Share

BAB 3

SANTET  CE  LA  NA  DALAM 3

PINDAHKAN JEMURAN KE DALAM RUMAH SEBELUM MALAM, TERUTAMA PAKAIAN DALAM!

                              ***Nana Shamsy***

Bukan Darsih jahat. Memang ada sedikit trauma dalam dirinya sehingga membuat hatinya menjadi begitu keras. Darsih pernah mengalami penolakan yang begitu menyakitkan sehingga dirinya memutuskan untuk tidak menikah. Darsih hanya tak ingin Galih mengalami hal yang sama, oleh sebab itu Darsih berusaha keras untuk mengubah nasib keluarganya hingga tak memiliki waktu untuk istirahat. Darsih berjualan gorengan mulai dari pukul empat sore sampai larut malam. Ibunya sudah tiada, sedangkan Bapaknya hanya bisa berbaring lemah di tempat tidur karena penyakit liver yang di deritanya dua tahun terakhir ini.

                                          ***KBM***

"Nduk, ayo makan." Sumini membawa sepiring nasi, ia duduk di tepi ranjang Nining.

Kerung mata Nining mulai menghitam, wajah ayunya berubah menjadi kusut, rambut panjangnya pun awut-awutan.

Sumini meletakkan piring di atas nakas. Ia mengambil sisir, lalu mulai merapikan rambut keponakannya itu.

"Dulu, Bude sering nyisirin rambut Ibumu. Ibumu itu manja banget ke Bude. Nyisir rambut aja harus Bude yang nyisirin. Eh, sekarang anaknya juga." Sumini mulai bercerita masa kecilnya dulu dengan mata berkaca-kaca.

"Ada apa, Nduk? Coba cerita ke Bude, apa yang kamu rasakan? Apa ada yang membisikkan sesuatu di teligamu, hem?" Sumini menatap mata keponakannya yang sedikit sayu. Nining hanya menatap kosong.

Tak mendapatkan jawaban, Sumini pun menyerah. "Ya, sudah kalau kamu nggak mau bicara. yang penting sekarang makan yo, Nduk. Bismilah."  Sumini menyendok nasi, lalu menyodorkannya di depan mulut Nining yang terkunci rapat.

"Ayo, makan, Nduk?" kata Sumini lagi. Bola mata Nining bergerak melirik Sum. Sum pun memasang senyum kecil, sambil terus berbisik di dalam hati. Ayo, makan.

Akhirnya Nining mau membuka mulutnya juga. Betapa lega hati Sumini. Sesuap demi sesuap nasi akhirnya masuk ke dalam perut Nining yang sudah kosong sejak tadi pagi.

Aji yang mengintip dari celah pintu kamar Nining pun bisa bernapas lega melihat hal itu. Ia kemudian menutup pintu kamar Nining kembali. Lagi-lagi bulir bening menetes dari sudut matanya.

"Mas." Yasmin mengusap punggung suaminya. "Sabar," imbuhnya. Yasmin menuntun Aji ke ruang tamu. Di sana sudah ada Danang--Pakdenya--suami Sumi. Mereka berkumpul menunggu Mbah Harjo yang katanya mau datang sore ini.

"Siapa ya, kira-kira yang berbuat seperti ini kepada Nining?" tanya Danang membuka percakapan.

"Nggak tahu Pakde, tapi siapapun dia, semoga gusti Allah membalas perbuatannya melebihi ini," ujar Aji marah. Ia mengepal tangannya dengan kuat.

"Mas." Lagi-lagi Yasmin berusaha menenangkan emosi suaminya.

"Tentu saja, setiap perbuatan manusia ada balasannya. Tak ada manusia yang bisa lari dari dosa. Kita tunggu Mbah Harjo, semoga ia bisa mengungkap siapa dalang yanb membuat Nining seperti ini," ucap Danang. Suasana ruang tamu pun menjadi hening, mereka diam dengan pikiran masing-masing.

"Alhamdulillah, makannya habis," seru Sumini dari dalam. Ia kemudian duduk di samping Danang.

"Alhamdulillah," seru Yasmin. Aji tak mengizinkan Yasmin menyuapi Nining, karena Yasmin tengah hamil muda. Aji takut terjadi apa-apa pada Yasmin. Karena saat Nining mengamuk ia akan memukul, mendorong, dan melempar apapun yang ada di dekatnya.

"Itu Mbah Harjo," seru Danang. Serempak mereka melonggok ke arah pintu.

Akhirnya orang yang mereka tunggu-tunggu datang juga. Aji sudah sangat tak sabar, ia ingin tahu siapa dalang di balik hilang akalnya Nining.

                                          ***Kbm***

"Mari masuk Mbah." Aji mempersilahkan lelaki berumur enam puluh lima tahun itu masuk.

"Aura di rumah ini sangat berat, tidak diragukan lagi, ada kekuatan gelap yang menyelimuti rumah ini," kata Mbah Harjo.

"Di mana Nining?" tanyanya.

"Ada di kamarnya, Mbah," ucap Aji. Ia kemudian mengantar Mbah Harjo ke kamar Nining. Nining sendiri sedang duduk terpaku menghadap jendela kamarnya.

Cantik sekali, batin Mbah Harjo. Ia mengelus-elus jangutnya.

"Mohon maaf, saya minta izin untuk menyentuh Nining, karena saya harus menerawang dari mana sihir itu dikirimkan."

"Silakan." Aji pun mempersilakan. Aji, Danang, dan Sumini berdiri di bingkai pintu, mereka menyaksikan Mbah Harjo menanggani Nining.

"Maaf boleh minta air putih," kata Mbah Harjo.

"Biar Bude ambilkan." Sumini pun ke dapur mengambil segelas air, tak lama kemudian Sumini kembali ke kamar Nining, lalu menyerahkan air itu kepada Mbah Harjo.

Mbah Harjo menerimanya, ia kemudian beekomat-kamit membaca mantra. Lalu meniupkannya ke dalam air, setelah itu ia menciprat-cipratan air itu ke kepala Nining.

Nining menampik tangan Mbaj Harjo, ia mengeram lalu mencekik leher dukun itu.

"Nining!" teriak Aji terkejut. Ia mau mendekati adiknya tetapi Mbah Harjo menyuruhnya menjauh.

Mbah Harjo kemudian memegang ubun-ubunnya sampai tangannya gemetar, ia seakan menarik sesuatu dari tubuh Nining dan melemparkannya sebanyak tiga kali. Nining berteriak, bola matanya berubah berwarna merah. Ia mencakar Mbah Harjo, kemudian dengan sigap Mbah Harjo menutupi kedua kelopak matanya.

"Aaaaaaa!" Nining berteriak, sampai akhirnya ia ambruk di atas tempat tidur.

"Ning, Nining." Aji, segera memeriksa adiknya.

"Nggak papa, aku sudah mengeluarkan Jin yang merasuki Nining, tapi Nining perlu diruwat. Tanggal lima belas, tepat di saat bulan purnama nanti, bawa Nining ke rumahku agar jin-jin yang aku keluarkan, tidak kembali merasukinya," terang Mbah Harjo.

Nining pun pingsan, Aji membetulkan posisi Nining dan menyelimutinya.

Mbah Harjo kemudian berkeliling rumah, memutarinya sebanyak tiga kali.

"Bagaimana Mbah? Sebenarnya apa yang terjadi kepada adik saya?" tanya Ajj ketika Mbah Harjo menyelesaikan ritualnya. Mereka duduk di ruang tamu.

"Nining dibuat gila oleh seseorang yang sakit hati padanya. Sekilas tadi aku melihat sosok orang itu, rambutnya cepak, tingginya sekitar 170 cm, berkulit sawo matang, dia melempar guna-guna dari timur. Kemungkinan rumahnya berada di sisi timur rumah ini," terang Mbah Harjo.

"Galih." Aji langsung menyimpulkan bahwa Galihlah pelakunya, tak diragukan lagi, semua ciri-ciri itu merupakan ciri-ciri Galih.

"Kalau begitu saya pulang dulu, ingat tanggal lima belas nanti, bawa Nining ke rumahku sore hari. Aku akan meruwatnya tepat diwaktu surup. Waktu pintu gerbang gaib terbuka," terang Mbah Harjo.

"Baik, terima kasih, Mbah," ucap Aji dan keluarganya.

                                           ***Kbm***

Sebuah bo-gem langsung mendarat di pipi kanan Galih begitu ia sampai di rumah Aji. Galih jatuh terjerembab ke tanah. Aji menarik kerah lehernya kemudian memukulnya sekali lagi membuat Galih jatuh mencium tanah. Kepala Galih terasa pusing, bahkan pandangan matanya mulai kabur. Galih mencoba mengedipkan mata, ia meringis kesakitan.

"Ayo, bangun, jangan beraninya lewat belakang. Lawan aku secara jantan kalau tidak terima dengan keputusan adikku yang menolakmu. Apa yang kamu lakukan kepada Nining!" teriak Aji. Sekali lagi ia memukul Galih. Sedangkan Galih sama sekali tidak melawaannya.

Sumini, Danang, dan Yasmin yang melihat keributan itu berusaha melerai. "Le, sabar, Le!" Sumini berteriak kencang. Danang pun tak tinggal diam. Ia menggulung sarungnya sampai selutut sambil berlari menghampiri Aji, Danang kemudiaan memegangi tangan Aji agar berhenti menghajar Galih.

"Mas, berhenti Mas!" Yasmin ikut menengahi. Ia membentangkan kedua tangan berdiri di depan Galih untuk melindunginya.

"Dek, minggir!"

"Nggak!"

Keributan itu pun memicu kerumunan tetangga. Mereka memenuhi halaman rumah Aji. Suasana sore hari itu seketika memanas.

"Kamu, kamu yang mengirim guna-guna pada adikku. Ba-jing-an kamu! Ku-ha-bi-si kamu!" teriak Aji sambil menunjuk Galih.

Darah segar meleleh dari sudut bibir dan hidung Galih. Ia dibantu berdiri oleh orang-orang di sana.

"Bukan aku pelakunya, Mas," jawab Galih.

"Aaarrggg, masih berani membantah kamu!"" Aji terus berusaha mengha-jar Galih, tetapi ia dipegangi oleh beberapa orang.

"Mas, sabar, Mas!"

"Gal, sebaiknya kamu pulang!" usul Raga.

"Nggak Ga, aku mau meluruskan masalah ini. Aku ke sini cuma ingin tahu keadaan Nining. Bukan aku pelakunya," kekeh Galih.

"Kamu ingin tahu keadaan Nining katamu?!" Aji semakin naik pitam.

"Nduk jangan mendekat." Bude Sumi menarik tangan Yasmin agar menjauh dari keributan itu.

"Tapi, Mas Aji Bude."

"Kamu sedang hamil, Nduk. Kamu harus menjaga keselamatan anakmu juga."

"Tapi, Bude." Yasmin tak mampu menahan tangis melihat kemarahan suaminya. Aji adalah lelaki yang sangat sabar, baru kali ini Yasmin melihat lelaki yang sudah dinikahinya selama tiga tahun itu menjadi sangat bengis.

"Aaarrrrrggg!" Aji berteriak menghempas orang yang memeganginya. Empat orang yang memegangi tangan Aji terlempar, salah satunya adalah Danang.

Aji benar-benar kesetanan. Ia menarik Galih kemudian menghajarnya bertubi-tubi.

"Ya, Allah, Mas!" Yasmin semakin histeris melihat keadaan Galih yang babak belur.

Mereka pun berusaha memegangi Aji kembali. Galih jatuh tersungkur dengan wajah penuh lebam.

"Gal, ayo kita pergi," ajak Raga, ia membantu Galih berdiri dan berniat menariknya. Namun, Galih menolak. Dengan terseok-seok Galih berusaha berjalan mendekati Aji.

"Gal, sebaiknya kamu pergi. Mas, Mas Aji sabar, Mas." Banyak orang memegangi Aji. Mereka mengelus dadanya dan menyuruhnya beristiqfar. Namun, Galih tak bergeming.

"Hajar aku Mas, kalau memang ini bisa mengobati luka hati Mas Aji. Tapi, tolong dengarkan aku sekali saja, Mas. Kalau memang aku pelakunya, aku tak akan membuat Nining gila. Apa untungnya buatku dengan membuat Nining gila? Kalau memang aku pelakunya, lebih baik aku mengirim pelet, lintrik, jaran goyang, semar mesem kepada Nining agar ia tergila-gila padaku, lalu menikahinya. Aku sangat mencintai Nining, tak mungkin aku menyakitinya Mas, meski aku tak mampu memilikinya. Percayalah bukan aku pelakunya."

                               ***Bersambung***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status