Share

7 - Davae Hernandez

Adaline sudah menduga bahwa orangtuanya akan sampai di rumah tak sesuai akan janji yang sudah dibuat. Ia pun dapat memaklumi karena pertemuan dengan klien besar tetap paling diutamakan demi hubungan baik di masa depan dan juga jangka panjang bagi bisnis jika masih menginginkan kejayaan.

Tak hanya orangtuanya saja, namun ia dan sang kakak sudah mulai menjalin relasi baik nan akrab dengan mitra-mitra perusahaan. Ya, hanya sebatas hubungan kerja. Ia sangat menghindari perjodohan-perjodohan yang biasa dilakukan oleh kalangan pebisnis.

"Kau jangan berkelid lagi. Paham, Adikku? Jangan membohongiku. Kau tahu jika aku tidak suka. Sudah mengerti belum?"

Adaline menyeringai. "Kenapa aku berkelid? Memang ada masalah apa?" balasnya santai.

"Aku tidak paham dengan ucapanmu, Kakak. Kau bisa mengatakan tanpa ada kode? Langsung ke inti."

Sembari menunggu ayah dan ibunya datang, Adaline memanfaatkan waktu luang untuk makan bersama sang kakak, Davae. Kegiatan yang jarang dilakukan akibat tidak bisa sering berkumpul di rumah orangtua mereka. Terutama, sejak kesibukan yang tak bisa ditinggalkan selalu menjadi prioritas.

Beragam makanan tersaji di atas meja. Ia menyukai semuanya. Namun, tak akan bisa dihabiskan karena ia sedang menjalani program diet demi tubuh yang lebih bagus. Hanya akan disantap beberapa sendok saja.

"Aku sudah diberitahu oleh Miss Geovant. Kau harus menjelaskan dengan detail. Kau tidak akan bisa berkelid lagi. Dan, kau tidak bisa menyembunyikan dariku, Adaline."

Adaline langsung berhenti mengunyah dan menelan salada tengah dimakannya. "Kau ingin aku mengatakan apa lagi? Bukankah Miss Geovant sudah menjelaskan juga?"

"Apa perbedaannya? Aku sangat yakin jika Miss Geovant mengatakan yang sebenarnya kepadamu tanpa ada bumbu kebohongan. Kau memintaku menjelaskan kembali. Kau terlalu cerewet, Kakakku. Jangan begitu."

Seringaian pada wajah semakin ditunjukkan oleh Adaline ke sang kakak. "Jadi, apa lagi yang kau ragukan? Jangan memperumit. Pekerjaan di perusahaan sudah susah."

"Aku ingin mendengar dari versimu. Kau jangan membuatku kesal dulu, Adaline. Aku akan luapkan nanti, saat kau sudah selesai memberitahukanku semua rencanamu. Kau selalu saja suka memancingku diawal."

Davae menajamkan tatapan, menunjukkan jika tak suka akan reaksi sang adik. "Apakah sulit untukmu menceritakan taktikmu?"

Adaline memeletkan lidah seraya tertawa. Kepalanya lalu digeleng-gelengkan dalam gerakan ringan. Ditatap sang kakak dengan sorot semakin jahil. Ia pun memang sengaja menunjukkan balasan yang demikian.

"Rencanaku? Tidak akan aku beritahukan kepadamu selama kau masih dapat menjadi  saingan beratku dalam berbisnis." Adaline membalas dengan nada suara ringan. Tetapi, setiap kata diberikan penekanan olehnya.

"Ckck! Kau adalah adikku. Kau tidak akan mungkin menjadi pesaingku. Tapi, aku tetap kandidat kuat sebagai pengganti Dad. Kau lupa jika aku adalah anak tertua Mom dan Dad kita? Kau jangan melupakan fakta itu."

Adaline mengangguk-anggukkan kepalanya dengan santai. Kontras akan seringaian di wajah yang dipamerkan. "Iya, aku tidak lupa kau adalah saudara  laki-lakiku satu-satunya. Kandidat utama pewaris."

"Kadang aku iri kenapa aku tidak terlahir menjadi pria saja sebelum kau ada, ya. Jadi, aku akan berhak atas status pewaris utama. Hahhh, tidak adil bagiku semua ini. Tidak sesuai dengan harapanku."

Adaline mengembuskan napas panjang seraya delikan mata diarahkan pada sang kakak yang tertawa senang. Sengaja memang dilakukan saudaranya itu. Cara ampuh untuk membuatnya tambah kesal. Davae berbakat.

"Jika kau percaya Tuhan, kau tidak akan mengeluh, Adikku. Lagipula, kau sudah mendapatkan kehidupan dan karier yang bagus di perusahaan. Kau harusnya bisa bersyukur. Kau tidak boleh banyak protes."

Adaline mengangguk malas. "Baiklah, baiklah, Kakakku. Kau memang sangat bijak. Aku harus bersyukur."

Setelah ucapannya terselesaikan, maka tawa sang kakak pun menggelegar. Sarat ejekan. Menyebalkan. Tetapi, percayalah jika dirinya tidak akan bisa marah lama. Pasti hilang selepas adu mulut dengan Davae berakhir.

Besok ketika bertemu sang kakak kembali, maka pasti ada pembahasan baru yang menyebabkan mereka harus saling beradu beragumen sengit. Namun, tidak akan ada dendam diakhir. Terus berulang seperti itu seterusnya.

"Kau juga punya satu keuntungan baru, Adikku."

Alis kanan Adaline terangkat. Tak bisa memahami apa tengah dimaksudkan sang kakak. "Keuntungan apa?"

"Mendapatkan staf dan kekasih yang tampan. Kau kira aku tidak tahu kedekatanmu dengan Mr. Genon hanya sekadar rekan kerja. Kalian pasti sudah tidur bersama bukan? Wah, adikku ini sudah bukan anak kecil lagi."

Adaline merasakan kedua pipinya memanas. Sebagian ucapan saudara sulungnya benar. Namun, ia tak sampai terpikir jika sang kakak menduga bahwa ia dan Titans sudah bercinta. Entah bagaimana cara Davae dalam menyimpulkan. Ia menjadi penasaran, sekarang.

Dipilih memamerkan ekspresi galak. "Kau jangan bicara sembarangan! Kami belum melakukan apa-apa."

"Haha. Oke, oke, aku percaya. Kau mau tidur dengan dia atau belum, bukanlah urusanku. Tapi, aku harap kau bisa menjaga dirimu, Adikku. Sebab, aku yakin kau secepatnya akan jatuh pada pesona Mr. Genon."

Adaline mengangguk singkat. "Baiklah, Kakakku."

"Ah, apa kau tidak berminat mengenalkan Mr. Genon sebagai kekasih? Dad dan Mom cemas, mengira jika kau tidak normal. Tidak tertarik kepada pria. Lebih baik, kau manfaatkan Mr. Genon menjadi kekasihmu."

Adaline tersenyum licik. "Akan aku pertimbangkan idemu, Kakakku. Mungkin menyenangkan juga kalau aku memyusulmu menikah. Aku ingin segera hamil seperti istrimu, Alena," jawabnya sembari tertawa senang.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status