Share

P 200 J Bab 6

Zanna, bersiaplah sayang. Bersahabatlah dengan takdirmu nikmati surga duniamu. Dengan begitu kau tak akan terluka, menikmati semua dengan ikhlas, tanpa rasa terpaksa.

Pandanganku lepas keluar jendela mobil, jalanan sore ini nampak padat, mobil yang Pak Rahman kemudikan beberapa kali melambat dan berhenti. Ingin rasanya waktu berhenti juga dan aku tak harus kembali ke tempat itu lagi. Ah, kenapa rasa itu hadir lagi, rasa enggan.

Zanna, apa yang kau risaukan sayang? Kehormatan? Sejak kapan orang miskin punya kehormatan. Siapa dirimu harus memikirkan kehormatan, yang perlu kau pikirkan bagaimana hari ini bisa makan, keluargamu punya tempat tinggal.

Aku tersenyum getir bahkan diriku sendiri saja seolah telah hilang harapan. Sedikitpun tak kudapati sebuah sinar, yang bisa memberi petunjuk jalan agar lepas dari semua hal ini. Bahkan mimpi indah pun enggan menyapaku. Aku tak memiliki mimpi apapun sekarang.

Kemarin anak terbuang ini masih bermimpi tentang banyak uang dan hidup senang. Tapi, tidak untuk sekarang, semua yang kudapatkan sedikitpun tak membuat hati ini bahagia. Rasanya justru semakin sakit, kala Mama Ella melepasku dengan airmata.

Wanita itu sudah tak setangguh dulu, yang mampu bekerja dari pagi hingga petang, dari buruh cuci setrika, tukang pijat, hingga pekerjaan serabutan lainnya. Usia telah mengikis tenanga yang dimilikinya.

Kedua anaknya juga tak bisa banyak membantunya. Kakakku Ridwan, selepas kecelakaan dua tahun lalu, kondisinya tidak kunjung membaik, aku tak tau kenapa, padahal sudah operasi beberapa kali. Tapi cidera di kepalanya cukup parah katanya.

Sedangkan Kak Mutia, suaminya pergi meninggalkannya begitu saja, dengan sepasang anak kembar yang masih kecil. Miris sekali rasanya, kenapa nasib baik tak maunsekalipun menyapa. Mereka orang baik, mereka memperlakukan diriku seperti keluarga yang sebenarnya, sebagai anak sebagai adik.

Hanya untuk itu, sedikit asa yang tersisa dalam diriku. Memberikan senyuman pada dua keponakanku, teringat betapa senangnya mereka saat kubawakan banyak mainan waktu itu. Baju baru, susu dan banyak makanan. Dadaku sesak sekali, apa yang sekarang aku rasakan, aku tak memahami.

"Neng Zanna, kenapa?" tanya Pak Rahman lagi, mungkin dia mendengar isakku. Aku tak pernah menangis selama ini, aku terima semua yang sudah menjadi takdirku. Tapi entah mengapa setelah malam itu, rasanya lain. Aku tak tau ...

"Nggak papa Pak, masih rindu saja sama keluarga, kan dah berapa bulan nggak ketemu, ketemu cuma sebentar," jawabku.

"Dari dalam hati Bapak, tidak tega rasanya melihat Neng Zanna, tapi kita hanya orang miskin, tidak bersekolah tinggi, tidak tahu mesti gimana lagi," ucap Pak Rahman.

Aku tertawa hambar.

"Ya begitulah Pak, jangankan sekolah, buat makan aja kagak ada, bisa sekolah sampai SMP saja karena sekolahnya gratis."

"Neng yang sabar, Bapak cuma bisa mendoakan, Bapak juga bekerja di sana karena hutang budi dan hutang uang, kalau tidak lebih baik kerja lain, hati tenang," cerita Pak Rahman.

Kami memiliki kisah pedih masing-masing, dan aku anak terbuang ini sedang memulai kisah baru, babak baru dalam hidupku. Tak ada lagi mimpi, semua akan kujalani, mengikuti alur hidup, karena keadaan memaksaku memilih jalan ini.

Tak ada jaminan aku kan baik-baik saja, bila kumemilih lari. Dunia luar tak kalah kejamnya, setidaknya itu yang sering aku dengar. Apalagi dengan kelebihan fisik dan rupa yang aku miliki, bisa jadi bukan menjadi keberuntunganku tapi nasib malangku.

Apa bedanya dengan yang kujalani sekarang, permasalahan orang miskin semua sama, uang. Disini aku lebih mudah mendapatkannya, pelanggan Mami Erna juga bukan orang sembarangan. Paling tidak aku akan melayani pria-pria bersih dari kalangan atas.

Ingatanku kembali pada pria muda itu, ada rasa geli dan sedih mengingatnya. Apa kabar dengannya, apa dia masih mengingatku. Ah, mana mungkin dia mengingatku, dan untuk apa juga mengingat diriku. Aku tersenyum kemudian menertawakan perasaanku sendiri.

Setelah cukup lama, karena jalanan macet sore tadi sampai juga di gerbang neraka. Bukan, bukan pintu surga, karena di sana akan kudapatkan surga duniaku. Mobil masuk ke garasi belakang rumah besar itu.

Aku hanya membawa sebuah koper kecil berisi baju dan segala perlengkapan. Menariknya pelan, berjalan mengekor Pak Rahman yang membawaku ke ruang kerja Mami Erna. Pria bertubuh jangkung itu mengetuk pelan, terdengar suara yang menyuruh kami untuk masuk.

Pak Rahman hanya membukakan pintu untukku kemudian pamit. Aku melangkah pelan, selain Mami Erna ada seorang pria yang duduk di depannya. Matanya memindaiku dari atas kebawah.

"Ini, yang yang Kak Er maksud barang baru, premium ini," ucap pria itu pada Mami Erna, tanpa melepas pandangannya dariku.

"Iya, baru lepas segel minggu kemarin," jawab Mami Erna. "Sana, hubungi relasi kamu yang royal, mumpung masih anget."

"Hahaha, gampanglah itu Kak." Pria itu berdiri dan berjalan ke arahku. Tangannya memegang daguku, matanya liar memindaiku.

"Aku bawa dulu lah semalam," ucap pria itu kemudian kembali duduk. Mami Erna terdiam terlihat memikirkan sesuatu.

"Kalau belum aku nyoba sendiri, mana bisa promo hahahha," ucap pria itu lagi.

"Huh, modus aja kamu kalau ada barang baru," balas Mami Erna. Pria itu terkekeh.

"Malam ini, kamu layani Bara, dia adikku, beruntung lagi kamu dapat laki-laki tampan," ucap Mami Erna padaku. Aku hanya mengangguk pelan.

"Taruk barangmu sana, lalu kesini lagi," suruh Mami Erna padaku. Aku kembali mengangguk dan kemudian beranjak keluar. Sebuah kamar di bangunan belakang menjadi tempat untukku beristirahat selama ini. Sebuah ranjang kecil, lemari dan meja rias serta nakas.

Adik Mami Erna? Ah, bagaiman ini. Aku masih perawan, kalau dia menggauliku dan mendapati diriku masih perawan, apa yang akan terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status