Share

Bagian 2: Rosa

"Rasa lelah membuatku menyerah, lalu memutuskan melajang seumur hidup."

~Aleeya Puspita Wulandari~

***

Saat sosok itu keluar dari mobil, dua asistenku tampak kecewa. Bukan cowok ganteng yang terlihat, tapi wanita cantik berblazer cokelat. Jemari lentiknya tampak menenteng tas Gucci limited edition. Kali ini, akulah yang merasa gembira.

Namanya Rosa, teman satu kosan ketika kuliah di luar kota. Meskipun anak orang kaya, dia malah memilih kos standar biasa. Orang ini memang tipikal sultonah yang merakyat.

“Beib!” seru Rosa begitu berdiri di depan etalase apotek.

Dia melambaikan tangan, membuat dua personel kerjaku terganga. Mungkin mereka tidak menyangka ibu apoteker yang cuek bebek ini bisa mengenal wanita kaya berjiwa sosialita, manjalita, paling heboh sedunia. Kadang aku sendiri heran bagaimana bisa sosok terlalu ekspresif seperti Rosa bisa menjadi seorang psikolog.

Aku bangkit dari kursi, melangkah menuju etalase. Mungkin besok saja melanjutkan pendataan obat. Kalau Nyonya Ceriwis ini datang, pasti panjang ceritanya. Paling hanya bisa diselingi jika harus melayani pasien.

“Selamat datang di Apotek Sehat. Saya Apoteker Aleeya. Ada yang bisa dibantu, Bu?” ucapku sambil menahan tawa.

Rosa mencebik.

“Ish! Emangnya aku pasien tidak dikenal?” Kami berdua tergelak. Dia menggenggam tanganku dan memasang wajah muram. “Kamu tuh, ya, Al. Aku kangen tau. Oh iya, kok, sudah lama nggak konsul?”

Aku memang pernah menjalani terapi psikologis diam-diam dibantu Rosa, berharap gamophobia yang terjadi bisa disembuhkan. Namun, trauma mendalam ternyata begitu mengakar sehingga hampir tak ada kemajuan. Rasa lelah membuatku menyerah, lalu memutuskan melajang seumur hidup.

“Beib, kamu baik-baik aja, ‘kan?”

“Eh iya, baik kok.”

Rosa menatap penuh selidik. Mata bulat dan besar khas miliknya seperti menodong.

“Iya. Aku tuh cuma sibuk jadi nggak sempat menjadwalkan konsul. Bentar lagi mau re-sertifikasi,” kilahku.

“Iya, deh, iya. Ibu Apoteker dari zaman kuliah udah jadi makhluk super sibuk.”

Aku diam-diam menghela napas lega. Syukurlah, dia percaya begitu saja. Kalau sampai tahu alasan sebenarnya, Rosa bisa marah besar.

“Tapi, mantap juga sekarang kamu bisa nyetir Lamborghini, padahal dulu langganannya taksi.”

Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Dulu, Rosa tidak bisa menyetir sendiri, ke mana-mana selalu pakai taksi. Bukannya menjawab, dia malah tergelak.

“Mana mungkinlah langsung bisa. Lagian kalau bisa, ngapain juga aku pakai mobil sport. Punya adek aku. Dia kupaksa nganterin.”

“Otoritermu nggak sembuh-sembuh juga,” ledekku.

Rosa mencubit lenganku dengan gemas. Tawanya pecah. Aku ikut tergelak.

“Terus, ada angin apa nih ke sini? Nggak mungkin cuman kangen aja, ‘kan? Jangan gangguin kakak kamu lho. Aku nggak mau pasiennya kabur, nanti omset apotek menurun.”

Kakak Rosa yang kumaksud tentu saja si dokter spesialis kejiwaan banyak modus itu.

“Nggaklah. Gangguin, sih, sedikit.”

Aku pura-pura mendelik, Rosa terkekeh.

“Aku cuman mau beli tetrasiklin merek X.” Dia menyebut salah satu merek yang harganya memang di atas rata-rata. “Papinya anak-anak tuh kena diare.”

Kebiasaan, ‘kan? Sedikit-sedikit antibiotik. Padahal diare belum tentu disebabkan kuman. Apalagi, jurusan psikologi, kan, ada kaitannya juga dengan bidang kesehatan. Dia juga punya kakak seorang dokter. Seharusnya, Rosa sudah tahu bahaya penggunaan antibiotik serampangan.

“Ish! Kalau diare tidak spesifik, jangan sembarangan minum antibiotik,” tegurku.

Rosa menyengir lebar, lalu menangkukan tangan di depan dada, juga memasang tampang memelas. Aku hanya menggeleng. Meski dia lebih tua satu tahun, tapi kadang kelakuannya sebelas dua belas dengan ABG. Anehnya, saat berpraktik sebagai psikolog, kepribadian wanita ini berubah penuh kebijaksanaan.

Apa dia kena split personality atau sejenisnya?

“Terapi pertama untuk diare itu oralit, bisa ditambahkan penyerap racun sama suplemen zink.”Aku terus mencerocos menceramahinya. Rosa malah semakin cengengesan.

“Iya, iya, tau, Ibu Apoteker. Cuman, ya, papinya anak-anak yang susah dibilangin. Sugestinya itu lho gede banget sama antibiotik.”

“Diedukasi dong.”

“Aduh, paling susah kalau edukasi sama keluarga sendiri.”

Untuk yang satu itu, aku setuju. Edukasi pada keluarga sendiri memang luar biasa sulitnya. Seperti halnya suami Rosa, ibuku sendiri pun masih ngeyel kalau dilarang menggunakan antibiotik sembarangan.

“Ya udah, nih aku kasih oralit, kaolin-pektin sama zink aja dulu. Nanti, kan, suami kamu bisa diperiksa kakakmu. Kalau memang ada infeksi bakteri, dia bisa resepkan antibiotik.”

“Iya deh.” Mata Rosa yang mengedip-ngedip, membuatku merasakan firasat buruk. “Btw, itu Bang Syahril gimana? Udah bisa mengetuk hati kamu belum?”

“Kan, kamu tahu aku nggak mau nikah. Aku takut terluka.”

“Ish! Makanya kita lanjutkan terapinya. Aku yakin fobia kamu bisa sembuh.”

“Nanti kalau re-sertifikasi udah kelar," kilahku.

Entah nanti kalau urusan re-sertifikasi sudah selesai, alasan apa lagi yang bisa digunakan untuk menghindari terapi.

“Aku tunggu lho, ya.” Rosa mendadak bergidik. “Aduh, Al, aku kebelet.”

“Ya udah sana, toiletnya di situ,” cetusku sambil menunjuk ke arah utara.

“Oke, kita lanjut lagi ghibah, ya, habis aku melaksanakan panggilan alam.”

“Iya, iya, sana, ntar keciprit lagi.”

Rosa setengah berlari menuju toilet. Aku hampir tergelak karena posenya yang menahan kencing tampak kocak. Namun, tawaku urung saat gadis remaja bertubuh kurus mendekat. Senyuman ramah otomatis tersungging di bibir sebelum memberikan pelayanan. Jika memang sedang berada di apotek, aku sebisa mungkin melayani pasien secara langsung.

“Selamat datang di Apotek Sehat. Saya Apoteker Aleeya. Ada yang bisa dibantu, Dik?”

“Saya mencari obat ini,” sahut si gadis.

Aku mengamati bungkusan di tangannya, lalu diam-diam menghela napas berat. PR seorang farmasis masih banyak rupanya. Kemasan yang ditunjukkan gadis itu memang obat herbal untuk menggemukkan badan. Namun, produk ini dilarang beredar oleh BPOM karena mengandung bahan kimia obat.

Biasanya, herbal penggemuk badan dicampurkan dengan deksametason. Efek sampingnya tentu tidak sedikit. Bahkan, jika digunakan untuk khasiat dan dengan dosis yang sesuai pun, obat golongan kortikosteroid ini harus dikonsumsi secara hati-hati.

Ah, saatnya mengedukasi!

“Maaf, Dik. Saya tidak menjual obat ini karena memang dilarang beredar.”

Aku pun menjelaskan bahaya menggunakan herbal mengandung bahan kimia obat. Tentunya, dia diberikan juga pilihan obat lain misalnya herbal mengandung kurkuma yang dapat meningkatkan nafsu makan. Syukurlah, gadis remaja itu mau mendengarkan informasi yang benar. Setelah selesai memberikan pelayanan, aku menuliskan hasil edukasi hari ini di lembar swamedikasi.

“Ya ampun! Ya ampun! Cogan!”

“Pegangin aku, dong. Aku mau pingsan.”

Aku mengerutkan kening melihat kehebohan para asisten jomlo dari lahir itu. Ah, mungkin adik Rosa yang tadi masih di mobil keluar. Jika temanku itu cantik bagai dewi dan kakaknya dokter super ganteng, tentunya adik laki-laki mereka pasti tak kalah tampan.

Akhirnya, dua asisten penuh dedikasi itu bisa cuci mata juga. Mereka tampak melongo dengan mata berbinar-binar. Aku hanya menggeleng sambil menahan tawa, lalu melanjutkan menulis pada lembar swamedikasi.

“Maaf, Bu.” Sapaan itu membuat tangan seketika berhenti menulis.

Suara ini ... kenapa tidak asing?

Aku mengalihkan pandangan dan terpaku.

“Kakak saya yang tadi di sini pergi ke ma–”

Kata-kata lelaki itu terhenti. Sementara aku menghela napas. Wajah tampan campuran Arab-nya memang familiar. Pantas saja tadi perasaanku menjadi tidak enak. Dia menatap lekat.

“Kamu ... Aleeya?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status