Share

Bagian 4: Luka

"Tidak mungkin ada kata manis yang terlontar dari bibir jika hati sudah berdarah-darah."

~Aleeya Puspita Wulandari~

***

“Teman SMA, satu kelas terus dari kelas satu sampai kelas tiga,” sambarku sebelum Ardhan menyelesaikan kalimatnya.

Ardhan mengerutkan kening. “Aleeya kita, kan, pernah pa–”

“Dulu, aku agak tomboi jadi, ya, suka kumpul-kumpul anak cowok,” potongku cepat sambil terkekeh.

Rosa mengangguk-angguk. Aku memelototi Ardhan, mengirimkan sinyal agar lelaki itu tidak mengungkit hubungan di masa lalu. Dia malah mengerutkan kening, lalu memandangiku dan Rosa secara bergantian.

"Kebetulan banget si Upin teman SMA-nya Aleeya. Bantuin Kak Ros bujuk teman kamu ini dong," rengek Rosa tiba-tiba membuatku merasakan firasat buruk.

“Buat apa?” tanya Ardhan dengan kening yang semakin berkerut.

“Biar dia mau nerima cinta Bang Syahril. Kesian tuh si abang udah sepuluh kali ditolak.”

Rosa terus mencerocos. Sementara Ardhan tidak menyahut. Mata elangnya mendelik tajam, tapi tidak lama. Sepasang netra yang dulu selalu menawan hatiku itu tiba-tiba tampak berbinar. Aku mengusap tengkuk.

Perasaan kok jadi nggak enak, nih. Jangan bilang ... dia jadi kegeeran dan mengira aku belum move on!

Jangankan cinta, rasa benci dan dendam saja tak lagi bersisa, hanya tertinggal ketidakpedulian. Hatiku sudah membatu untuk menerima lowongan cinta. Sekelas sosok keren macam Dokter Syahril saja mantul dari tembok yang melindungi perasaanku agar tak terluka lagi. Apalagi, seseorang yang jelas-jelas pernah menoreh luka.

Ponsel Rosa berdering. Dia permisi untuk menerima panggilan, meninggalkan duo mantan yang berhadapan. Ardhan menghela napas.

“Maafkan aku, Aleeya, sudah melukaimu.”

Tuh, ‘kan? Dia salah paham.

Ardhan terus berbicara dengan tatapan sayu. Suaranya terdengar mendayu-dayu saat menjelaskan taruhan yang dulu menghancurkan hubungan kami. Aku benar-benar tidak nyaman karena paling tidak suka terjebak suasana melankolis begini.

“Seandainya, waktu bisa diputar, aku tidak ingin melukaimu. Aku pasti akan jujur sebelum kamu mengetahuinya secara tidak sengaja," gumam Ardhan dengan suara bergetar. "Kamu tahu, perasaanku sebenarnya berubah sejak kita pacaran. Aleeya, aku ....”

Aku langsung menepuk bahu Ardhan. Sudah saatnya terbebas dari situasi konyol ini. Dia harus tahu nama Ardhan sudah terhapus dari lubuk hati.

“Ya, Leeya?”

“Kejadian nggak enak di antara kita dulu memang menjadi salah satu faktor yang membuatku enggan menikah karena semakin tidak percaya laki-laki. Hanya saja pemicu utamanya bukan itu, kok.” Aku mengatur napas sejenak. “Yah, intinya kamu tidak perlu merasa bersalah. Toh, aku juga mengambil banyak pelajaran dari kejadian masa lalu itu.”

“Tapi, Leeya aku bukannya merasa bersalah, justru aku mau ....”

“Sudahlah, aku sudah maafin kamu, kok. Kamu juga harus memaafkan diri sendiri, oke?” potongku.

Ardhan mengangguk patuh. Sedikit geli melihatnya bertingkah seperti anak TK mematuhi perintah guru. Namun, aku menurunkan tangan dari bahunya begitu melihat Rosa datang dengan raut wajah muram.

“Beib, aku pulang dulu, ya. Papinya anak-anak udah ngomel nih," keluh Rosa.

Aku terkekeh. “Kamu, sih, suami diare minta dicarikan obat cepat, malah ghibah di sini.”

Rosa tergelak. Dia pun mengajak Ardhan pulang. Lelaki masa laluku itu sempat tergagap. Begitu keduanya hendak berbalik, secara kebetulan Dokter Syahril juga ke luar ruangan.

“Lho, kalian, kok, ada di sini?” tanya pria berjas putih itu.

“Aku, Bang, yang minta temanin Upin beli obat,” sahut Rosa.

Mereka sempat-sempatnya mengobrol lagi, membahas permintaan orang tua untuk berkumpul di rumah utama minggu depan. Ada-ada saja, apotek malah jadi tempat kongko satu keluarga ini. Aku jadi kasihan pada suami Rosa yang sedang menderita diare.

Akhirnya, tiga bersaudara itu pulang bersama. Sebelumnya, aku cipika-cipiki dulu dengan Rosa. Ardhan malah mau ikutan. Untung saja, dia langsung ditarik menjauh oleh Dokter Syahril dan berita baiknya psikiater ganteng itu tidak bisa modus malam ini.

“Yuk kita siap-siap pulang juga!” ajakku pada dua asisten yang baru saja keluar dari ruang racik.

“Siap, Bu Bos!”

Keduanya berpose hormat. Aku menggeleng sembari menahan tawa melihat tingkah kocak mereka. Setelah semua beres, kami pun menutup apotek, lalu pulang ke rumah masing-masing

***

Taksi online yang kutumpangi memasuki halaman. Senyuman terukir di bibir melihat kantong plastik berisi puding kesukaan Ghaida. Aku sengaja mampir ke toko kue langganan untuk membelinya. Semoga saja dessert favorit Ghaida ini bisa mendinginkan suasana panas di antara kami.

“Terima kasih, ya, Pak,” ucapku seraya keluar dari mobil setelah membayar ongkos.

“Sama-sama, Mbak.”

Aku bergegas menuju rumah. Hati tak sabar melihat mata berbinar Ghaida nanti. Puding ini memiliki banyak kenangan di dalamnya.

Dulu, kami mengalami kesulitan ekonomi. Sepulang sekolah, aku ditugaskan ibu menjaga Ghaida selama beliau bekerja sebagai petugas kebersihan taman yang kebetulan berseberangan dengan toko kue. Aku sering menggendong Ghaida, berjalan-jalan melihat lebih dekat toko dengan aroma wangi itu.

Aneka penganan cantik tertata rapi di etalase kaca, membuat kami sering kali menelan ludah. Aku pun diam-diam mencari uang dengan memulung. Setelah terkumpul, barulah bisa terbeli satu cup puding. Kami memakannya bersama sambil menyeka air mata haru.

“Ibu lagi-lagi nggak setuju, Mas.” Suara Ghaida yang bernada kecewa terdengar dari dalam rumah membuyarkan lamunan. Kuurungkan niat membuka pintu.

“Kita sabar saja, Dek. Bujuk pelan-pelan.”

“Biar gimana juga Ibu nggak akan setuju, Mas, selama Kak Aleeya nggak nikah. Aku kecewa banget sama kakak. Kenapa, sih, trauma sampai segitunya, gara-gara cinta pertamanya yang berengsek itu?”

Aku tergugu. Ya, cinta pertama. Sayangnya, penoreh luka terdalam itu bukan Ardhan, tapi sosok yang biasa disebut cinta pertama bagi setiap anak perempuan.

“Trauma itu nggak main-main lho, Dek. Bukannya kamu harusnya malah simpati sama Kak Aleeya? Dia, kan, sudah banyak membantu dan berkorban buat kamu.”

“Ck! Mas Teguh kok malah belain Kak Aleeya! Ah, seandainya, Kakak nggak ada ....”

Brukk!

Bersamaan dengan pintu yang tak sengaja terbuka, kantong plastik dalam genggamanku terlepas. Puding favorit Ghaida sudah tak bisa lagi dimakan karena tumpah di lantai. Mataku mulai mengembun, membuat pandangan menjadi memburam. Aku menggigit bibir.

Sementara itu, Ghaida menutup mulut dan terbelalak. Teguh menatap canggung, juga ada selarik rasa bersalah dalam sinar matanya. Ghaida berdiri, lalu menghampiri.

“Kakak, aku ....”

“Sudahlah, Dik. Kamu benar. Mungkin akan lebih baik, jika waktu itu ibu terlambat membawaku ke rumah sakit.”

Ghaida dan Teguh hanya melongo. Tatapan keduanya seolah meminta penjelasan. Namun, tidak mungkin ada kata manis yang terlontar dari bibir jika hati sudah berdarah-darah. Tak ingin mengucapkan hal menyakitkan, kuputuskan langsung masuk ke kamar.

Aku menghempaskan diri ke tempat tidur. Kasur empuk segera memeluk tubuh. Mandi? Rasanya, jiwa dan raga terlalu lelah meskipun hanya sekedar untuk membersihkan diri. Perlahan, kantuk mulai menguasai. Kenangan-kenangan datang silih berganti.

Saat keriangan masa kanak-kanak masih mendominasi. Canda tawa mewarnai ketika kami berkumpul bersama di meja makan, menunggu masakan ibu yang paling enak sedunia. Saat ....

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status