Share

Bagian 6: Mungkin Lebih Baik

“Adakah yang lebih menggelikan daripada cara kematianku?”

~Aleeya Puspita Wulandari~

***

Hari ini, aku sengaja tak langsung pulang ke rumah usai bekerja meskipun hari sudah semakin malam. Dua hari perang dingin dengan Ghaida membuat jiwa terasa lelah. Oleh karena itu, kuputuskan menyegarkan pikiran sejenak di tempat favorit.

Decit terdengar saat pintu bertuliskan “Toko Buku Catleya” didorong. Paduan aroma buku dan rak kayu bergaya vintage membangkitkan berbagai kenangan indah. Mataku langsung menyapu sekeliling. Buku dengan sampul beraneka rupa sungguh memanjakan mata.

Aku segera menuju rak khusus fiksi. Bukannya novel romantis, justru buku cerita bergambar yang tertangkap pandangan. Tanpa sadar, tanganku sudah meraihnya. Cerita Rakyat Bawang Putih dan Bawang Merah, begitulah yang tertera di sampul, dongeng favorit Ghaida. Ingatan tentang masa lalu terbayang dalam benak.

“Ayolah, Kak. Bacain ....”

Ghaida merengek untuk yang kesekian kalinya agar dibacakan buku dongeng Bawang Putih dan Bawang Merah. Akhirnya, aku mengangguk pasrah meskipun sedikit bosan dengan isi ceritanya. Dia langsung bergelung di kasur sambil memeluk lengan kiriku.

“Pada zaman dahulu, hiduplah ....”

Aku mulai membacakan cerita. Mata bundar berbinar. Bukannya tertidur, Ghaida malah tambah bersemangat. Dia terus berceloteh tentang impiannya yang ingin menjadi seperti Bawang Putih, hidup bahagia selamanya bersama pangeran tampan. 

“Kalau kakak, sih, lebih suka Bawang Merah.”

“Ih, Kakak! Jahat begitu, kok, malah suka?"

Bibir mungil mengkerut. Ghaida melipat tangan di depan dada. Mata bundar melotot, seolah hendak menakut-nakuti. Namun, bukannya seram, dia malah semakin imut. Aku mencubit hidungnya pelan, siapa tahu bisa mancung. Eh?

“Lho, Bawang Merah itu, kan, cerdas. Dia bisa memikirkan banyak rencana agar bisa bahagia. Yah, meskipun menyakiti Bawang Putih. Salah sendiri, Bawang Putih mau-mau aja dijahati. Terlalu baik sama bodoh itu tipis. Au!”

Aku menjerit kencang. Bagaimana tidak? Tangan keramat Ibu mendarat di telinga. Mata bundar serupa milik Ghaida mendelik tajam, mungkin sebentar lagi akan keluar sinar laser dari sana. Aku menelan ludah.

“Baca cerita buat adek itu diajarin hikmahnya, Kakak!” tegur Ibu.

Jeweran Ibu semakin kuat.

“Iya, Bu. Ampun, Bu! Iya, iya, nggak lagi.”

“Ibu sudah, Bu. Kasian Kak Leeya.” Ghaida menarik-narik daster Ibu dengan tatapan memelas.

Akhirnya, jeweran Ibu berakhir. Tentu saja, setelah aku berjanji tidak akan lagi memberikan pemikiran-pemikiran absurd pada adik sendiri. Ghaida menarikku ke kasur. Tangan mungilnya melingkar di pinggang.

Ah, adikku memang paling manis sedunia! 

“Aleeya?” 

Suara bariton khas membuyarkan lamunan. Otak seketika berhenti memutar memori masa lampau. Aku berbalik, berharap pendengaran salah. Perasaanku sedang sangat buruk, tak ingin bertemu lelaki itu dan menimbulkan kesalahpahaman lagi.

Sayangnya, tebakanku benar. Ardhan berdiri di sana dengan tatapan yang mengandung banyak arti. Keadaan semakin buruk dengan kehadiran sepupunya yang super resek, Poppy. 

“Ya ampun, Aleeya. Masih buluk aja, ya, kamu,” ejek Poppy.

Tuh, ‘kan?

Belum apa-apa, lidah si ular Poppy sudah menyemprotkan racunnya. Aku malas menanggapi, hanya menyunggingkan senyuman sembari memberi isyarat hendak berlalu dari hadapan mereka. Namun, wanita bergaun tanpa lengan itu malah mencengkeram pergelangan tanganku. Kulit sedikit tergores kuku panjang bercat ungu.

“Jangan-jangan kamu stalking Ardhan, ya?” desisnya tajam.

Ish! Najis!

“Poppy, cukup!” Ardhan melotot, membuat sepupunya ternganga dan refleks melepaskan cengkeraman dari pergelangan tanganku.

Halah, sok jadi pahlawan kesiangan!

“Leeya, kamu lagi nyari buku, ya?”

Ya iyalah, masa mau makan di toko buku?

Ardhan terus mencerocos. Poppy melirikku sinis. Kedua tangannya tampak mengepal kuat. Entah Ardhan memang tidak peka atau hanya pura-pura. Model cantik itu sudah lama menaruh rasa kepadanya.

“Ini aku udah dapat bukunya. Aku duluan, ya,” ucapku cepat, lalu membawa buku cerita Bawang Putih dan Bawang Merah ke kasir.

Setelah transaksi selesai, aku bergegas keluar dari toko buku. Sialnya, kepala mendadak berdenyut. Aku terpaksa masuk ke salah satu kafe untuk mencari sekadar pengganjal perut. Obat penahan nyeri golongan non steroid tidak boleh dikonsumsi dalam perut kosong karena dapat mengiritasi lambung.

Waktu konsumsi obat memang perlu untuk diketahui. Ada juga obat yang harus dikonsumsi sebelum makan seperti obat maag atau malah bersamaan dengan makan pada suapan pertama seperti pada obat antidiabetes. Beberapa obat juga memiliki waktu minum tertentu agar efeknya optimal.

Setelah sakit kepala sedikit mereda, kuputuskan untuk pulang. Baru saja, bangkit dari kursi kafe, ponsel berdering. Tulisan “Ibu” tertera di layar. Aku segera menerima panggilan.

“Iya, Bu, ada apa?”

“Kamu bisa tolong cari Ghaida?”

“Ghaida? Seharusnya, kan, dia sudah pulang kerja dari tadi sore?”

“Dia belum pulang. Nomornya juga tidak bisa dihubungi.”

“Baik, Bu. Nanti Leeya cari ke rumah temannya.”

“Tolong, ya, Nak. Ini salah Ibu, tadi pagi marah-marah sama dia.”

“Iya, Bu. Pasti Leeya cari.”

Panggilan berakhir. Aku menghela napas berat. Saat melangkah ke luar kafe, ponsel berdentang, pesan masuk dari Ghaida.

“Kak, tolong bilang sama Ibu, mulai hari ini Ghaida bakal tinggal di kosan. Adek kurang ajar kayak aku pasti bikin Kakak kesel, ‘kan?”

Argggh!

Pesan Ghaida membuat hati terasa diremas. Pikiran mendadak kosong. Lama aku larut dalam kegamangan hingga suara klakson memekakkan telinga. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari utara.

Aku berniat menghindar. Namun, kaki malah tersandung hingga tersungkur. Terdengar decit rem, tapi tabrakan tetap tak terelakkan. Tubuhku terlempar, lalu jatuh membentur trotoar. Aku bahkan tidak mampu menjerit. Rasa sakit yang hebat seolah menelan suara. Cairan merah berbau amis mulai membasahi aspal. 

Pengemudi mobil keluar dan berlari ke arahku. Dia tampak sangat syok, begitu pula aku. Bagaimana tidak? Ardhanlah yang ternyata telah menabrakku. Kini, dia bersimpuh dengan wajah berurai air mata.

“Leeya ... bagaimana mungkin ....”

Kesadaranku semakin menurun. Tubuh sudah sangat lemas. Mungkin aku sudah tidak punya harapan hidup lagi. Kupejamkan mata, memilih pasrah saja menerima takdir. 

“Leeya, maaf .... Aku pasti akan menyelamatkanmu!”

Terserah kamu deh, Ardhan.

Ah, benar-benar konyol sekali cara kematianku, tertabrak lamborghini mantan. Nasib malang yang sekaligus menggelikan. Namun, entah kenapa aku merasa mungkin ini cara Tuhan untuk menyelesaikan masalah pelik dengan Ghaida. Bukankah pernikahannya tidak akan lagi terhalang?

“Bertahanlah, Leeya!”

Rasa hangat melingkupi jemari, terasa seperti genggaman. Perlahan tubuh terangkat dari dinginnya aspal. Kemungkinan, Ardhan sedang menggendongku.

“Bertahanlah, Leeya! Kumohon! Aku akan membawamu ke rumah sakit!”

Argh! Si Ardhan ini malah berisik! Tidak bisakah dia membiarkanku mati dengan tenang?

Cup! 

Kecupan mendarat di bibir. Mataku yang sudah terpejam pasrah langsung melotot. Rasa ingin menampar wajah tampan itu meluap-luap.

Sementara Ardhan terjengkang. Aku pun terguling di aspal, lalu terhenti tepat di sebelah buku cerita Bawang Putih dan Bawang Merah. Kuraih buku dengan tangan gemetar dan mendekapnya di dada.

Kepalaku mendadak terserang nyeri hebat selama beberapa saat, lalu hilang sama sekali.  Keheningan melingkupi. Setiap bunyi seolah-olah ditelan sesuatu tak kasat mata. Aku hanya bisa terperenyak hingga cahaya putih menyilaukan menerpa, menyelimuti tubuh, hangat.

"Apakah kamu ingin diberi kesempatan kedua?" Suara indah itu menggema, menjadi hal terakhir yang kudengar.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status