Share

Bagian 5: Ingatan Masa Silam

“Kamu itu lebih dewasa dan bijak, memiliki aura seorang ibu, cocok jadi calon ibu anak-anakku nanti."

~Ardhan~

---

Kelas sepi, hanya ada bangku dan meja tak berpenghuni. Lagu-lagu bertema persahabatan terdengar silih berganti. Hari ini perpisahan kelas tiga, terakhir kali para murid bersua. Namun, Ardhan malah menyanderaku di kelas.

Alasannya sangat menggelikan. Dia cemburu karena aku menyumbangkan lagu di panggung acara perpisahan dan mendapat pujian dari para murid laki-laki. Ardhan memang sedikit posesif, tidak bisa menahan emosi saat cemburu. Padahal, kami sudah berpacaran selama setahun terakhir, tapi seperti baru-baru jadian saja.

"Sudah dong, Dan. Jangan ngambek," bujukku.

"Tapi, janji jangan pernah beri harapan cowok-cowok genit itu, ya?"

"Iya, iya."

Ardhan tersenyum manis, membuat hatiku menghangat dan berdebar. Saat-saat bersamanya memang selalu membuat jantung berdetak kencang. Momen romantis ini benar-benar seperti mimpi yang terlalu indah bagiku.

Sebenarnya, aku memiliki trauma dan takut menjalin hubungan dengan laki-laki. Namun, kegigihan Ardhan meluluhkan hati, juga ada tekanan dari omongan julid para penggemarnya yang menuduhku sombong karena sempat menolak. Dia memang siswa populer idola satu sekolah. Entah angin apa sampai jatuh hati padaku.

Setahun  menjalin hubungan, Ardhan semakin pandai mengambil hatiku. Perlakuan-perlakuan manisnya sedikit melunturkan citra buruk lelaki yang selama ini terpatri dalam pikiran. Meskipun rasa khawatir kadang datang mengingat status sosial kami jauh berbeda.

“Kamu lagi mikirin apa, Sayang?” Suara merdu Ardhan membuyarkan lamunan. DIa meraih tanganku dan mengecupnya lembut.

Lihatlah, betapa manisnya dia! Padahal, Ardhan selalu bersikap cuek ke cewek lain, tapi akan berbeda saat berhadapan denganku. Bagaimana mungkin aku tidak luluh?

“Soal kita. Padahal, banyak cewek di sekolah ini yang jauh lebih cantik dari aku, kenapa kamu malah ....”

“Sssttt.”

Aku urung bicara karena telunjuk Ardhan sudah menempel di bibir. Wajah tampannya yang mirip-mirip dengan Omar Barkan Al Gala itu mendekat, membuat kami bertatapan. Jantungku berdetak semakin cepat dibuatnya.

“Banyak cewek cantik di sekolah ini, tapi kamu istimewa.” Mata elang menatap syahdu. Aku mengalihkan pandangan, tidak ingin jantung meledak. “Kamu itu lebih dewasa dan bijak, memiliki aura seorang ibu, cocok jadi calon ibu anak-anakku nanti.”

Ish! Kayak bakal berjodoh saja!”

“Karena itu ayo kenalkan aku dengan ibumu.”

“Ibu tuh ngelarang aku pacaran kalau masih sekolah. Sabar, ya, bentar lagi deh aku bujuk ibu, nanti kamu boleh datang ke rumah.”

Ardhan tampak hendak menyahut, tapi beberapa cowok masuk kelas. Mereka, teman-teman segengnya itu mengajak pergi dengan paksa ke kantin. Aku hanya bisa melongo tertinggal sendiri, hingga menyadari ponsel tergeletak di meja.

“Aduh, hape Ardhan ketinggalan!”

Kuputuskan menyusul ke kantin. Sayangnya, kebenaran pahit terpampang di sana. Kawan-kawan Ardhan tergelak sambil memegangi perut. Tak salah bergurau, jika saja bukan hati seseorang yang dipermainkan. Ya, aku hanya menjadi taruhan bagi Ardhan.

“Ayolah, Dhan, kapan lu putusin tuh cewek sombong? Udah setahun, padahal taruhan kita cuman buat sebulan,” celetuk Tino, salah satu geng Ardhan yang pernah kutolak cintanya. “Lu nggak perlu kasian gitu lah sama dia.”

“Dhan, jangan denger kata Tino. Gua tau lu sayang banget sama Leeya,” sergah Mamat. Dia sahabat Ardhan sejak SD, juga satu-satunya anggota geng itu yang selalu bersikap baik padaku.

Percuma, Mat. Kamu tidak perlu membelaku seperti itu. Sahabat kamu yang tampan dan kaya raya ini memang mustahil jatuh cinta pada upik abu.

“Eh, Mamat cupu! Jangan sembarangan ngomong, ya. Nggak mungkinlah Ardhan beneran suka si burik!” Poppy, sepupu Ardhan sekaligus salah satu cewek populer di sekolah langsung naik darah.

“Bisa diem nggak, Pop?” ketus Ardhan, lalu bangkit dari kursi.

Dia berbalik dan langsung terbelalak saat melihatku berdiri tepat di belakangnya. Panas menjalari dada. Tanganku terkepal kuat sebelum mendaratkan tamparan di pipi kanan Ardhan. 

“Dasar kurang ajar!” bentakku sembari memberikan tamparan kedua pada pipi sebelahnya.

Eh, tunggu! Kenapa kulitnya terasa lembut sekali?

“Iya, Kak! Iya, aku adik kurang ajar!”

Aku tersentak, lalu mengerjapkan mata berkali-kali. Kantin sekolah sudah tidak tampak, tertinggal ruang kamar dengan wallpaper garis-garis hitam putih. Ardhan berganti dengan Ghaida yang berurai air mata.

Jangan-jangan ... aku mengigau dan menamparnya. Tidak! Tidak! Masa aku tidur sampai segitunya?

Namun, bekas kemerahan di pipi Ghaida tak bisa disangkal. Tubuhnya tampak gemetar. Rasa bersalah meracuni hati. Aku hendak menyentuh memarnya, tapi dia langsung bangkit dari kasur dan bergegas ke luar kamar.

“Arghh! Makin kacau saja!”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status