Share

Bagian 7: Ini Gila!

“Dasar dukun nggak ada akhlak! Makhluk halus aja difitnah.”

~Aleeya Puspita Wulandari~

---

“Bawang Meraaah, sadarlah anakku!”

Suara serak-serak basah, sedikit seksi mengusik pendengaran. Cahaya menyilaukan tadi kembali digantikan kegelapan. Aroma anyir juga tidak lagi tercium. Kini, hidung menghidu petrichor bercampur bau khas kayu. Aspal juga tidak terasa keras, malah empuk seperti kasur.

Eh? Tunggu dulu! Pantas saja gelap, ternyata mataku sedang terpejam.

Aku membuka mata perlahan. Dinding kayu tertangkap pandangan. Hampir saja bibir menjerit begitu melihat ukiran seorang gadis penari berwajah seram tergantung di sana.

Ck! Selera penghuni tempat ini buruk sekali. Bikin penari cantik, kek. Aku, kan, jadi ingat cerita KKN yang sempat viral itu!

“Di mana aku? Ugh, pusing ....”

Aku tersentak saat tangan digenggam. Wanita berkebaya cokelat tertangkap pandangan, membuat mata terbelalak. Sosok yang tengah berurai air mata itu sungguh cantik, tidak salah kalau disebut bagaikan dewi. Si Ular Poppy, sih, lewat.

Seraut wajah oval dilengkapi dengan mata bundar yang tampak cerdas dan bersemangat. Padahal, sosoknya seperti tengah bersedih. Namun, kedua bola bening itu tetap memancarkan pesona istimewa. Hidung mungil, tapi bangir sangat padu dengan alis bagai semut beriring.

Jika dilihat-lihat, kami seperti seumuran. Mungkin dia bisa memberikan informasi tentang tempat aneh ini. Aku baru saja hendak bicara, tapi urung ketika melihat wajah cantik berubah semringah.

“Kamu sadar, Nak!”

Bersamaan dengan seruan keras si wanita cantik, tubuh ini ditarik kuat. Aku hanya bisa pasrah sambil menahan napas saat dibenamkan dalam pelukan. Sosok terbalut kebaya cokelat itu berbau tidak sedap.

Ya ampun, cantik-cantik, kok, bau badan? Tuh, ‘kan, aku jadi julid.

“Putriku ... putriku yang cantik sudah sadar.” Suara serak-serak basah bergetar. Tangan halus menyentuh wajahku dengan lembut.

Ada hal aneh di sini. Kenapa wanita ini terus menyebutku putrinya? Padahal, kami, kan, tampak seumuran?

“Mbak ini, kok, manggil saya putriku. Usia kita paling hanya beda tiga tahunan.”

Wanita berkebaya cokelat menutup mulut. Air matanya kembali mengalir. Aku menjadi serba salah. “Bawang Merah, apa yang terjadi padamu, Nak?”

Tunggu dulu! Bawang Merah? 

Ingatan tentang buku cerita yang kudekap saat kecelakaan kembali terbayang. Aku menggeleng beberapa kali. Logika tentu tidak ingin memercayai kejadian aneh ini. 

Setelan menelan ludah dan menguatkan hati, aku bangkit dari kasur dan menuju cermin di dekat jendela. Gadis belia yang baru memasuki usia remaja terpantul dari sana. Wajahnya cantik serupa wanita berkebaya cokelat tadi.

Aku pun refleks menjerit, “Tidaaak! Aku benar-benar jadi Bawang Merah!”

Ya ampun, ini benar-benar gila! 

Aku mencubit lengan berkali-kali, memastikan ini semua hanya mimpi. Sayangnya, rasa sakit membuktikan apa yang terjadi adalah kenyataan. 

“Mbah! Mbah! Tolong! Bawang Merah kenapa?” Wanita berkebaya cokelat berteriak-teriak histeris.

Pintu kamar dibuka dari luar. Lelaki tua berpakaian serba hitam masuk dengan mata merah yang melotot. Dia membawa segelas air putih dan tempat pembakaran kemenyan. Aku sampai batuk-batuk dibuatnya.

“Dia diganggu roh jahat penunggu pohon di depan rumah,” tuduh aki-aki bau tanah itu.

Dasar dukun nggak ada akhlak! Makhluk halus aja difitnah.  

Mata merah si dukun semakin melotot, membuat nyaliku seketika ciut. Tangan keriput memegang erat gelas berisi air putih. Dia juga memutar-mutar tempat pembakaran kemenyan yang berasap tebal. Bibirnya tak henti komat-kamit, kadang lirih, kadang berteriak-teriak. Jika dipikir-pikir, kakek inilah yang lebih mirip orang kesurupan.

Tubuh beraroma kemenyan itu berjalan mendekat. Aku mundur beberapa langkah. Dukun itu mendadak berhenti merapal mantra, lalu meminum air dalam gelas dan ....

Byur! 

Semburan maut dari bibir kehitaman membuat wajahku basah kuyup. Bau jigong bercampur aroma nikotin berebutan merangsek ke dalam hidung. Perut terasa diaduk-aduk. Aku langsung terduduk lemas dan muntah di lantai.

“Bawang Merah, kamu baik-baik saja, Nak?”

Ibu Bawang Merah eh ibuku di dunia ini menatap dalam dengan mata berkaca-kaca. Mbah dukun masih siaga di posisinya, siap menyemburkan lagi air mantra beraroma jigong. Aku menelan ludah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status