Share

BAB 7

SANTET   CELANA DALAM   7

Sekitar sepuluh menit kemudian, Bu Sundari--istri dari Mbah Harjo datang. Penampilannya sedikit berbeda dengan Mbah Harjo, wanita itu tampak angun meski dengan pakaian sederhananya. Ia melempar senyum kepada tamu suaminya.

"Maaf, sudah lama?" sapanya sambil menyalami Aji dan keluarganya.

"Baru saja," jawab Sumi.

"Bapak?" tanya Sundari menanyakan keberadaan suaminya.

"Di belakang, sedang meruwat keponakan saya," jawab Sumi lagi.

"Oh, saya buatkan minum dulu," ujarnya.

"Ndak usah repot-repot, Bu," kata Sumini.

"Ndak repot, kok. Sudah selayaknya saya menjamu tamu," jawabnya dengan senyum ramah.

"Maaf, Bu. Boleh numpang ke belakang?" tanya Ita.

"Boleh, silakan." Sundari pun mengajaknya ke belakang, "Itu lurus saja, lalu belok kiri paling ujung," tukasnya memberi petunjuk.

"Terima kasih, Bu," kata Ita sambil pura-pura memegangi perutnya.

Rumah Mbah Harjo memang cukup besar, meski tergolong bangunan lama dengan ukuran jendela dan pintu yang cukup besar dan tinggi. Bukannya berjalan ke arah kamar mandi, Ita malah pergi ke arah lain, tepatnya ke ruangan khusus di mana Nining sedang di ruwat di sana. Tentu saja Ita tahu, karena tadi ia lah yang mengantar Nining masuk ke ruangan tersebut.

Entah kenapa udara di sana terasa begitu berbeda dengan ruangan lainnya. Seakan banyak pasang mata yang sedang mengamati Ita. Sebuah kaca kuno yang terpajang di dinding menambah kesan mistis. Ita menarik napas dalam, dengan langkah sangat pelan sedikit berjinjit ia mulai mendekati kamar ritual itu. Sesekali Ita menelan salivanya. Sampai akhirnya ia berdiri tepat di depan pintu kamar itu.

Herannya ia tak mendengar suara gemericik air, yang ada ia mendengar suara napas yang sedikit berat dan cepat. Juga suara de-sa-han yang tak beraturan. Ita yang penasaran lantas mengintip dari lubang kunci, sialnya ia tak bisa melihat apapun karena lubang kunci tersebut tertutup oleh anak kunci.

Tak habis akal, Ita pun celingukan mencari sesuatu yang mungkin bisa ia gunakan untuk menguntip ke dalam kamar melalui celah fentilasi yang ada di atas pintu.  Tak jauh dari sana ada sebuah meja kecil di atasnya terdapat kendi. Ita meletakkan kendi itu di lantai, dengan hati-hati ia mengangkat meja itu, lalu mendekatkan ke pintu, kemudian ia naik ke atas untuk mengintip Mbah Harjo. Namun, hal itu tak bisa Ita lakukan terlalu lama, ia segera mengembalikan meja itu ke tempat asalnya.

Saat berbalik badan, tanpa sengaja Ita menjatuhkan kendi di atas meja tersebut sehingga menimbulkan suara yang cukup gaduh. Seketika itu juga suara de-sa-han itu menghilang. Dengan cepat Ita mencari tempat persembunyian. Tak lama kemudian kepala Mbah Harjo menyembul keluar dari ruangan tersebut, ia menoleh ke kiri dan ke kanan kemudian kembali masuk setelah seekor tikus dengan ukuran cukup besar melesat dari sudut ruangan.

"Tikus, si-a-lan," umpatnya. Mbah Harjo pun kembali menutup pintu kamar tersebut, dengan cepat Ita meninggalkan ruangan itu dan kembali ke ruang tamu. 

"Lama sekali kamu, Nduk?" tanya Sumi.

"Perut Ita tiba-tiba sakit, Bu," jawabnya.

Bu Sundari muncul sambil membawa empat cangkir teh, kemudian ia meminta izin kepada tamunya ke belakang untuk menemani pasienya yang tidak lain adalah Nining. Tentu saja hal itu membuat Sumini dan Aji merasa lega.

Hampir empat puluh lima menit lamanya Nining diruwat di dalam sana, sampai akhirnya Sundari meminta bantuan Sumi untuk membantu Nining memakai bajunya kembali.

"Bagaimana, Mbah?" tanya Aji.

"Jujur, aku kalah hebat dengan dukun yang membuat Nining menjadi  gila. Aku bahkan tak bisa menyerangnya karena ia hanya berupa kepulan asap hitam pekat. Jiwa Nining dikurung di suatu tempat itulah yang membuat Nining tak bisa mengendalikan dirinya. Ia dibuat ling lung," terang Mbah Harjo.

"Lalu, kami harus bagaimana? Apa Nining tidak akan bisa normal kembali?"

"Kita harus meruwat Nining beberapa kali, agar jiwanya bersih sehingga sihir yang menempel di tubuh Nining akan menghilang  dengan sendirinya," jawab Mbah Harjo.

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Seketika Ita terbatuk mendengar penuturan Mbah Harjo.

"Kamu kenapa, Nduk?" tanya Sumini.

"A-aku hanya tersedak, Bu. Maaf."  Diruwat beberapa kali? Ita pun melirik Mbah Harjo, kemudian dengan cepat membuang wajah ke arah lain.

"Maaf, tadi sampai mana, Mbah?" tanya Sumini sopan.

"Nining harus diruwat beberapa kali sampai auranya kembali bersih. Bulan depan tepat di hari Nining lahir, kalian bawa Nining kembali ke sini. Untuk sekarang sudah cukup. Ini ambilah,  taburkan garam ini di sekitar rumah setiap memasuki waktu surup, dan jangan lupa minumkan air ini kepada Nining. Lusa saya akan ke sana, akan saya pasang pagar di rumah kalian agar kalian tidak dikirim guna-guna lagi. Karena yang saya lihat, Nining bukan hanya akan dibuat gila, tetapi orang itu juga mau menghabisi keluargamu juga. Sepertinya orang itu sangat sakit hati terhadap kalian, semoga saja dia sadar  dan mau melepaskan Nining," terang Mbah Harjo.

Tubuh Aji bergetar, ia menahan sesak di dadanya. Mulutnya terkunci rapat dengan gigi gemeretak. Seketika matanya berkaca-kaca, Nining adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.

"Ji, kendalikam dirimu," kata Bude Sumi yang melihat perubahan mimik wajah Aji.

"Kami pulang dulu, Mbah," kata Aji setelah dirinya sedikit tenang. Tak lupa ia menyerahkan sebuah amplop berisi beberapa lembar uang kepada Mbah Harjo.

"Kalian jangan kawatir, aku akan berusaha untuk Nining," jawab Mbah Harjo.

Sundari mengantar mereka sampai kedepan, wanita itu menundukkan sedikit kepalannya saat mobil yang di kendarai Aji mulai melaju.

Sundari membereskan meja setelah tamunya pergi. Sedangkan Mbah Harjo tampak puas setelah berhasil merampas mahkota Nining tanpa gadis itu sadari. Bukan Sundari diam saja, tetapi Mbah Harjo sudah membuat istrinya itu tunduk padanya sehingga apapun yang dia lakukan hal  tidak mempengaruhi istrinya sama sekali. Wanita itu tetap memperlakukan suaminya dengan baik.

***

Di sebuah cafe, Galih, Raga, dan Erna tak sabar menunggu kedatangan Ita. Mereka sudah membuat janji temu di sana, untuk membahas tentang Nining.

"Nah, itu, Ita," tunjuk Erna. Ia pun melambaikan tangan kepada Ita.

Ita berjalan ke arahnya, lalu duduk di sebelah Erna berhadapan dengan Galih.

"Bagaimana perkembangan Nining," tanya Galih begitu Ita duduk.

"Sama saja. Mbah Harjo bilang sulit untuk Nining bisa kembali normal, kemungkinan besar Nining akan gila selamannya," terang Ita.

"Tunggu sebentar." Raga memotong pembicaraan. "Kamu bilang Mbah Harjo, Ta?"

"Iya, kenapa?"

"Aku pernah mendengar kabar tak enak tentang dukun itu. Katanya, dia itu dukun ca-bul. Dulu pernah ada salah satu pasiennya hamil, diduga Mbah Harjo lah yang menghamili gadis tersebut. Orang tuanya pun emosi, lalu mendatangi rumah Mbah Harjo, ia mengancam akan mempidanakan dukun tersebut. Tapi, di malam hari bapak gadis itu meninggal secara tidak wajar. Mereka takut kematian itu ada hubungannya dengan Mbah Harjo. Akhirnya keluarga gadis tersebut sepakat untuk menutup mulut dan tidak memperpanjang masalah. Gadis itu terpaksa hamil tanpa suami. Semua orang memilih diam engan membicarakannya karena tak mau terlibat masalah dengan Mbah Harjo," terang Raga dengan wajah serius.

"Yang bener, Ga?" Erna tampak tegang. Alis matanya mengkerut menatap Raga dan ketiga temannya.

"Kalau hal itu benar, maka kita harus memberitahukan hal ini kepada Mas Aji, jangan sampai Mbah Harjo memanfaatkan keadaan Nining. Ta, kamu bisa kan, memberitahu Mas Aji tentang hal ini?" kata Galih sambil memegang lengan tangan Ita.

"Iya, aku akan memberitahu pada Mas Aji," jawab Ita menyanggupi.

"Tadi Nining diapakan di rumah Mbah Harjo? Em, maksudku pengobatan apa yang dilakukan Mbah Harjo pada Nining?" selidik Raga.

"Nggak ada apa-apa, Mbah Harjo hanya memandikan Nining dengan bunga tujuh rupa. Itu saja, kemudian Mbah Harjo bersemedi di ruangan khusus cukup lama, kemudian kami diberi air untuk diminumkan kepada Nining. Itu saja," terang Ita dengan lancar.

"Dimandikan sendirian atau ...."

"Kami menemainnya," jawab Ita.

"BOHONG!" teriak seorang lelaki dengan rambul gimbal. Lelaki itu bertelanjang dada, ia hanya memakai rompi berwarna cokelat dan celana hitam setinggi mata kaki sambil membawa karung dan tanpa memakai alas kaki lelaki itu masuk ke dalam cafe dengan santai.

Semua orang pun terkejut dibuatnya. Lelaki itu masuk ke dalam cafe tanpa ada yang bisa menghalanginya, entah kenapa semua orang seakan dibuat diam mematung melihat lelaki tersebut.

"Gadis ini sudah membohongi kalian semua. Dia sangat berbahaya, lihat saja kodam yang ikut bersamanya. Matanya melotot ke arah kalian semua. Mulutnya mengeluarkan lendir berbau amis. Kuku-kukunya panjang siap mencabik-cabik kalian semua. Hanya orang jahat yang diikuti oleh kodam jahat!" racau lelaki tersebut sambil menunjuk ke arah Ita.

"Kalian semua harus menjauhi gadis ini! Atau kalian semua akan menjadi korbannya," kata lelaki itu lagi. Ia mengambil botol air mineral di depan Galih.

"Ini air yang sudah dibacakan doa, bukan?" tanya lelaki tersebut kepada Galih. Galih pun mengangguk membenarkan. Galih memang ingin menitipkan air ruqyah itu kepada Ita untuk diberikan kepada Nining saat pulang nanti. Herannya, bagaimana lelaki gila itu bisa tahu kalau air itu sudah di ruqyah?

Lelaki itu membuka tutup botol air tersebut kemudian meneguknya.

"Ah! Ha ha ha.

"Ini benar-benar air ruqyah yang segar," katanya.

Matanya melotot ke arah Ita. Mereka pun saling bersitatap. Mata Ita melotot, otot wajahnya menegang ia menelan salivannya dengan berat karena lelaki itu terus memandang dirinya dengan bengis. Tiba-tiba saja lelaki itu menyiramkan air ruqyah itu ke pucuk kepala Ita.

Ita pun menjerit. Ia mau berlari, tetapi lelaki itu mencengkeram bahu kanannya dengan kuat sehingga membuat Ita terpaku di kursinya.

"Mau lari kemana kamu, kamu perlu diruqyah agar setan yang ada di kepalamu pergi dan kamu nggak berbuat jahat lagi,"  umpat lelaki tersebut. Galih dan Raga pun mencoba menolong Ita, tetapi kekuatan lelaki gila itu rupanya tak main-main. Galih dan Raga tak mampu menyingkirkan tangannya agar melepaskan Ita.

"Ah, tolong!" teriak Ita.

"Gadis jahat!" umpat lelaki itu dengan marah. Ia meludahi wajah Ita. Seketika perut Ita terasa mual dibuatnya.

"Ini pantas buatmu karena sudah berbuat jahat! Ha ha ha!"

"Eh, tolongin donk!" Erna tak kalah panik. Ia meminta bantuan kepada para pengunjung cafe lainnya.

Aaarrrrg!

Lelaki itu mengeram lalu melemparkan botol air mineral yang sudah kosong ke sembarang arah. Tangan satunya mendorong tubuh Ita dengan keras sehingga gadis itu terjatuh dari kursinya dengan keadaan basah kuyup.

"Ah!" teriak Ita sambil menangis. Lengannya terasa sakit karena terantuk kursi kayu.

Ha ha ha ha!

Tawa lelaki gila itu pecah melihat keadaan Ita. Detik kemudian ia pun pergi sambil meracau tak jelas meninggalkan cafe tersebut.

"Jauhi gadis itu, dia jahat!"

"Jauhi gadis itu, dia jahat!" teriaknya terus menerus sambil mengacungkan tangan kepada semua orang di jalan.

                                     

  

   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status