Share

Melissa Sadarkan Diri

Tubuh Melissa dibanting hingga mental di atas kasur empuk berukuran jumbo. Tidak berselang lama, pria itu menindih tubuhnya. Kedua kaki dan tangan Melissa terkunci. Ia sulit untuk bergerak. Meski tua, tenaga pria itu tidak bisa disepelekan. Yang bisa Melissa lakukan hanya menangis.

"Pak, aku ini masih muda, tidak layak menjadi penghangatmu. Aku juga masih perawan, belum pernah disentuh sama sekali. Masa Bapak tega mau menyetubuhi aku yang berusia lebih muda dari anak Bapak sendiri?!" bujuk Melissa. Tidak mungkin pria berumur lima puluh tahunan seperti dia belum mempunyai istri dan anak. Melissa yakin anaknya pasti seumuran dirinya atau mungkin lebih tua darinya.

Bukannya melepaskan, pria itu malah tertawa nyaring. "Malahan yang masih suci itu yang segar! Kan belum pernah disetubuhi!" ujarnya. Hasratnya malah semakin memuncak saat tahu Melissa masih suci.

Tiba-tiba, Melissa mendapat ide untuk melepaskan diri. "Pak, aku akan melayanimu malam ini. Tapi tolonglah lepaskan tanganmu di lenganku! Kamu menyakitiku!" pinta Melissa dengan lembut. "Kita lakukan dengan lembut, ya?"

Kelembutan Melissa cukup ampuh. Pria pun perlahan memelankan pegangan tangannya di lengan Melissa. Saat pria tua itu melemah karena bujuk rayuan, Melissa mendorongnya dan menendang kuat di bagian kelelakiannya. Tubuh pria itu perlahan jatuh tergeletak di lantai, kesakitan bagaikan ayam kena pukulan.

"SIAL!" Matanya terbuka lebar merasakan sakit yang sangat luar biasa. Dia berguling-guling dengan rintihan nyaring sambil mengusap-usap selangkangannya.

Melissa segera bangkit dari berbaring, berlari secepat mungkin keluar dari ruangan itu. Untungnya pintu kamar tidak terkunci, Melissa dapat keluar dengan mudah. Namun langkah kakinya terhenti, di depan pintu Melissa dihadang lima orang pria bertubuh kekar dengan jas hitam dan mengenakan kacamata hitam.

Ah, sial! Melissa lupa, pria tua itu membawa banyak anak buah yang ditugaskan berjaga di luar kamar hotel.

"Mau kemana?" tanya ketua dari anak buah pria tua itu menahan dada Melissa. Seketika Melissa gelagapan menatap mereka.

Satu diantara mereka mendongakkan kepala, mengintip ke dalam ruangan. Tuan mereka telah tergeletak di lantai dengan tangan mengusap-usap selangkangannya. Segera mereka masuk menolongnya. Meninggalkan Melissa seorang diri. Inilah kesempatan bagi Melissa. Ia berlari menjauh dari area hotel.

"Jangan biarkan dia lepas! Bila dapat nanti, akan kukurung di gudang bawah tanah dan akan kunikmati sampai aku puas. Setelahnya, akan kubunuh dia. Dasar gadis kurang ajar!" Melissa mendengar teriakan itu dalam usahanya melarikan diri.

Puluhan anak buah dikerahkan mengejar Melissa. Mereka berhamburan untuk mengepungnya. Sementara kini Melissa telah sampai di jalan raya padat. Dia tetap berlari sementara di belakangnya pria-pria tubuh kekar mengejarnya dengan cepat.

"Aku harus bisa lepas dari mereka!" gumam Melissa di sela nafas ngos-ngosannya. Kakinya terasa mau lepas dari tempatnya, tetapi ia tetap berlari mencari perlindungan. "Aku bisa mati konyol di tangan mereka!"

Hingga tiba-tiba ... BRUK!

Melissa tertabrak mobil. Dia terpental beberapa meter. Sontak darah segar keluar dari bagian tubuhnya yang menghantam aspal.

Ribuan warga di sekitar sana geger dengan suara teriakan sebelum bunyi tabrakan terdengar. Seorang gadis mengenakan dress mini ketat, telah terbaring dengan keadaan tubuh mandi darah dan luka-luka parah di bagian kepalanya. Bahkan bagian kakinya, nyaris putus terpijak ban mobil.

Beberapa saksi yang melihat awal mula kejadian itu, berlari cepat menahan mobil penabrak. Sedangkan para bodyguard yang tadi mengejarnya, lari terbirit-birit menjauh dari tempat kejadian perkara. Mereka menduga jika Melissa sudah tidak bernyawa lagi. Takut disalahkan dan masuk penjara, mereka pun memilih kabur menyelamatkan diri.

Pengemudi mobil sedan merah itupun keluar dari dalam mobilnya, menghadapi para warga yang rusuh minta pertanggungjawaban.

Dialah Nadir, pria berusia 25 tahun, pemilik perusahaan terbesar di kotanya. Dia baru saja pulang dari kantornya setelah selesai meeting dengan rekan kerjanya.

Matanya tertekun setelah melihat bagaimana keadaan gadis yang ditabraknya. Wajah nyaris tidak bisa dikenali lagi, penuh darah sekujur tubuhnya. Bahkan sekalipun tetangga dekat rumahnya ada di salah satu warga, juga tidak dapat mengenalinya.

"Tenang!" pinta Nadir menenangkan suara gaduh para warga.

"Saya akan bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak disengaja ini," cetusnya.

"Mari bawa dia masuk ke dalam mobil saya!" perintahnya berusaha tetap tenang di sela hati panik. Karena keadaan gadis itu begitu tragis. "Saya akan membawanya ke rumah sakit."

Sebagian pria mengangkat tubuh mungil Melissa, dibawa masuk ke dalam mobil. Di sana Melissa dibaringkan di jok tengah. Langsung Nadir melajukan mobil pergi ke rumah sakit.

Tiba di rumah sakit, Melissa dibaringkan ke atas brankar, didorong melewati koridor luas rumah sakit. Seorang dokter ditugaskan menanganinya. Sementara Nadir disuruh menunggu di luar ruangan.

"Semoga dia tidak kenapa-napa!" ujarnya berjalan mondar-mandir di luar ruangan. Sesekali dia duduk, tetapi perasaan kurang tenang membuatnya bangkit berdiri panik dengan keadaan gadis itu.

Ponselnya berdering mengejutkannya yang tengah dirundung rasa panik.

"Hallo, Erik."

"Kak, kenapa belum pulang juga? Kak Nadir tidak kenapa-napa 'kan?" tanya adiknya telah lama menunggu kakaknya pulang tidak kunjung datang ke rumah.

"Erik, tolong kasih tau Ibu sama Vallen, malam ini aku tidak akan pulang ke rumah. Aku baru saja menabrak seseorang. Dan aku harus bertanggung jawab," jelas Nadir cepat.

"Apa!" Suara Erik terdengar begitu terkejut, telinga Nadir yang dekat dengan speaker ponsel bergidik kaget. "Terus bagaimana keadaannya?"

"Masih belum tau. Dokter sedang menanganinya," jawab Nadir menghela nafas panjang. Benar-benar, ia tidak bisa tenang.

"Semoga dia tidak kenapa-napa!"

"Semoga begitu," sahut Nadir ragu.

Sesaat kemudian, panggilan diputuskan secara sepihak. Nadir meletakkan ponselnya ke dalam saku celana. Dia kembali duduk di kursi luar ruangan sambil menunggu dokter keluar menyampaikan keadaan gadis itu.

Melihat bagaimana keadaan gadis itu, tidak mungkin tidak kenapa-napa. Sekujur tubuhnya mandi darah, saat Nadir menggendongnya, detakan jantungnya terasa berdetak lemah.

Tiga jam berlalu … kepala Nadir mulai terasa sakit. Di jam 02.30 ini, seharusnya ia tengah menikmati mimpi indahnya. Bukan berada di rumah sakit.

Sesaat kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan. Nadir langsung bangkit dari duduk, dan melemparkan pertanyaan mengenai keadaan sang gadis.

"Bagaimana keadannya?" tanya Nadir dengan suasana hati was-was.

"Untuk saat ini dia koma. Dan satu hal yang perlu saya sampaikan. Luka di kedua kakinya sangatlah parah. Kami para Dokter terpaksa harus amputasi kedua kakinya demi keselamatan," jelas dokter mencengangkan Nadir.

"Jadi … dia buntung?" usul Nadir amat terkejut.

"Iya, dia buntung," jawab dokter berat mengatakannya.

"Ya Tuhan?!" Nadir seketika menekan dada. Kabar itu sangatlah mengejutkan. Nyaris ia jantungan. "Apa yang sudah aku lakukan? Aku telah membuat seorang wanita sempurna cacat," gerutunya menyalahkan diri.

"Kalau Pak Nadir ingin melihat keadaannya, silakan masuk ke dalam!" perintah dokter beranjak dari tempat itu.

Setelah dokter berlalu, Nadir masuk ke dalam ruang rawat Melissa. Dia menatap sedih mimik wajah gadis itu yang tampak sedang sedih juga, meskipun dia belum tau bagaimana keadaannya saat ini.

"Maafin aku! Aku berjanji akan bertanggung jawab dengan keadaanmu!" ucap Nadir terus memperhatikan wajah gadis terbaring tidak sadarkan diri di atas brankar itu.

Satu minggu kemudian.

Ini sudah hari ketujuh Nadir bolak balik ke rumah sakit, tetapi keadaan gadis itu belum sadar dari komanya.

Kabar mengenai gadis itu belum sampai ke pihak keluarga. Nadir tidak mengenalnya. Nadir telah menghubungi polisi, tetapi para polisi tidak mendapatkan tanda pengenal ataupun informasi mengenai keluarganya. Seolah gadis itu yatim piatu, tidak ada yang mencarinya.

"Cepatlah sadar! Aku di sini mencemaskan keadaanmu!" ujar Nadir menatap sedih raut wajah sang gadis yang keningnya dibalut perban, dan luka lebam di kedua belah pipinya.

Dutt! Dutt! Dutt! Ponsel Nadir berdering. Tertera nama seseorang di layar ponselnya. Panggilan berasal dari asistennya di kantor.

Nadir disuruh segera berangkat ke kantor, ada meeting yang harus dilaksanakan pada siang ini. Awalnya Nadir menolak karena ingin menjaga gadis yang ia tabrak satu minggu lalu, ia menugaskan asistennya menjalankan meeting tanpa dirinya, tetapi mengingat asistennya itu kurang pengalaman, Nadir akhirnya bersedia datang ke kantor mengikuti meeting.

Sebelum benar-benar meninggalnya, Nadir ke ruangan dokter. "Dokter, tolong jaga dia dengan baik! Bila ada perubahan mengenai keadaannya, hubungi saja saya!" perintah Nadir.

"Baik, Pak."

Nadir melenggang pergi dari rumah sakit. Dengan kecepatan maksimum, ia mengemudikan mobilnya pergi ke kantor.

Beberapa menit setelah Nadir pergi, jari jemari Melissa bergerak. Dengan susah payah, kedua kelopak matanya terbuka perlahan. Pandangan mata langsung tertuju pada plafon putih dengan lampu gantung cantik di atas kepalanya.

"Aku dimana?" tanyanya sambil mengurut kepalanya yang terasa sakit. "Mengapa aku tidak merasakan kakiku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status