Share

Pharmacist Save the Villain
Pharmacist Save the Villain
Penulis: Puziyuuri

Bagian 1: Gamophobia

"Mana mungkin bahagia bisa diraih dengan pernikahan jika bayangan tentang itu hanyalah kelabu.”

~Aleeya Puspita Wulandari~

---

Mata Ibu melotot. Ghaida, adik semata wayangku seketika mengkerut. Lagi-lagi, keinginannya untuk melanjutkan hubungan dengan sang kekasih ke jenjang pernikahan memicu kemarahan wanita yang melahirkan kami.

Ya, ini memang bukan pertama kalinya. Sejak lulus kuliah setahun lalu, dua sejoli itu sudah beberapa kali meminta restu Ibu. Namun, jawabannya selalu sama.

“Tidak, Ghaida! Umur kakak kamu sudah 30 tahunan. Kalau dilangkahi, akan makin sulit jodohnya,” cerocos Ibu.

“Tapi, Bu ... kalau Kakak nggak nikah-nikah juga, sampai kapan kami harus menunggu? Kasian Mas Teguh sudah ditanyain juga sama keluarganya.”

Hati terenyuh melihat mata bundar berkaca-kaca. Aku ikut andil dalam pilunya. Namun, apa daya trauma ini mengalahkan segalanya.

Maaf, Dik ....

“Tidak ada tapi-tapian! Aleeya harus menikah lebih dulu!”

Aku mendesah berat. Sebenarnya, jika Ghaida menikah lebih dulu, tidak masalah. Namun, Ibu terlalu memercayai mitos. 

Ah, kalau terus begini, bisa-bisa jadi perawan tua kedua putri Ibu. Fobia terhadap pernikahan memang membuatku memutuskan untuk melajang saja seumur hidup. Ada goresan luka di dalam jiwa yang sukar disembuhkan meski sudah menjalani terapi psikologis. 

Huh! Sepertinya, aku harus turun tangan.

“Bu, Aleeya tidak apa-apa kok dilangkahin,” gumamku lembut sembari menggenggam tangan yang mulai keriput.

“Aleeya!”

Suara Ibu malah meninggi. Aku berusaha tetap tenang. Masalah ini sudah terlalu lama membuat luka di hati Ghaida.

“Kita, kan, tinggal adakan upacara pelangkahan, Bu.”

Mata Ibu berkaca-kaca. Hati serasa diremas melihatnya. Tangan dalam genggamanku gemetar. 

“Ibu tidak mau kamu seperti anaknya pak lurah. Biar sudah ada acara pelangkahan juga tetap belum ada jodohnya sampai sekarang.”

Sebenarnya, aku malah senang jika memang jodoh itu tidak datang-datang juga. Memangnya kenapa harus menikah? Apakah bahagia hanya bisa diraih dengan pernikahan? Bukankah Ibu malah mengalami penderitaan setelah menikah?

Sayangnya, semua itu hanya bisa kuungkapkan dalam hati. Ibu bisa kena serangan jantung kalau sampai mendengarnya langsung.

“Bu, jodoh itu, kan, rezeki. Yah, kalau jodohnya Ghaida datang lebih dulu, jangan ditolak, nanti pamali kalau nolak rezeki.” Sekalian saja aku bawa-bawa pamali.

“Tidak! Pokoknya, Ibu tidak setuju!”

Ibu melenggang meninggalkan kami, menuju kamar, lalu tak lama kemudian membanting pintu. Ghaida terduduk di lantai dan mulai terisak. Aku mendekat, hendak mengusap kepalanya. Namun, dia malah menepis, juga menatap nyalang.

“Puas Kakak menghambat pernikahan aku?”

“Ghaida, kakak tidak pernah bermaksud menghalangi ....”

“Tapi, Ibu nggak akan kasih restu kalau Kakak nggak nikah-nikah juga. Apalagi, sih, yang Kakak cari? Semua cowok yang mendekat selalu dicuekin!”

Aku menghela napas berat. Ghaida memang sering mencoba menjodohkan dengan kenalannya, begitu juga teman-temanku. Namun, sikap cuek dan sedikit apatis membuat para pria itu melipir, mundur teratur. Hanya satu orang yang masih bertahan meski sudah ditolak berkali-kali. Untung saja, Ibu dan Ghaida tidak tahu tentang dia.

“Nanti kita bujuk ibu, ya, Dek. Pelan-pelan pasti bisa.”

“Nggak akan, Kak. Selama Kakak masih belum menikah. Hanya karena dikhianati satu lelaki bukan berarti semuanya sama saja.”

“Tapi, Ghaida ....”

“Aku kecewa sama Kakak,” ketus Ghaida membuyarkan lamunan. Dia bangkit dari lantai dan bergegas ke luar rumah.

Satu kalimat sederhana yang menambah lagi goresan di hati. 

***

Hari ini, apotek benar-benar ramai. Jika dokter penyakit dalam dan dokter jiwa berpraktik memang pasien sering membludak. Ingat si psikiater itu, kadang aku enggan masuk kerja. Pasti ada saja modusnya agar bisa mengantar pulang. Untunglah, aku punya seribu alasan untuk menolak.

Ah, ambil saja hikmahnya. Paling tidak kesibukan di apotek bisa mengalihkan pikiran dari masalah Ghaida.

Tiga lembar resep masuk. Asisten apoteker memberikannya padaku untuk diperiksa lebih dulu. Setelah resep dipastikan rasional, baru kuserahkan kembali pada asisten. Jika sudah selesai dikerjakan, nanti aku yang akan menyerahkan pada pasien dengan ditambahkan beberapa informasi.

“Resepnya tolong dikerjakan, ya, Dek.”

“Iya, Bu.”

Saat mereka meracik obat dalam resep, aku melayani swamedikasi, yakni pengobatan dengan obat bebas, bebas terbatas atau obat wajib apotik. Sebagian besar obat keras memang tidak boleh diberikan tanpa resep dokter. Hanya saja, masih banyak penyalahan aturan ini.

Kesibukan seolah tak henti. Tak terasa waktu berlalu. Jam tutup apotek tinggal sebentar lagi. Hanya ada dua pasien tersisa, itu pun sudah masuk ke ruang periksa. Dua asistenku sudah bisa sedikit santai.

Sementara itu, aku kembali mengerjakan tugas yang sempat tertunda, pendataan obat narkotika dan psikotropika. Jenis obat-obatan ini memang harus dilaporkan secara online per bulan. Tidak boleh selisih meskipun hanya sebutir saja. Apalagi apotekku memang ada praktik dokter jiwa yang banyak meresepkan psikotropika.

“Wah, ada mobil mewah masuk halaman apotek! Orang kaya nih kayaknya,” celetuk salah seorang asistenku, membuyarkan konsentrasi.

“Siapa tau cowok ganteng CEO perusahaan kayak di novel-novel itu,” sahut asistenku yang lain.

“Kyaaa, pasti so sweet banget!” Keduanya histeris sendiri.

Aku terpaksa mengalihkan pandangan, melepaskan sejenak pendataan obat narkotika dan psikotropika yang tengah digarap. Ternyata, obrolan mereka tadi memang benar. Lamborghini hitam baru saja terparkir rapi di halaman. 

Kenapa perasaanku tidak enak, ya?

Pintu mobil mewah itu terbuka perlahan. Aku dan para asisten. Kami seolah-olah kompak menunggu dalam ketegangan dan rasa penasaran.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status