Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit
Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper
Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m
Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend
"Mana mungkin bahagia bisa diraih dengan pernikahan jika bayangan tentang itu hanyalah kelabu.”~Aleeya Puspita Wulandari~---Mata Ibu melotot. Ghaida, adik semata wayangku seketika mengkerut. Lagi-lagi, keinginannya untuk melanjutkan hubungan dengan sang kekasih ke jenjang pernikahan memicu kemarahan wanita yang melahirkan kami.Ya, ini memang bukan pertama kalinya. Sejak lulus kuliah setahun lalu, dua sejoli itu sudah beberapa kali meminta restu Ibu. Namun, jawabannya selalu sama.“Tidak, Ghaida! Umur kakak kamu sudah 30 tahunan. Kalau dilangkahi, akan makin sulit jodohnya,” cerocos Ibu.“Tapi, Bu ... kalau Kakak nggak nikah-nikah juga, sampai kapan kami harus menunggu? Kasian Mas Teguh sudah ditanyain juga sama keluarganya.”Hati terenyuh melihat mata bundar berkaca-kaca. Aku ikut andil dalam pilunya. Namun, apa daya trauma ini mengalahkan segalanya.Maaf, Dik ....“Tidak ada tapi-tapian! Aleeya harus menikah lebih dulu!”Aku mendesah berat. Sebenarnya, jika Ghaida menikah lebih d
"Rasa lelah membuatku menyerah, lalu memutuskan melajang seumur hidup." ~Aleeya Puspita Wulandari~ *** Saat sosok itu keluar dari mobil, dua asistenku tampak kecewa. Bukan cowok ganteng yang terlihat, tapi wanita cantik berblazer cokelat. Jemari lentiknya tampak menenteng tas Gucci limited edition. Kali ini, akulah yang merasa gembira. Namanya Rosa, teman satu kosan ketika kuliah di luar kota. Meskipun anak orang kaya, dia malah memilih kos standar biasa. Orang ini memang tipikal sultonah yang merakyat. “Beib!” seru Rosa begitu berdiri di depan etalase apotek. Dia melambaikan tangan, membuat dua personel kerjaku terganga. Mungkin mereka tidak menyangka ibu apoteker yang cuek bebek ini bisa mengenal wanita kaya berjiwa sosialita, manjalita, paling heboh sedunia. Kadang aku sendiri heran bagaimana bisa sosok terlalu ekspresif seperti Rosa bisa menjadi seorang psikolog. Aku bangkit dari kursi, melangkah menuju etalase. Mungkin besok saja melanjutkan pendataan obat. Kalau Nyonya
“Mantan memang meresahkan, tapi ada masanya dia hanya menjadi debu yang akan terbang jika ditiup angin.” ~Aleeya Puspita Wulandari~--- “Kamu benar-benar Aleeya?” ulang pemuda tampan itu lagi. Aku cepat menyunggingkan senyum. Pertemuan dengan mantan memang meresahkan bagi sebagian orang. Ya, lelaki tampan ini adalah Ardhan, pacar pertama sekaligus terakhirku. Dia memang sudah kehilangan posisi di hatiku, tetapi bertemu kembali tetap membuatku kaget. “Iya, Dhan. Aku Aleeya. Lama kita nggak ketemu, apa kabar?” Aku berusaha seramah mungkin. Ardhan terdiam, menatap lekat. Aku mencoba menghangatkan suasana dengan obrolan ringan, tentang pekerjaan, juga hobi balapannya yang ternyata belum berubah. Dia menanggapi antusias meskipun terasa ada kecanggungan. Obrolan kami hanya terhenti sebentar saat aku harus memeriksa resep-resep terakhir yang masuk. Beberapa kali tangannya tampak seperti hendak meraih tanganku di etalase. Namun, aku cepat menghindar. Asistenku tiba-tiba mendekat sambil
"Tidak mungkin ada kata manis yang terlontar dari bibir jika hati sudah berdarah-darah." ~Aleeya Puspita Wulandari~ *** “Teman SMA, satu kelas terus dari kelas satu sampai kelas tiga,” sambarku sebelum Ardhan menyelesaikan kalimatnya. Ardhan mengerutkan kening. “Aleeya kita, kan, pernah pa–” “Dulu, aku agak tomboi jadi, ya, suka kumpul-kumpul anak cowok,” potongku cepat sambil terkekeh. Rosa mengangguk-angguk. Aku memelototi Ardhan, mengirimkan sinyal agar lelaki itu tidak mengungkit hubungan di masa lalu. Dia malah mengerutkan kening, lalu memandangiku dan Rosa secara bergantian. "Kebetulan banget si Upin teman SMA-nya Aleeya. Bantuin Kak Ros bujuk teman kamu ini dong," rengek Rosa tiba-tiba membuatku merasakan firasat buruk. “Buat apa?” tanya Ardhan dengan kening yang semakin berkerut. “Biar dia mau nerima cinta Bang Syahril. Kesian tuh si abang udah sepuluh kali ditolak.” Rosa terus mencerocos. Sementara Ardhan tidak menyahut. Mata elangnya mendelik tajam, tapi tidak lama