Aku langsung menoleh, saat pintu terbuka, seorang pria muda masuk, kenapa tak seperti yang Jenny ceritakan padaku. Jenny mengatakan kalau yang membeliku adalah seorang pria berumur, tapi pria muda ini.
"Anda siapa?" tanyaku ragu."Aku ... aku Kenzi," jawab pria muda, yang mengaku bernama Kenzi tersebut."Apa Tuan orang yang akan saya layani?" tanyaku memastikan."Iy .. iya," jawabnya terbata. Pria itu terlihat gugup, sesekali dia memegang tengkuk nya.Melihat bahwa ternyata seorang pria tampan yang akan melewatkan malam denganku, dan memgambil kesucianku, harusnya aku senang bukan? tapi entah mengapa nyaliku malah dibuat ciut jadinya.Aku lebih siap berhadapan dengan pria dewasa, seperti yang ada dalam bayanganku.Tapi, masa bodohlah. Siapapun itu tak perlu aku pedulikan. Yang terpenting tugasku malam ini selesai, demi baju baru, perhiasan, ponsel terbaru serta uang yang sudah Mami Erna janjikan padaku. Aku berjalan mendekati, pria muda yang bahkan belum beranjak dari depan pintu."Kamu, mau apa?" Pria itu melangkah mundur sampai tersudut di pintu.Pria ini membuatku bingung, tak pernah ada adegan dalam film yang kulihat, dimana seorang pria ketakutan melihat gadisnya. Tapi dia, kugaruk kepalaku yang tak gatal, mencoba mengingat apa ada yang telah aku lewatkan.Aku menggeleng pelan, tak ada adegan seperti ini di film manapun, kalau sebaliknya ada. Ah, sudahlah pratekkan saja sesuai yang aku tau. Kembali berjalan mendekat, tanganku berusaha mengapainya, tapi dia menepisku."Apa ada yang salah Tuan?" tanyaku bingung, kenapa dia menolakku. Dan malah terlihat gugup seperti itu."Tuan benar-benar orang yang memesanku kan?" tanyaku lagi. Pria itu mengangguk. "Lalu?""Maaf, aku gugup," jawabnya.Kupindai wajahnya, kemudian turun ke badan tegapnya. Sangat sempurna. Belum apa-apa nampak keringat membasahi keningnya."Tuan baik-baik saja?" tanyaku kemudian. Dia mengangguk pelan. "Lalu, apa saya kurang cantik, tidak sesuai harapan Tuan?""Bukan, bukan begitu, kamu cantik," jawabnya."Lalu?" tanyaku padanya, aku kembali melangkah mendekatinya, merapatkan tubuhku padanya, walau terasa aneh, ini untuk pertama kalinya, tapi pekerjaan ini harus diselesaikan agar bisa kudapatkan apa yang aku inginkan.Aku mengeluarkan segala jurus yang telah diajarkan, tapi yang ada pria bernama Kenzi itu malah semakin tegang ketakutan."Kenapa Tuan mempersulit tugas saya," ucapku padanya. Aku habis akal, kubenturkan kepalaku ke pintu di belakangnya, kesal."Kalau Tuan tak mau menikmati saya, kenapa Tuan ada disini," ucapku kesal. Semua di luar bayanganku, aku mengira tidak perlu perjuangan seperti ini dalam pekerjaanku. Setiap film yang aku saksikan, tokoh pria yang lebih banyak menyerang. Tapi, sekarang lihat apa yang pria ini lakukan. Aku sentuh saja dia malah ketakutan."Beri aku waktu sebentar," ucapnya kemudian. Aku mengangguk pelan, lalu berjalan kearah ranjang. Kuhempas pelan pantatku, duduk di tepian. Mataku masih terus memindai pria muda yang sekarang berjalan mendekat, lalu duduk di sampingku.Cukup lama kami berdiam, aku mulai bosan. Tak terlihat kemajuan, aku yang harus mengambil tindakan. Aku meraih tangannya memaksanya memegangku. Dia tak menolaknya, bagus. Kembali kuteruskan lebih jauh, walau masih dingin tapi tak ada penolakan seperti tadi.Aku sudah mulai memanas, kurasa dia mulai mengimbangi permainanku, tapi ternyata aku salah, dia mendorongku pelan. Bangun dan duduk di tepian ranjang. Kupukul bantal kesal, apa maunya sebenarnya."Maaf aku tak bisa?" ucapnya membuatku bingung."Maksud Tuan?""Aku, tak menyukai perempuan, aku tak suka dengan perempuan," tegasnya lagi. Diremas kasar rambut itu, tampak sekali dia begitu stress dengan kondisi ini.Tidak suka perempuan, lalu untuk untuk apa dia membayarku mahal-mahal."Kamu tau, aku sama sekali tak terangsang melihatmu, sama sekali tak ada hasrat untuk menyentuhmu, aku akui kamu sangat cantik. Tapi, aku tak bisa melakukannya," jelasnya padaku."Papa, meminta asistennya untuk memesan seorang gadis untukku, dengan harapan aku bisa sembuh dari penyakitku," lanjutnya."Memangnya kamu sakit apa?" tanyaku kemudian. Tak memanggilnya dengan sebutan Tuan lagi."A ... aku gay," jawabnya."Gay, apa itu?" Pria muda itu menoleh kearahku."Kamu tak tau, gay?" tanyanya balik. Aku mengeleng."Aku menyukai sesama pria.""Hahh," seruku kaget. Aku tak habis pikir, pria suka pria, apa lagi ini."Su ... suka pria?" ulangku. Kenzi mengangguk.Dia mulai menceritakan, tentang jati dirinya. Anak kedua dari tiga bersaudara, dan dia anak lelaki satu-satunya. Keluarga pengusaha, aku tak paham dengan istilah yang dia gunakan. Karena salah pergaulan, berawal dari pengaruh sepupunya, yang sering mengajaknya k
Aku bangun dari dudukku, dan mulai memutari kamar, sial tak ada satupun benda tajam yang bisa digunakan. Kubuka pintu kamar mandi, sama saja."Kamu cari apa?" tanyanya ikut berdiri, pemuda itu terlihat bingung."Sesuatu yang tajam, buat nyayat biar keluar darah," jelasku padanya."Yah, ketauanlah kalau lihat ada yang luka. Pasti papa meminta untuk mengecek semuanya," ucap Kenzi"Lalu?" tanyaku, Kenzi mengangkat pundaknya.Kami kembali duduk, bersisian di tepian ranjang, mencoba mencari kembali ide, bagaimana untuk mendapatkan darah tanpa terlihat luka. Aku menemukan ide kembali saat memainkan bibirku, kutoleh pria muda di sampingku dengan senyum menyeringai.Kenzi mengerutkan kening dan menyipitkan matanya melihat senyum anehku. Aku mulai merapat dan mendekatkan wajahku padanya, dia mencondongkan tubuhnya ke belakang. Kutangkup wajah itu dengan kedua tanganku, kutaut bibir itu."Auchh, gadis gila apa yang kamu lakukan?" Kenzi mendorongku, memegangi bibirnya."Cepetan," ucapku menunjuk
"Diamlah jangan bawel," ucapku. Dia merentangkan tangannya, kuberikan sebuah tanda merah di dadanya. Kembali kancing kutautkan setelahnya, senyum tipis menghias bibirku.Kami berdiri berhadapan, kenapa ada rasa sedih saat akan melepasnya. Rasa apa ini, aku sendiri tak memahaminya. Kupaksanan senyumku, walau ada yang perih dalam hatiku. Tapi kenapa ada sakit menyapa dada ini."Jaga diri ya," ucapnya. Kedua tanganya menyentuh bahuku, aku mengangguk pelan. Apa yang harus kujaga, aku menertawakan diriku sendiri."Jaga rahasia kita," ucapnya lagi. Kembali aku hanya sangup mengangguk."Apakah kita akan bertemu kembali suatu hari nanti?" tanyaku padanya."Entahlah, terima kasih untuk malam yang begitu mengesankankan, kita tim yang hebat." Pria itu tersenyum lebar."Terima kasih sudah mendengar kisahku," ucapku lagi.Pria itu mengangguk, mengusap rambutku pelan, berbalik badan berjalan kepintu."Selamat tinggal, terima kasih untuk semuanya," ucapnya menoleh kearahku, sesaat kemudian membuka p
Zanna, bersiaplah sayang. Bersahabatlah dengan takdirmu nikmati surga duniamu. Dengan begitu kau tak akan terluka, menikmati semua dengan ikhlas, tanpa rasa terpaksa.Pandanganku lepas keluar jendela mobil, jalanan sore ini nampak padat, mobil yang Pak Rahman kemudikan beberapa kali melambat dan berhenti. Ingin rasanya waktu berhenti juga dan aku tak harus kembali ke tempat itu lagi. Ah, kenapa rasa itu hadir lagi, rasa enggan. Zanna, apa yang kau risaukan sayang? Kehormatan? Sejak kapan orang miskin punya kehormatan. Siapa dirimu harus memikirkan kehormatan, yang perlu kau pikirkan bagaimana hari ini bisa makan, keluargamu punya tempat tinggal.Aku tersenyum getir bahkan diriku sendiri saja seolah telah hilang harapan. Sedikitpun tak kudapati sebuah sinar, yang bisa memberi petunjuk jalan agar lepas dari semua hal ini. Bahkan mimpi indah pun enggan menyapaku. Aku tak memiliki mimpi apapun sekarang.Kemarin anak terbuang ini masih bermimpi tentang banyak uang dan hidup senang. Tapi,
Yang pasti dia akan puas karena mendapatkan keperawananku, tapi apa ada jaminan dia tak mengatakan hal ini pada Mami Erna. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.Aku berjalan mondar mandir dalam kamar kecil itu, mencari ide untuk mengatasi masalah ini. Pandanganku tertuju pada pembalut di dalam kantong plastik yang tergantung di balik pintu. Kuambil dua buah dan memasukkan kedalam tas. Aku mengaku saja baru dapat haid setelah berhubungan dengan pria itu. Pasti darahnya sama saja bukan.Sepasang pakaian dalam juga aku masukkan dalam tas, bergegas aku keluar kamar dan kembali ke ruang Mami Erna sebelum dia memarahiku karena lama menunggu.Pria itu membukakan pintu, saat aku mengetuknya."Kak, langsung aku bawa, ya. Besok aku kembalikan," ucap pria itu menoleh ke dalam ruangan."Iya, sudah sana. Sehari saja, tak kau kembalikan Kakak suruh Jenny kesana," balas Mami Erni dari dalam ruangan.Pria itu tertawa terkekeh.Tangannya langsung menarikku, setelah menutup pintu ruang kerja Ma
"Kamu suka?" Bisiknya disela tautannya. Nafasnya mulai memburu, senyum terulas saat menyadari aku telah ikut tengelam dalam permainan kotor ini. Berlahan aku mulai membalasnya, bekal teori yang telah aku dapatkan mulai aku praktekkan. "Wauw, mulai nakal rupanya," ucapnya. Senyum tipis kuulas. Aku sudah pasrah, apa yang terjadi, terjadilah. Untuk apa bertahan, jelas-jelas aku sudah hina dan hitam.Suara dan getaran panggilan di ponselnya mengalihkan fokus kami. Terlihat kesal saat panggilan itu tak berhenti juga."Sial," umpatnya, kemudian mengangkat panggilan tersebut."Iya, honey," jawabnya dengan memaksa agar terdengar manis."Di depan?" Suaranya terdengar kanget."I ... iya aku bukain. Sebentar aku kebelet, sabar ya." ucap pria itu. Menutup pangilan dan membanting ponselnya di atas ranjang. Dia kemudian melihat kearahku. Wajahnya terlihat memerah. Dia merapikan baju dan rambutnya. Akupun juga merapikan pakaianku."Kamu sembunyi dulu, di kamar depan," perintahnya. Aku menyahut tas
"Maaf, aku sedang haid," ucapku setelah mendorongnya pelan. Mata pria itu menyipit seolah memastikan apa yang baru saja didengarnya."Maksudmu?""Aku datang bulan, sekarang," jawabku memberi penjelasan."Kau sedang tidak berbohong?" Pria itu sedikit memiringkan kepalanya, sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan."Untuk apa aku berbohong, lihat sendiri saja kalau tak percaya," balasku lagi kemudian.Kening kami masih beradu, desah nafas hangatnya masih terasa olehku. Aku akui, dia memiliki paras dan tubuh yang sempurna sebagai laki-laki. Pantas saja, para wanita menginginkannya. Sangat mabusiawi aku sebagai seorang perempuan juga merasakan ketertarikan seperti yang lainnya."Aku lapar, ayo pulang," ucapku lagi. Dia masih tetap memeluk tubuhku."Kau berhutang padaku." "Bukan salahku," jawabku membela diri."Aku tak peduli, ingat kamu berhutang padaku untuk satu malam," ucapnya lagiBibirnya kembali menautku, aku hanya membiarkan tak menolak tak juga membalasnya."Aku g
Dia sengaja tak menyapaku, pura-pura tak mengenalku. Kenapa ada perih dalam hatiku. Apa juga alasanku, untuk sakit hati. Ah rasa ini kenapa menyesakkan hati, ada apa ini?Aku menatap wajahku di cermin yang terpasang di dalam toilet, semua wanita pasti ingin terlahir dengan kecantikan alami, aku memilikinya. Namun, kecantikan ini pula yang akhirnya membawaku ke lembah hitam, dunia pelacu*an. Haruskah aku syukuri, atau sebaliknya aku sesali anugerah kecantikan dan tubuh indah ini. Ah, tak ada gunanya mendebat takdir, bersahabat dengannya akan lebih baik untukku. Aku mengambil bedak dari tasku, menyapukan tipis ke wajahku, lipstik berwarna lembut kuoleskan di bibir. Menyisir rambut dengan tanganku dan merapikan pakaianku.Langkahku terhenti di depan toilet, pria muda itu berdiri di sana. Senyumnya terulas saat melihatku, dia tak melupakanku. Aku mengigit bibirku, ada rasa lega dan bahagia menyeruak, tapi kenapa dadaku sesak. Sepertinya hati ini terharu, melihat pria muda itu tersenyum,