Share

SANTET
SANTET
Penulis: Nana Shamsy

BAB 1

SANTET  CE-LA-NA  DALAM 1

PINDAHKAN JEMURAN KE DALAM RUMAH SEBELUM MALAM, TERUTAMA PAKAIAN DALAM!

                              *** NANA SHAMSY***

"Maaf Mbak Darsih, bukan saya mau menolak lamaran Galih, tapi saya sudah punya calon suami," jawab Kemuning.

"Ning, beneran kamu sudah punya calon?" tanya Aji kepada adiknya.

Kemuning menoleh mengangguk kepada kakaknya, "Iya, Mas.  Arkan--yang pernah main ke sini dua bulan yang lalu, Mas masih ingat, kan?"

Aji mencoba mengingat, kemudian ia mengangguk. Dua bulan yang lalu seorang pemuda tampan dengan kepala plontos datang ke rumahnya. Setau Aji pemuda itu akan berangkat menempuh pendidikan militer sebagai calon TNI.

"Arkan calon TNI bukan?" tanya Aji memastikan. Darsih yang mendengar kata TNI sedikit kaget, ia melirik Galih-adiknya. Pun juga Galih, tiba-tiba saja ia merasa minder. Nining pasti lebih memilih pemuda itu jika dibandingkan dirinya.

"Kita pulang saja, Mbak," ajak Galih tiba-tiba membuat Kemuning semakin tak enak hati.

"Galih ... Aku nggak bermaksud--"

"Nggak papa Ning. Aku tahu, aku ini apa, kerjaanku cuma kuli dan serabutan. Kamu lebih pantas dengan Arkan, masa depan kamu pasti terjamin jika bersamanya," tekan Galih.

Aji yang mendengar perkataan Galih tak tinggal diam. Ia membela adiknya. Kemuning dan dirinya bukan tipe orang  seperti itu, memandang seseorang dari status sosialnya. Bagi Aji, calon suami adiknya haruslah pemuda baik-baik yang mengerti tentang agama dan rajin bekerja, sopan santun dan ber-atitude, itu saja sudah cukup.

"Bukan begitu Gal, Nining hanya-" Aji mencoba memberi penjelasan, tetapi Galih memotong ucapan Aji.

"Sudahlah Mas Aji, nggak papa kok. Lagian ini salahku, aku terlalu lancang melamar Nining. Dia cantik, kulitnya putih bersih, baik, pintar dan saleha. Harusnya aku sadar diri dan bercermin terlebih dahulu. Mbak, ayo kita pulang!" Galih bangkit dari duduknya, diikuti Nining dan Aji.

"Baiklah ayo kita pulang, semua sudah jelas, Nining menolak lamaranmu karena kita miskin! Tapi lihat saja nanti, kupastikan kalian akan  menyesal karena sudah menolak lamaran ini. Roda kehidupan akan berputar, nggak selamanya yang miskin bakal terus miskin! Ingat itu!" tekan Darsih marah.

"Bukan begitu, Mbak."

"Halah, coba saja kami kaya, pasti kamu akan terima lamaran adikku, nggak usah munafik," cecar Darsih makin menjadi.

"Mbak Darsih tolong dijaga ucapannya. Nining sudah menjelaskan alasannya."

"Ya, sudah. Kita lihat saja nanti, siapa yang bakal menyesal." Darsih menghentak kaki kemudian pergi tanpa mengucap salam.

"Mbak tunggu!" Galih bingung harus berbuat apa, bukan seperti ini yang ia harapkan. Meski ia memang kecewa akan jawaban Nining. Akan tetapi ia juga tak mau memaksa Nining, apalagi sampai membuat Nining membencinya.

"Mas Aji, Ning, aku minta maaf atas sikap Mbak Darsih. Aku permisi dulu assalamualaikum. Mbak tunggu!" Galih pun pergi mengejar kakaknya yang sudah semakin jauh.

"Mas." Kemuning memegang lengan tangan kakaknya dengan  perasaan kalut, ia kawatir kemarahan Darsih akan berdampak buruk baginya.

"Sudahlah nggak papa, toh kita sudah bicara baik-baik kalau mereka tersinggung itu urusan mereka," kata Aji. Meskipun begitu Nining tetap saja merasa tak enak hati. Galih adalah pemuda yang baik di mata Nining. Sayangnya Nining sudah punya kekasih, selama ini Nining memang tidak mengumbar hubungannya dengan Arkan, ia ingin hanya dia, Arkan, dan Allah saja yang tahu. Satu lagi, Masyita atau Ita sepupu Nining.

Semenjak ke dua orang tua Nining meninggal, Ita selalu menjadi tempat ternyamannya dalam berbagi cerita selain Aji-kakaknya. Di tambah usia mereka yang seumuran, juga sekolah mereka yang selalu sama. Kini mereka sudah lulus sekolah, Ita bekerja di sebuah minimarket dan akan pulang seminggu sekali, sedangkan Nining memilih menjadi guru ngaji anak-anak di kampungnya dengan biaya seikhlasnya. Ia akan mengajar ngaji dari asar sampai menjelang magrib di mushola tak jauh dari rumahnya.

***

Malamnya Nining merasa sangat gelisah, ia tidak bisa memejamkan mata memikirkan kata-kata terakhir Darsih yang seakan memberikan ancaman. Ia sangat takut, keputusannya sudah melukai hati Darsih dan Galih.

"Ya, Allah." Nining meraup wajahnya, ia menghela napas dalam sebelum akhirnya memutuskan untuk salat malam dan berdzikir saja untuk menenangkan hatinya. Meminta maaf kepada Allah SWT jikalau dia tanpa sengaja berbuat salah.

Pagi harinya, ketika ia  berpapasan dengan Darsih di jalan, ia mencoba menyapa Darsih. Akan tetapi, Darsih melengos begitu saja, seakan tidak mau mengenal dirinya.

"Mas tadi saat aku ketemu Mbak Darsih, aku nyapa dia, tapi Mbak Darsih nggak mau menjawab sapaanku, Mas," cerita Nining sambil mengeluarkan sayuran yang baru saja ia beli dari kantong plastik. Ia baru saja pulang dari belanja, selanjutnya menyiapkan sarapan untuk kakaknya karena kakak iparnya sedang tidak ada di rumah. Bagi Nining--Aji adalah Ibu sekaligus Bapak, selama ini ia-lah yang merawat  dan memenuhi segala kebutuhannya

Aji menghela nafas berat lalu meletakkan cangkir kopi di meja, " Biarin aja Ning, yang terpenting kita nggak bermaksud jahat pada mereka. Kita sabar  aja Insya Allah semuanya akan baik-baik aja, seiring dengan berjalannya waktu semuanya akan kembali seperti dulu. Mungkin sekarang ini Mbak Darsih masih merasa sakit hati," kata Aji memberi penjelasan.

"Iya, Mas."

***

"Jadi, Galih melamar kamu, Ning?" seru Ita yang baru saja pulang. Biasa, ketika Ita pulang Nining akan menceritakan hal apapun padanya, seperti sore ini. Nining sudah tak sabar berbagi cerita dengannya.

"Iya, tapi aku, kan sudah punya Arkan, aku jadi nggak enak dengan Galih. Aku yakin dia pasti kecewa berat padaku,"  jawab Nining. Ia merangkul boneka sapi milik Ita dan merebahkan diri di sebelahnya.

"Tenang, Galih itu kan, baik banget. Aku yakin, dia hanya marah sementara waktu. Kita kenal Galih dari kecil kan. Mana bisa Galih marah," jawab Ita.

"Kamu benar, Ta, tapi kita tak pernah tahu bagaimana dalamnya hati seseorang, kan?" Nining mengubah posisi miring ke arah Ita.

"Ini hanya proses pendewasaan diri. Galih pasti bisa menerima," kata Ita dengan senyum khasnya. "Maskeran yuks," ajak Ita. Ia bangkit meraih tas nya, lalu melempar bungkus masker kepada Nining.

"Thank U," jawab Nining. Kedua saudara itu lantas menghabiskan waktu bersama. Malam itu Nining memutuskan untuk tidur di rumah Ita. Rumah mereka memang berdampingan, oleh sebab itu mereka menjadi begitu dekat sedari kecil.

Ita hanya satu hari di rumah, karena hari Senin ia harus kembali bekerja, jadi Minggu sore Ita sudah pergi lagi. Nining merasa kesepian di rumah, Yasmin--kakak iparnya masih belum kembali karena bapaknya sedang sakit. Ia akan di rumah orang tuanya sampai keadaan orang tuanya membaik.

Dua Minggu berlalu semenjak lamaran itu datang hampir setiap hari Nining tidak bisa tidur dengan nyanyak. Entah mengapa rasanya ia begitu gelisah.

***

"Ini Ki." Seorang wanita memberikan benda berupa ce_la_na dalam Nining sebagai syarat utama kepada seorang dukun. Ce_la_na dalam tersebut akan digunakan sebagai media santet. Santet yang sangat kejam. Si korban akan dibuat merasakan naf-su yang mengebu-ngebu kepada lawan jenis. Naf-su yang tak bisa ditahan dengan cara apapun.

Kamis wage, tepat di hari kelahiran Nining, namanya disebut diikat dengan mantra jahat. Kemudian santet itu ditanam pada sebuah tempat yang sulit ditemukan agar tak ada seorang pun yang bisa membebaskannya kecuali sang dukun. Untuk melakukan ritual ini Sang Dukun pun telah melakukan puasa tujuh hari tujuh malam.

"Apakah sudah selesai, Ki?"

"Kamu bisa buktikan esok hari, jawab Sang Dukun." Matanya liar menatap wanita yang berada di hadapannya.Sekarang saatnya ia meminta bayaran yang dijanjikan oleh perempuan itu, karena ia tak sanggub membayar Ki Darma. Maka ia dengan rela memberikan tubuhnya kepada dukun itu.

***

Angin berhembus menghempas wajah Nining yang tengah tertidur lelap. Tangan-tangan nakal menge-ra-yangi dirinya, menyentuh setiap daerah terlarang membuatnya hilang kendali. Napas Nining tersenggal-senggal. Tanpa sadar de-sa-han kecil keluar dari bibir manisnya.

Sesosok laki-laki tiba-tiba saja muncul di pelupuk matanya. Nining menikmati setiap sen-tu-han dan rang-sang-an yang diberikan lelaki tersebut.

"Ah." Nining mengigit ujung bibirnya. Tubuhnya mengenang, ke dua tangannya mengebal kain sprei hingga tertarik berantakan.

"Ning." Suara lelaki itu mampu membuat bulu halus di seluruh tubuh Nining meremang.

"Mas." Nining memeluk lelaki tersebut. Melilitkan tangannya di punggung dan di leher lelaki tersebut.

"Nining."

"Iya, Mas."

"Aku mencintamu." Bibir, dagu, tengkuk leher, sampai gundukan kembar Nining basah tak luput dari sentuhan hangat bibir lelaki tersebut.

Tubuh Nining meregang, mengeliat, dan menari dalam buaian semu. Begitu berada di puncaknya lelaki itu menggodanya dengan meninggalkan Nining yang tengah hanyut dalam lautan naf-su begitu saja.

"Kejar aku, Ning," bisik lelaki itu di daun telinga Nining. Ia lantas melepaskan pelukan Nining.

"Mas."

"Kejar aku."

Nining mengejarnya, seperti permainan dua bocah di dalam kamar. Nining berlarian mencoba meraih lelaki itu. Mereka tertawa terbahak bersama. Hingga sebuah tangan kekar berhasil mencekal pergelangan tangan Nining. Bersamaan dengan itu lelaki tadi menghilang.

"Lepaaaaas!" Nining memberontak hebat.

"Astaqfirullahaladzim, Ning. Eling, Dik! Istiqfar!" Aji membungkus tubuh adiknya yang tanpa sehelai kain pun menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia memeluk Kemuning dengan erat setelah berhasil mengejarnya sampai di ujung jalan, lalu menggiringnya pulang tanpa peduli dengan tatapan sinis para tetangga.

Adikku tidak gila!

***

BERSAMBUNG

                               

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mario Seixas
Naudzubillahiminzalik semoga kita semua di jauhkan dari sifatnya iblis .
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status