Share

Bagian 8: Kemunculan Bawang Putih

"Meskipun sudah berusaha menerima takdir sebagai Bawang Merah, hati belum sepenuhnya ikhlas."

~Aleeya Puspita Wulandari~

***

Mbah dukun meminum kembali air mantranya. Aku berpikir cepat.

“Ibu, aku lelah,” lirihku sambil mendekap erat, tentu sambil menahan napas.

Jika tingkahku aneh di mata wanita ini, bisa-bisa kena semburan si aki-aki lagi. Oleh karena itu, sandiwara seolah sudah sadar dari kesurupan perlu dilakukan. Aku bisa pingsan kalau harus menikmati aroma jigong sialan itu lagi.

“Syukurlah, Mbah. Roh jahatnya sudah keluar. Terima kasih, Mbah.”

Wanita cantik itu, maksudku Ibu bangkit dan menghampiri si aki-aki, menyelipkan beberapa koin ke dalam tangan keriput. Mbah dukun memejamkan mata sejenak. Bibirnya komat-kamit membaca mantra sebelum pergi tanpa permisi.

Dasar dukun tidak sopan! Eh? Bukannya justru bagus dia pergi? Salah-salah nanti kesembur lagi. Ogah!

“Putriku ....”

Ibu hendak memeluk lagi. Gawat, aku harus mencari alasan untuk menghindar, bisa pingsan kalau terus menahan napas saat berpelukan dengannya.

“Ibu, sepertinya aku harus segera mandi.”

“Kamu benar, Bawang Merah. Kalau baju basah seperti ini, nanti bisa masuk angin.”

Sebenarnya, bahasa yang digunakan di sini sangat kaku. Bahkan, aku sendiri entah kenapa berbicara dengan cara yang sama, juga sudah sangat fasih memanggil ibu Bawang Merah dengan panggilan ibu. Mungkin ini pengaturan dari buku ceritanya. 

Ibu membantuku berdiri dan memapah menuju arah belakang rumah. Aku melongo saat berada di tempat yang dianggap kamar mandi, bangunan dari kayu setinggi orang dewasa tanpa atap. Dua gentong berisi air tampak tersusun rapi. Ada gayung dari batok kelapa tergeletak di atas tutupnya.

Aduh, bagaimana kalau ada yang mengintip? Atau tiba-tiba penunggu pohon nangka di sana datang menyapa?

“Kamu mandi di sini saja, Nak. Berbahaya jika ke sungai malam-malam. Ibu tinggal sebentar, ya, mau mengambilkan kain untukmu.”

Ibu pun meninggalkanku yang masih ternganga.

***

Aku menatap sendu permukaan air sungai yang beriak-riak kecil. Tangan tak henti mengucek baju-baju kotor. Seminggu berlalu sejak terperangkap dalam cerita dongeng ini. Meskipun sudah berusaha menerima takdir sebagai Bawang Merah, hati belum sepenuhnya ikhlas.

Berbagai pertanyaan bermunculan dalam benak. Kenapa harus menjadi tokoh antagonis? Bukankah nasib Bawang Merah akan berakhir tragis? Apa mungkin karena aku pernah menyukai tokoh jahat ini?

"Ck! Sial sekali! Sudah mati gara-gara mantan, sekarang malah jadi tokoh jahat," gerutuku sambil mengucek-ucek baju dengan sadis.

Aku menghela napas berat. Rasa sesal bercokol kembali di hati. Kuliah farmasi tidaklah mudah, juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jika bukan kebaikan adik ibuku, Tante Riana, aku tidak mungkin bisa menempuh pendidikan di bidang ini. Kini, semua itu terasa sia-sia.

Aku teringat lagi perjuangan begadang demi menyelesaikan laporan praktikum. Buku-buku tebal dan jurnal yang menjadi makanan sehari-hari. Hapalan nama obat beserta informasi terkait kini sudah tidak bisa digunakan. Obat sintetis belum di kenal masyarakat dalam cerita ini.

Sebuah dehaman membuyarkan lamunan. Aku menoleh ke kanan. Gadis bertubuh mungil dengan wajah super imut berdiri di sana. Tangannya menjinjing keranjang dari rotan yang dipenuhi cucian.

“Apa aku boleh ikut mencuci di sini?” tanya gadis imut itu.

“Tentu. Ini, kan, sungai bersama," sahutku ramah.

Dia segera mengambil tempat di sebelahku. Meskipun awalnya sedikit canggung, obrolan kami berubah menyenangkan. Gadis itu sangat pintar menghangatkan suasana. Sosoknya yang ceria membuat orang lain seolah-olah merasa telah mengenal lama.

“Aku baru sekarang melihat kamu,” celetukku di tengah kegiatan cuci-mencuci.

“Kami memang baru pindah ke sini. Oh iya, aku lupa mengenalkan diri. Namaku Bawang Putih.”

Aku ternganga. Pantas saja sang pangeran dalam cerita ini bisa langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Bawang Putih memang sangat imut dan menggemaskan, tipikal perempuan yang akan mudah memesona laki-laki. Padahal, saat ini dia masih tampak seperti anak SD.

“Aku Bawang Merah,” sahutku, lalu meraih tangan kanannya, mengajak berjabat tangan.

Bawang Putih tampak bengong. Mungkin perkenalan dengan berjabat tangan tidak biasa di sini. Untunglah, dia kembali tersenyum, manis sekali, persis seperti Ghaida. Aku sempat menyeka air di sudut mata. 

Kami kembali mengobrol. Tak disangka ternyata keluarganya menempati rumah kosong di sebelah rumahku. Usia kami terpaut satu tahun. Dia masih berumur 12 tahun. 

“Hmm ... boleh aku memanggil Bawang Merah mbakyu?” tanyanya dengan pipi merona.

Mata yang polos berbinar-binar terasa menodong, persis anak kucing tengah memelas minta dipelihara. Tanpa sadar, kepalaku mengangguk. Wajah imut Bawang Putih langsung semringah. 

“Terima kasih, Mbakyu. Selama ini, Putih selalu kesepian. Sekarang, sudah punya kakak yang sangat cantik!" serunya girang.

Dia meletakkan cucian, lalu menggayut manja, semakin mirip dengan Ghaida. Setiap senyum terukir di bibirnya hatiku terasa hangat. Ternyata, Bawang Putih anak yang manis. Jahat sekali dulu aku pernah menyebutnya bodoh. Bawang Merah juga tega menyakiti makhluk bagaikan peri ini.

Tiba-tiba ide bagus melintas di otak.

“Baiklah, aku sudah memutuskannya!” seruku dengan tangan terkepal meninju udara.

“Memutuskan apa, Mbakyu?” Mata bundar menatap polos.

Waduh, keceplosan!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status