Share

Bab 8

SANTET  CELANA  DALAM  8

"Ta, kamu nggak papa?" tanya Erna kawatir, sedangkan Galih masih tertegun melihat lelaki Gila itu pergi.

"Gal." Raga menyentuh pundak Galih yang terdiam bak orang ketempelan.

"Aku nggak papa, aku hanya heran, bagaimana lelaki itu bisa tahu kalau air yang kubawa tadi adalah air yang sudah aku ruqyah sebelumnya," terang Galih.

"Jadi, beneran air itu mengandung doa?" tanya Raga. Galih mengangguk.

"Kalian ini kok, malah gobrol berdua, tolongin Ita donk!" gerutu Erna yang sedari tadi membantu Ita mengeringkan wajahnya dengan tisu.

Tak lama kemudian karyawan cafe memberikan handuk kecil kepada Ita, mereka juga merapikan meja dan kursi yang berantakan. Suasana pun kembali tenang.

"Ta, sebaiknya kamu pulang duluan, kamu bisa masuk angin kerena bajumu basah. Aku akan mengantarmu," saran Galih.

"Iya bener, besok kita ketemuan di sini lagi," kata Erna.

"Baiklah," jawab Ita singkat. Ita dan Galih pun pulang bersama.

***

Pagi harinya Galih menemui Ita di rumahnya, ia membawa air  yang sudah ia ruqyah sendiri dengan cara dibacakan basmalah seribu kali kemudian ia tiupkan ke dalam air tersebut. Di antara keistimewaan bacaan basmalah adalah dihindarkan dari mara bahaya dan gangguan setan yang terkutuk.  Kebiasaan itu Galih dapatkan dari kakeknya. Kemudian ia terapkan pada dirinya sendiri hingga kini.

"Ini tolong kamu berikan kepada Nining," pesan Galih. "Aku pergi dulu, makasih ya, Ta."

"Tunggu Gal, ada sesuatu di atas rambutmu," kata Ita membuat Galih menautkan alis.

"Apa?"

"Itu."

Seketika Galih mengibaskan rambutnya. "Masih ada?"

"Iya." Galih pun mengibaskan rambutnya sekali lagi.

"Masih ada?"

"Iya, permisi ya," ucap Ita. Ia berjinjit mendekatkan wajahnya ke wajah Galih.

_Jiwo rogo dadi siji. Dadino siji karo jabang bayine Masyita. Nyai Dayang panjogo sukmoning Galih talenono bocah iki marang jabang bayine Masyita_

Ita mengucap itu tiga kali tanpa bernapas, kemudian ia meniup kening Galih dengan lembut sebanyak tiga kali. Sesaat kemudian Galih terkesima, ia menatap wajah Ita begitu dalam. Galih merasa Ita begitu berbeda.

Mata Ita berbinar menunggu reaksi dari Galih. Sudah lama sekali Ita menantikan saat ini.

"Ah, maaf, Ta." Galih mengerjap, ia menggelengkan  kepalanya. "Astaqfirullahaladzim."

"Ada apa, Gal?"

"Nggak papa, aku pergi dulu. Tolong segera berikan air itu untuk Nining. Makasih, ya, Ta." Setelah itu Galih pun pergi karena ia sudah membuat janji dengan Raga. Galih ingin pergi ke rumah Ambar--seorang gadis yang katanya pernah menjadi korban Mbah Harjo. Kebetulan rumah gadis itu tak jauh dari rumah kakak iparnya Raga. Galih ingin mengulik kebenarannya, jangan sampai Nining menjadi korban dukun itu juga.

"Apa yang aku pikirkan, kenapa tiba-tiba ada pikiran kotor melintas dipikiranku kepada, Ita?" Galih membuang napas mencoba menghilangkan pikiran buruknya.

Ita terpaku di depan halaman rumahnya beberapa saat. Aneh, seharusnya Galih mengabaikan Nining. Apa ada yang aku lewatkan? Atau ada yang salah? Ita tak habis pikir, begitu sulitnya ia menaklukan Galih.

 ***

Bukannya memberikan air itu kepada Nining, Ita justru membuang air itu dengan cara menyiramkannya ke tanaman bunga di halaman rumahnya. Kemudian Ita membuang botol air mineral itu begitu saja di sana.

"Siapa, tadi itu Nduk?" tanya Sumini yang sekilas tadi melihat Ita gobrol dengan seseorang di halaman rumahnya.

"Bukan siapa-siapa, Bu. Cuma orang nanya alamat," jawab Ita.

"Oh."

Ita pun masuk ke kamarnya. Ia mandi lalu seperti kemarin, setelah mandi ia akan pergi ke rumah Nining.

"Bu, aku mau menemui Nining," pamit Ita.

"Iya."

 ***

Yasmin sudah selesai memasak, ia juga sudah menyiapkan sarapan untuk Nining.

"Masak apa, Mbak?" sapa Ita.

"Eh, ta, udah cantik aja kamu pagi-pagi begini. Aku masak makanan kesukaan Nining. Sayur bening, tempe mendoan sama sambal  tomat," jawab Yasmin dengan senyum cantiknya seperti biasa.

"Wah, itu aku juga suka."

"Kamu sudah sarapan?"

"Sudah Mbak. Mangkanya aku ke sini. Semalam Nining teriak-teriak ya, Mbak?" tanyanya. Ita menarik kursi lalu duduk menghadap Yasmin.

"Iya, dia ngamuk-ngamuk."

"Sabar ya, Mbak."

"Yah, mau bagaimana lagi, Ta. Kami juga masih mengusahakan agar dia sembuh. Hanya saja, kami takut kalau setiap malam Nining mengamuk, ia bisa mengganggu kenyamanan para tetangga."

"Iya, sih, Mbak."

"Bu Indra bahkan menyuruh Mas Aji untuk mengirim Nining ke rumah sakit jiwa secepatnya."

Ita mengulum senyum, sambil memegang tangan Yasmin dengan erat, "Aku tahu bagaimana perasaan, Mbak. Kita hadapi ini sama-sama ya, Mbak. Sini sarapannya Nining, biar aku bawa ke kamarnya."

Ita mengambil piring berisi nasi itu dari atas meja, lalu membawanya ke kamar Nining. Untuk sementara waktu Nining masih di kurung di kamarnya. Yasmin membantu membukakan pintu untuk Ita, kemudian menutupnya kembali.

"Assalamulaikum Bu Ustadzah," sapa Ita. Ia berjalan pelan kemudian duduk di tepi ranjang dan meletakkan piring  nasi di atas nakas.

Ita mendekatkan wajahnya pada Nining, lalu menyelipkan rambut Nining yang menutupi wajahnya ke daun telinganya, "Apa kabar? Kenapa semalam kamu teriak-teriak, heh. Kamu ketakutan? Harusnya kamu nggak perlu takut, mereka tak akan melukaimu kok, mereka hanya ingin bermain-main denganmu."

"Kasian banget sih, kamu. Oh, iya, bagaimana rasanya di a-we-we sama kakek-kakek? Apa kamu berdarah? Sakit nggak? Uh, kasian, kamu pasti kecapekan kemarin, secara hampir satu jam kamu di dalam sana. Oh iya selamat ya, sebentar lagi kamu pasti akan memiliki seorang bayi. Mas Aji pasti sangat bahagia atau ... Malah kecewa kepada kamu."

Ita memundurkan diri, lalu mengambil piring nasi. "Kamu sih, diam saja waktu disentuh lelaki tua itu. Enak ya?" ledek Ita.

"Baiklah, ayo makan, biar kamu kuat menghadapi kenyataan. Ayo, makan,"  perintah Ita.

Ita pun menyendok nasi untuk Nining. Gadis malang itu membuka mulutnya kemudian mengunyah dengan pelan-pelan.

"Aku nggak nyangka nasibmu bakal seperti ini. Kupikir kamu akan bahagia dengan Arkan. Menikah dengannya dan punya keluarga kecil. Lalu aku menikah dengan Galih, kemudian kita berdua menjadi mama muda. Tapi, Tuhan sepertinya punya rencana lain, jalan hidupmu berubah, dari yang tadinya seorang kembang desa kini menjadi aib keluarga." Ita terus menyuapi Nining sambil mengoceh tidak jelas. Entah dendam apa yang dimilikinya terhadap Nining sehingga ia merasa senang atas apa yang dialami Nining saat ini.

"Oh, iya, tadi pagi Galih menitipkan air ruqyah buat kamu. Sayangnya air itu tumpah di halaman rumahku, maaf ya. Mungkin Tuhan pengennya kamu jadi orang gila saja."

"Erna sahabatmu juga memikirkan bagaimana cara agar kamu bisa sembuh, sayangnya anak itu nggak tahu kalau kamu itu udah nggak bisa diselamatkan lagi. Ngapain musti repot-repot benar, kan? Kurang kerjaan banget, kalau udah aku kerjain baru tahu rasa dia."

"Ok, sudah selesai makannya, setelah ini kita mandi. Kita mandi pakai air bunga dari Mbah Harjo, air yang justru akan membuatmu gila selamanya." Ita menyentuh dagu Nining sambil tersenyum puas tepat di depan wajah Nining.

Klik!

Ita membuka pintu kamar Nining. Yasmin yang sedang bersantai di ruang tamu pun langsung melongok, "Udah selesai makannya Nining, Ta?" tanya Yasmin.

"Udah Mbak, sekarang aku mau nyuruh Nining buat mandi," jawab Ita sedikit berteriak dari dapur.

"Taruh aja piringnya, biar Mbak yang nyuci," teriak Yasmin, kemudian ia kembali melanjutkan bacaan Al-qur'an nya di ruang tamu.

Setelah itu, Ita mengajak Nining masuk ke kamar mandi. Kemudian membantunya mengganti  baju. Pintu belakang dan pintu depan dikunci agar Nining tidak bisa kabur. Setelah selesai, Ita mengajak Nining kembali  ke kamarnya. Ia meletakkan sesuatu di bawah tempat tidur, tepatnya di bagian bawah bantal Nining sebelum pulang.

"Semoga nanti malam kamu mimpi indah!"

                             

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status