga selesai kemarin sore, itupun ketika kantor sudah mulai sepi. Pak Damar menunggu laporan di ruangan sampai aku selesai mengerjakannya, kenapa dia tidak menyuruhku mengerjakan besok saja atau dikerjakan di rumah. Benar-benar Bos yang satu ini membuat kesabaranku di uji. Ketika akan masuk ke kantor, aku berpapasan dengan Andina dan Cellin, mereka adalah staff bagian akuntansi yang mengelola keuangan dan menyusun buku kas, laporan keuangan berkala, bertanggung jawab terhadap kas proyek dan lain-lain. “Nisa, kamu pulang jam berapa kemarin?” Cellin bertanya. “Hampir magrib terpaksa aku shalat magrib di mushola dulu kemarin, Pak Damar bilang laporannya harus siap sore itu juga, terpaksa deh aku pulang telat.”
Aku melihat ke arah Lisa dan tanpa sengaja Lisa juga menatapku, dia menunjuk ke arahku dan Pak Damar secara bergantian dengan tatapan heran dan tak percaya, tentunya setelah Pak Damar berbalik arah ke pintu keluar. “Sekretaris???” Lisa bertanya setengah berbisik ke arahku seperti tak percaya. Ku tinggalkan Lisa yang terpaku dengan wajah melongonya itu, segera kususul Pak Damar dengan cepat. Mobil Camry mewah beserta supir pribadi sudah menunggu di depan kantor, Pak Damar langsung masuk dan duduk di belakang. Aku segera membuka pintu depan mobil dan berencana untuk duduk di dekat supir saja.
Matahari pagi bersinar dengan garangnya, padahal baru pukul 7 pagi sudah membuatku gerah, rasanya aku ingin segera cepat-cepat mengguyurkan tubuhku dengan air. Bumi ini semakin panas saja, akibat pemanasan global yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Efek rumah kaca, karbondioksida dari asap kendaraan dan pabrik, pembakaran hutan, pemakaian pendingin ruangan menyebabkan lapisan ozon semakin menipis sehingga bumi kita menjadi semakin panas, semua itu karena ulah manusia yang tidak mau menjaga alam ini bahkan merusaknya. Aku segera mandi, hari minggu ini aku bisa bersantai di rumah bersama ibu dan merawat bunga-bungaku yang sudah tak terawat lagi karena terlalu sibuk bekerja. “Nduk ... tolong ke warung Teh Diah, belikan keperluan dapur sudah pada habis,” titah ibu. “Baik Bu, Nisa pakai jilbab dulu.” Ku kenakan jilbab instan lebarku, tubuhku terasa segar setela
Hari berlalu tak terasa aku sudah terbiasa dengan sikap dinginnya Pak Damar, mengerjakan tugas dengan cepat, tak pernah basa-basi, irit bicara, tegas dan harus tepat waktu.Asal dia menghargai waktu shalatku saja sudah cukup, namanya juga jadi bawahan ya harus ikut semua perkataan bosnya dalam hal pekerjaan.Ketika sedang makan siang di kantin bersama Andina dan Cellin. Pak Lukman menghampiri kami yang sedang makan siang.“Assalamu’alaikum, Nisa,” ucapnya sambil tersenyum.Aku, Cellin dan Andina berpandangan heran.“Wa’alaikumsalam,” sahutku.“Kok ngucapin salamnya ke Nisa doang Pak?” tanya Andina.“Anu ... cuma mau nanyak alamat rumahnya Nisa aja d
Cukup lama juga wanita indo tersebut berada di ruangan Pak Damar, tak lama kemudian ia keluar. “Heh Mbak, lain kali jangan larang-larang saya untuk ketemu Pak Damar lagi, saya ini calon istrinya Pak Damar Hardana Wijaya, calon istri CEO,” wanita berparas Indo tersebut menjelaskan kepada ku. Sejenak aku terpaku mendengar ucapannya. “Baik Bu,” ucapku singkat. Aduh, aduh, belum juga jadi istri udah begitu, bagaimana kalau sudah jadi istrinya nanti. Aku masuk ke ruangan Pak Damar setelah ia menghubungiku melalui sambungan telepon, seperti biasa ia langsung ke inti tugasnya tanpa basa basi.
Hari ini aku segera mengerjakan laporan berkala proyek yang sedang dikerjakan oleh perusahaan.Tiba-tiba Pak Lukman datang menghampiriku, “Nisa CEO yang dulu dari perusahaan ini datang, segera sambut kedatangan beliau.”“Baik Pak.”Tak lama kemudian nampak rombongan mereka, ada General manager (manager umum) Pak Heri yang sudah cukup berpengalaman, Manager fungsional Bu Indah dan manager HRD Pak Lukman, mereka dulu yang mengintervieuw aku waktu itu, sepertinya mereka akan bertemu Pak Damar.Aku segera berdiri, menyambut kedatangan mereka.Tampak seorang pria berkacamata yang sudah cukup berumur tapi masih terlihat kharismatik dan berwibawa mengenakan jas dan sepatu pantofel.Di sampingnya berjalan seorang ibu-ibu paruh baya tapi masih terlihat anggun dan cantik.Beliau memakai kebaya dan sangg
Hari ini, hari libur aku janjian dengan Gendhis ia mengajakku makan, mungkin sebagai balasan karena aku sudah menemukan dan mengembalikan dompetnya, dan katanya lagi dia mau belajar agama, tentu saja aku tak menolaknya.Gendhis menjemputku ke rumah dengan mobil mewahnya, bahkan ia mampir sekedar untuk menyapa Ibu, aku suka pribadi Gendhis yang ramah, rendah hati dan lembut. Aku juga sudah menceritakan kepada Ibu tentang Gendhis.“Nis ... Kenapa Ibu gak sekalian di ajak aja,“ ucapnya menyarankan.“Jangan to, Nduk, Ibu gak biasa pergi ke tempat-tempat seperti itu, nanti bikin malu kalian aja, Ibu dibungkusi aja nanti,” ucap Ibu berkelekar. Gendhis tertawa.“Ya sudah Bu kami pamit dulu, assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam."
POV. Damar“Hai Damar, aku disuruh mamamu mengantarkan makan siang, katanya kamu sering lupa makan kalau lagi kerja.”Ucapnya lembut sembari meletakkan makanan di atas meja di dekat sofa.Aku tak menjawab tetap fokus pada laptopku.“Damar kamu kok gitu sih, aku tuh kemari karena perhatian sama kamu lho Damar, butik sampai kutinggalin demi nganterin makanan ke kamu.”Adelia agresif sekali mendekatiku, bahkan kebaikannya seperti dibuat-buat, sungguh aku tak suka, kalau tidak mengingat dia anak teman dari mamaku, mungkin sudah kuusir dari sini.“Ya nanti saya makan, masih kenyang.”“Nah gitu dong, itu baru namanya calon suami yang baik,”ujar Adelia.“Adelia kita tidak punya hubungan apa-apa, hany