“Kamu itu lebih dewasa dan bijak, memiliki aura seorang ibu, cocok jadi calon ibu anak-anakku nanti."
~Ardhan~
---
Kelas sepi, hanya ada bangku dan meja tak berpenghuni. Lagu-lagu bertema persahabatan terdengar silih berganti. Hari ini perpisahan kelas tiga, terakhir kali para murid bersua. Namun, Ardhan malah menyanderaku di kelas.
Alasannya sangat menggelikan. Dia cemburu karena aku menyumbangkan lagu di panggung acara perpisahan dan mendapat pujian dari para murid laki-laki. Ardhan memang sedikit posesif, tidak bisa menahan emosi saat cemburu. Padahal, kami sudah berpacaran selama setahun terakhir, tapi seperti baru-baru jadian saja.
"Sudah dong, Dan. Jangan ngambek," bujukku.
"Tapi, janji jangan pernah beri harapan cowok-cowok genit itu, ya?"
"Iya, iya."
Ardhan tersenyum manis, membuat hatiku menghangat dan berdebar. Saat-saat bersamanya memang selalu membuat jantung berdetak kencang. Momen romantis ini benar-benar seperti mimpi yang terlalu indah bagiku.
Sebenarnya, aku memiliki trauma dan takut menjalin hubungan dengan laki-laki. Namun, kegigihan Ardhan meluluhkan hati, juga ada tekanan dari omongan julid para penggemarnya yang menuduhku sombong karena sempat menolak. Dia memang siswa populer idola satu sekolah. Entah angin apa sampai jatuh hati padaku.
Setahun menjalin hubungan, Ardhan semakin pandai mengambil hatiku. Perlakuan-perlakuan manisnya sedikit melunturkan citra buruk lelaki yang selama ini terpatri dalam pikiran. Meskipun rasa khawatir kadang datang mengingat status sosial kami jauh berbeda.
“Kamu lagi mikirin apa, Sayang?” Suara merdu Ardhan membuyarkan lamunan. DIa meraih tanganku dan mengecupnya lembut.
Lihatlah, betapa manisnya dia! Padahal, Ardhan selalu bersikap cuek ke cewek lain, tapi akan berbeda saat berhadapan denganku. Bagaimana mungkin aku tidak luluh?
“Soal kita. Padahal, banyak cewek di sekolah ini yang jauh lebih cantik dari aku, kenapa kamu malah ....”
“Sssttt.”
Aku urung bicara karena telunjuk Ardhan sudah menempel di bibir. Wajah tampannya yang mirip-mirip dengan Omar Barkan Al Gala itu mendekat, membuat kami bertatapan. Jantungku berdetak semakin cepat dibuatnya.
“Banyak cewek cantik di sekolah ini, tapi kamu istimewa.” Mata elang menatap syahdu. Aku mengalihkan pandangan, tidak ingin jantung meledak. “Kamu itu lebih dewasa dan bijak, memiliki aura seorang ibu, cocok jadi calon ibu anak-anakku nanti.”
“Ish! Kayak bakal berjodoh saja!”
“Karena itu ayo kenalkan aku dengan ibumu.”
“Ibu tuh ngelarang aku pacaran kalau masih sekolah. Sabar, ya, bentar lagi deh aku bujuk ibu, nanti kamu boleh datang ke rumah.”
Ardhan tampak hendak menyahut, tapi beberapa cowok masuk kelas. Mereka, teman-teman segengnya itu mengajak pergi dengan paksa ke kantin. Aku hanya bisa melongo tertinggal sendiri, hingga menyadari ponsel tergeletak di meja.
“Aduh, hape Ardhan ketinggalan!”
Kuputuskan menyusul ke kantin. Sayangnya, kebenaran pahit terpampang di sana. Kawan-kawan Ardhan tergelak sambil memegangi perut. Tak salah bergurau, jika saja bukan hati seseorang yang dipermainkan. Ya, aku hanya menjadi taruhan bagi Ardhan.
“Ayolah, Dhan, kapan lu putusin tuh cewek sombong? Udah setahun, padahal taruhan kita cuman buat sebulan,” celetuk Tino, salah satu geng Ardhan yang pernah kutolak cintanya. “Lu nggak perlu kasian gitu lah sama dia.”
“Dhan, jangan denger kata Tino. Gua tau lu sayang banget sama Leeya,” sergah Mamat. Dia sahabat Ardhan sejak SD, juga satu-satunya anggota geng itu yang selalu bersikap baik padaku.
Percuma, Mat. Kamu tidak perlu membelaku seperti itu. Sahabat kamu yang tampan dan kaya raya ini memang mustahil jatuh cinta pada upik abu.
“Eh, Mamat cupu! Jangan sembarangan ngomong, ya. Nggak mungkinlah Ardhan beneran suka si burik!” Poppy, sepupu Ardhan sekaligus salah satu cewek populer di sekolah langsung naik darah.
“Bisa diem nggak, Pop?” ketus Ardhan, lalu bangkit dari kursi.
Dia berbalik dan langsung terbelalak saat melihatku berdiri tepat di belakangnya. Panas menjalari dada. Tanganku terkepal kuat sebelum mendaratkan tamparan di pipi kanan Ardhan.
“Dasar kurang ajar!” bentakku sembari memberikan tamparan kedua pada pipi sebelahnya.
Eh, tunggu! Kenapa kulitnya terasa lembut sekali?
“Iya, Kak! Iya, aku adik kurang ajar!”
Aku tersentak, lalu mengerjapkan mata berkali-kali. Kantin sekolah sudah tidak tampak, tertinggal ruang kamar dengan wallpaper garis-garis hitam putih. Ardhan berganti dengan Ghaida yang berurai air mata.
Jangan-jangan ... aku mengigau dan menamparnya. Tidak! Tidak! Masa aku tidur sampai segitunya?
Namun, bekas kemerahan di pipi Ghaida tak bisa disangkal. Tubuhnya tampak gemetar. Rasa bersalah meracuni hati. Aku hendak menyentuh memarnya, tapi dia langsung bangkit dari kasur dan bergegas ke luar kamar.
“Arghh! Makin kacau saja!”
***
“Adakah yang lebih menggelikan daripada cara kematianku?”~Aleeya Puspita Wulandari~***Hari ini, aku sengaja tak langsung pulang ke rumah usai bekerja meskipun hari sudah semakin malam. Dua hari perang dingin dengan Ghaida membuat jiwa terasa lelah. Oleh karena itu, kuputuskan menyegarkan pikiran sejenak di tempat favorit.Decit terdengar saat pintu bertuliskan “Toko Buku Catleya” didorong. Paduan aroma buku dan rak kayu bergaya vintage membangkitkan berbagai kenangan indah. Mataku langsung menyapu sekeliling. Buku dengan sampul beraneka rupa sungguh memanjakan mata.Aku segera menuju rak khusus fiksi. Bukannya novel romantis, justru buku cerita bergambar yang tertangkap pandangan. Tanpa sadar, tanganku sudah meraihnya. Cerita Rakyat Bawang Putih dan Bawang Merah, begitulah yang tertera di sampul, dongeng favorit Ghaida. Ingatan tentang masa lalu terbayang dalam benak.“Ayolah, Kak. Bacain ....” Ghaida merengek untuk yang kesekian kalinya agar dibacakan buku dongeng Bawang Putih da
“Dasar dukun nggak ada akhlak! Makhluk halus aja difitnah.”~Aleeya Puspita Wulandari~---“Bawang Meraaah, sadarlah anakku!”Suara serak-serak basah, sedikit seksi mengusik pendengaran. Cahaya menyilaukan tadi kembali digantikan kegelapan. Aroma anyir juga tidak lagi tercium. Kini, hidung menghidu petrichor bercampur bau khas kayu. Aspal juga tidak terasa keras, malah empuk seperti kasur.Eh? Tunggu dulu! Pantas saja gelap, ternyata mataku sedang terpejam.Aku membuka mata perlahan. Dinding kayu tertangkap pandangan. Hampir saja bibir menjerit begitu melihat ukiran seorang gadis penari berwajah seram tergantung di sana.Ck! Selera penghuni tempat ini buruk sekali. Bikin penari cantik, kek. Aku, kan, jadi ingat cerita KKN yang sempat viral itu!“Di mana aku? Ugh, pusing ....”Aku tersentak saat tangan digenggam. Wanita berkebaya cokelat tertangkap pandangan, membuat mata terbelalak. Sosok yang tengah berurai air mata itu sungguh cantik, tidak salah kalau disebut bagaikan dewi. Si Ular
"Meskipun sudah berusaha menerima takdir sebagai Bawang Merah, hati belum sepenuhnya ikhlas." ~Aleeya Puspita Wulandari~ *** Mbah dukun meminum kembali air mantranya. Aku berpikir cepat. “Ibu, aku lelah,” lirihku sambil mendekap erat, tentu sambil menahan napas. Jika tingkahku aneh di mata wanita ini, bisa-bisa kena semburan si aki-aki lagi. Oleh karena itu, sandiwara seolah sudah sadar dari kesurupan perlu dilakukan. Aku bisa pingsan kalau harus menikmati aroma jigong sialan itu lagi. “Syukurlah, Mbah. Roh jahatnya sudah keluar. Terima kasih, Mbah.” Wanita cantik itu, maksudku Ibu bangkit dan menghampiri si aki-aki, menyelipkan beberapa koin ke dalam tangan keriput. Mbah dukun memejamkan mata sejenak. Bibirnya komat-kamit membaca mantra sebelum pergi tanpa permisi. Dasar dukun tidak sopan! Eh? Bukannya justru bagus dia pergi? Salah-salah nanti kesembur lagi. Ogah! “Putriku ....” Ibu hendak memeluk lagi. Gawat, aku harus mencari alasan untuk menghindar, bisa pingsan kalau te
“Cita-citaku tidak hebat seperti, Mbakyu, hanya ingin menjadi ibu terbaik sedunia.” ~Bawang Putih~ ---Bawang Putih tampak masih menunggu jawaban. Aku menelan ludah. Otak berpikir cepat menemukan penjelasan yang mudah dimengerti. Tidak mungkin, kan, bilang pada Bawang Putih kalau aku memutuskan untuk berhenti menjadi tokoh antagonis? Ya, itulah keputusanku. Seorang Bawang Merah harus menjadi kakak yang penuh kasih sayang. Mungkin saja takdir akan berubah. Hukuman di akhir cerita pun tidak perlu dihadapi. Aku dan ibu juga akan mendapat ending bahagia selamanya bersama tokoh protagonis. “Mbakyu?” “Eh? Ah, iya! Mbakyu sudah memutuskan untuk ....” Sebatang pohon menjulang tak jauh dari kami tertangkap pandangan. Tingginya mungkin mencapai sepuluh meteran. Daun-daun kecil menaungi serenteng buah kuning dan kemerahan. Ara atau Ficus glomerata Roxb adalah nama tumbuhan ini. Dulu, Ibu-ibuku yang ada di dunia nyata-biasa mengonsumsinya saat gula darah beliau naik. Buah ara memang dapat
"Ibu tersenyum hangat, membuat kerinduan pada ibu di dimensi yang lain menyeruak." ~Aleeya/Bawang Merah~ --- “Ada apa, Bawang Merah? Kamu baik-baik saja, Nak?” Ibu menghambur ke arahku. Bulu mata lentik sudah basah. Tangan halus menggenggam jemari. Kadang, aku sulit percaya wanita yang penuh kasih sayang ini akan menjadi antagonis. Namun, jika dipikirkan lagi, bisa saja dia menjadi tokoh kejam demi putrinya bukan? Bawang Merah yang manja terus merengek ingin hidup enak. Ibunya pun menghalalkan segala cara, termasuk merusak kebahagiaan orang lain. Aku memutuskan untuk berhenti menyukai tokoh Bawang Merah. Dulu, kupikir Bawang Merah dan segala rencana jahatnya yang begitu brilian sangat keren. Dia dan ibunya tampak seperti perempuan cerdas. Namun, 2 bulan hidup di sini dan harus bertingkah manja membuatku sadar Bawang Merah tidak lebih dari remaja manja dan egois. Eh, sekarang, kan, aku jadi Bawang Merah? Berarti membenci diri sendiri dong? “Aku tidak apa-apa, Bu.” “Tapi, kenap
"Fobia terhadap pernikahan, bukan berarti tidak menyukai orang tampan. Aku pun sering mengagumi para lelaki ganteng, hanya tidak tertarik menjalin hubungan." ~ALeeya/Bawang Merah~ --- Kepala sedikit berdenyut saat aku membuka mata. Insiden dengan makhluk cokelat yang suka menggeliat-geliat itu membuat tubuh lemas dan langsung tidak sadarkan diri. Bulu kuduk seketika berdiri hanya karena teringat kejadiannya. Tidak, tidak! Jangan dibayangkan! Hush! Hush! Pergilah dari otakku! “Kamu sudah sadar, Nona?” Suara bariton yang indah menyapa telinga, membuyarkan lamunan. Aku mengalihkan pandangan. Waktu seakan terhenti. Makhluk nan indah menatap lembut. Aku tidak menyebutnya lelaki meski dari segi fisik dan suara terlihat seperti kaum Adam. Dia terlalu menawan jika disebut manusia. Terlebih, telinganya memang sedikit runcing, persis para elf di Film Lord of the Ring. Tubuh tegap terbalut sutra putih itu mendekat. Aku menunduk, takut pikiran teracuni karena dada bidang dan enam otot peru
“Aku memberinya nama karena dia lucu.” ~Bawang Putih~ --- Genggaman tangan terasa berbeda, tidak lagi kokoh, tapi permukaannya lembut. Aku membuka mata. Ibu dan Bawang Putih tampak menatap pilu dengan wajah basah. “Ibu ... Bawang Putih ....” Ibu langsung mendekap erat. Untunglah, aku sudah membuatkan jamu kunyit asam sirih untuk mengurangi bau badan, juga meminta beliau mandi dengan rebusan air sirih minimal seminggu sekali. Sekarang, hidung sudah aman dari bau ketek, tidak perlu menahan napas lagi. “Aku takut sekali tadi, Mbakyu,” isak Bawang Putih, lalu ikut memelukku. “Maaf, ya, membuat semuanya cemas.” Ibu melepaskan pelukan dan mengusap wajahku dengan lembut. “Sudahlah, yang penting kamu baik-baik saja. Sekarang, Ibu mau membuat masakan kesukaanmu dulu. Kamu pasti lapar karena sudah pingsan seharian.” “Terima kasih, Bu.” Ibu beranjak dari tempat tidur. Beliau ke luar kamar, meninggalkanku dan Bawang Putih. Gadis itu masih saja menatap cemas. Dia baru bisa tenang setelah
“Saat putriku terancam bahaya, keegoisan menguasai hati begitu saja.” ~Ibu Bawang Merah~ --- Setelah tiba di rumah Bawang Putih, kami langsung ke kamar utama. Ibunya tampak kejang-kejang di tempat tidur, dengan bola mata melotot seperti tercekik. Tangan dan kaki beliau juga bergerak tak tentu arah. “Tolong, jangan bunuh saya! Tidaaak, pergi sana!” Teriakan penuh ketakutan terus terlontar dari bibir yang kering dan pucat. “Putih, tolong ambilkan telur, mangkuk, dan gentong kosong!” Bawang Putih bergegas ke luar kamar. Sementara itu, aku mendekat mengubah posisi Ibu Bawang Putih. Kini, beliau duduk dengan wajah di arahkan ke bawah. Pintu berderak. Bawang Putih masuk dengan membawa barang-barang yang tadi kuminta. Telur diambil bagian putihnya saja, lalu diminumkan untuk memicu muntah. “Huek! Huek!” Aku mengurut pelan punggung ibu Bawang Putih. Beliau terus memuntahkan isi perut hingga keluar cairan kuning. Tubuh kurus itu pun terkulai lemas. Aku membersihkan sisa muntah di pingg