Yang pasti dia akan puas karena mendapatkan keperawananku, tapi apa ada jaminan dia tak mengatakan hal ini pada Mami Erna. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.
Aku berjalan mondar mandir dalam kamar kecil itu, mencari ide untuk mengatasi masalah ini. Pandanganku tertuju pada pembalut di dalam kantong plastik yang tergantung di balik pintu. Kuambil dua buah dan memasukkan kedalam tas. Aku mengaku saja baru dapat haid setelah berhubungan dengan pria itu. Pasti darahnya sama saja bukan.Sepasang pakaian dalam juga aku masukkan dalam tas, bergegas aku keluar kamar dan kembali ke ruang Mami Erna sebelum dia memarahiku karena lama menunggu.Pria itu membukakan pintu, saat aku mengetuknya."Kak, langsung aku bawa, ya. Besok aku kembalikan," ucap pria itu menoleh ke dalam ruangan."Iya, sudah sana. Sehari saja, tak kau kembalikan Kakak suruh Jenny kesana," balas Mami Erni dari dalam ruangan.Pria itu tertawa terkekeh.Tangannya langsung menarikku, setelah menutup pintu ruang kerja Mami Erna."Tanganmu dingin sekali?" tanyanya padaku."I ... iya," jawabku sambil menunduk.Dia membawaku masuk ke dalam sebuah mobil berwarna hitam. Badanku rasanya dingin sekali, aku takut. Iya, aku benar-benar ketakutan. Detak jantungku berdegup semakin kencang, seiring laju mobil yang terasa dipacu kencang."Kenapa? kamu takut?" tanyanya melihatku terdiam. Aku tak menjawabnya."Kamu tau, semua gadis Kak Erna, ingin tidur lagi denganku. Kamu beruntung malam ini, aku akan memberimu sebuah malam yang mengesankan," ucap Pria itu, tangannya mengusap pahaku, tanpa mampu kuhindari."Aku akan mencarikan pelanggan yang royal, yang bisa memberimu banyak uang. Tenang saja sayang," ucapnya lagi, tangannya naik, membelai pipiku."Terima kasih," ucapku."Yang penting, malam ini kita bersenang-senang, percayalah kamu tak akan pernah bisa melupakan malam ini."Pria itu membawaku ke apartemennya, sebuah apartemen dengan dua kamar. Dia langsung menarik ke kamar setelah ku melepas sepatu. Terasa sekali pria ini sudah tak sabar ingin menikmati tubuhku. Aku meletakkan tasku di atas nakas samping ranjang saat tanganya menelusup memelukku dari belakang. Ada penolakan, tubuhku menerima sentuhanya tapi hatiku tidak."Hmm, kamu masih malu-malu, aku semakin suka. Wanita yang bermain denganku semua terlalu agresif, kamu berbeda sayang. Jiwa lelakiku semakin tertantang," ucapnya. Bibirnya mengecup tengkukku, membuatku meremang. Tangannya sudah bergerak liar. Badanku bergetar, aku ketakutan."Malam ini akan menjadi malam yang berkesan, percalah padaku," ucapnya lagi. Desah nafasnya mulai berat, saat bibir itu menyusuri pipiku. Aku mengigit bibirku kuat, mencoba berdamai dengan hatiku yang terus bergejolak.Pria itu membalik badanku, hingga kami berhadapan. Dia bisa melihat wajah tegang dan takutku, matanya sedikit menyipit saat melihatku."Bukankah kamu sudah pernah melayani pria lain, kenapa tegang, dan ketakutan sekarang?" tanyanya dengan tatapan curiga."Maaf, mungkin karena masih baru mulai lagi." Aku menunduk."Hahahaha, aku baru menemukan gadis sepertimu. Apa kakakku lupa tak membekali ilmu cara melayani pelanggan?""Saya sudah belajar," jawabku."Hmm baiklah, aku akan mengajarimu lagi. Profesi kita sama, sama-sama menjual kepuasan, bedanya kamu memuaskan laki-laki sedang aku memuaskan para istri yang haus kasih sayang dan belaian," ucapnya. Apa maksudnya, baru aku akan mencerna ucapnya, pria ini sudah kembali menarikku dalam dekapannya.Dia menciumku liar, membuatku bergerak tak karuan. Bibir itu kemudian menaut bibirku, dia tak memberi kesempatanku bernafas. Tanganya juga tak tinggal diam, menjelajah bebas. Masih adakah keajaiban bagiku, dia pria normal yang ingin memacu hasrat denganku.Sepertinya aku harus menyerah, dan kalah. Kisah kelamku sepertinya akan dimulai dari sekarang, membiarkan tubuh ini dijamah liar.Memulai sebuah cerita pilu, menjadi seorang gadis penghibur, jatuh dari pelukan satu lelaki, ke lelaki lainnya.Berlahan tubuh ini memenuhi kodratnya, meskipun tak menginginkan tetap saja sentuhan intens nya memetik hasratku juga, aku bisa apa, itu sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Sebagai reaksi dari sebuah cumbuan, sadar atau tidak aku juga mulai tengelam. Menolakpun tak ada guna, dan tak ingin lari juga. Ini jalan yang sudah aku pilih, sekarang, besok atau lusa semua sama saja. Aku akan tetap berada di dunia kelam ini."Kamu suka?" Bisiknya disela tautannya. Nafasnya mulai memburu, senyum terulas saat menyadari aku telah ikut tengelam dalam permainan kotor ini. Berlahan aku mulai membalasnya, bekal teori yang telah aku dapatkan mulai aku praktekkan. "Wauw, mulai nakal rupanya," ucapnya. Senyum tipis kuulas. Aku sudah pasrah, apa yang terjadi, terjadilah. Untuk apa bertahan, jelas-jelas aku sudah hina dan hitam.Suara dan getaran panggilan di ponselnya mengalihkan fokus kami. Terlihat kesal saat panggilan itu tak berhenti juga."Sial," umpatnya, kemudian mengangkat panggilan tersebut."Iya, honey," jawabnya dengan memaksa agar terdengar manis."Di depan?" Suaranya terdengar kanget."I ... iya aku bukain. Sebentar aku kebelet, sabar ya." ucap pria itu. Menutup pangilan dan membanting ponselnya di atas ranjang. Dia kemudian melihat kearahku. Wajahnya terlihat memerah. Dia merapikan baju dan rambutnya. Akupun juga merapikan pakaianku."Kamu sembunyi dulu, di kamar depan," perintahnya. Aku menyahut tas
"Maaf, aku sedang haid," ucapku setelah mendorongnya pelan. Mata pria itu menyipit seolah memastikan apa yang baru saja didengarnya."Maksudmu?""Aku datang bulan, sekarang," jawabku memberi penjelasan."Kau sedang tidak berbohong?" Pria itu sedikit memiringkan kepalanya, sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan."Untuk apa aku berbohong, lihat sendiri saja kalau tak percaya," balasku lagi kemudian.Kening kami masih beradu, desah nafas hangatnya masih terasa olehku. Aku akui, dia memiliki paras dan tubuh yang sempurna sebagai laki-laki. Pantas saja, para wanita menginginkannya. Sangat mabusiawi aku sebagai seorang perempuan juga merasakan ketertarikan seperti yang lainnya."Aku lapar, ayo pulang," ucapku lagi. Dia masih tetap memeluk tubuhku."Kau berhutang padaku." "Bukan salahku," jawabku membela diri."Aku tak peduli, ingat kamu berhutang padaku untuk satu malam," ucapnya lagiBibirnya kembali menautku, aku hanya membiarkan tak menolak tak juga membalasnya."Aku g
Dia sengaja tak menyapaku, pura-pura tak mengenalku. Kenapa ada perih dalam hatiku. Apa juga alasanku, untuk sakit hati. Ah rasa ini kenapa menyesakkan hati, ada apa ini?Aku menatap wajahku di cermin yang terpasang di dalam toilet, semua wanita pasti ingin terlahir dengan kecantikan alami, aku memilikinya. Namun, kecantikan ini pula yang akhirnya membawaku ke lembah hitam, dunia pelacu*an. Haruskah aku syukuri, atau sebaliknya aku sesali anugerah kecantikan dan tubuh indah ini. Ah, tak ada gunanya mendebat takdir, bersahabat dengannya akan lebih baik untukku. Aku mengambil bedak dari tasku, menyapukan tipis ke wajahku, lipstik berwarna lembut kuoleskan di bibir. Menyisir rambut dengan tanganku dan merapikan pakaianku.Langkahku terhenti di depan toilet, pria muda itu berdiri di sana. Senyumnya terulas saat melihatku, dia tak melupakanku. Aku mengigit bibirku, ada rasa lega dan bahagia menyeruak, tapi kenapa dadaku sesak. Sepertinya hati ini terharu, melihat pria muda itu tersenyum,
Aku berjalan pelan menuju kamarku, entah mengapa kamarku terpisah sendiri. Anak asuh Mami Erna yang lain ada di sebelah kanan bangunan. Mereka juga bisa bertegur sapa dengan yang lain. Di samping kamarku hanya ada dua kamar, yang di tempati penjaga dan pembantu di sini.Siang itu aku kembali membersihkan diri, kemudian merebahkan badanku di atas ranjang. Bayangan Kenzi tadi siang berdiam dalam benakku. Ah, ada sesuatu yang aku lupakan tapi apa. Sejenak aku mencari apa, oh ... nomor telepon Kenzi, aku melupakannya.Kenzi sudah menyimpan nomor teleponku, akankah dia menelponku. Kenapa aku berharap sekali, pria itu menghubungiku. Tak tau diri sekali diriku ini, siapalah aku ini berharap dia menghubungiku. Ingin tidur, kantuk sepertinya engan menyapapku. Aku pergi saja ke dapur biasanya Mba Mimi dan Mba Marni sedang masak untuk makan malam. Benar saja kedua orang itu tengah sibuk di dapur."Zanna, ngapain main di dapur?" tanya Mba Marni padaku."Mau bantulah Mba, kayak biasanya," jawabku
Tangan itu mengusap lembut punggungku, memberikan sensasi yang berbeda, tautan bibirnya juga kurasa lebih halus dari sebelumnya. Berlahan tapi pasti, aku mulai terhanyut oleh cumbuannya. Kesadaran itu mulai menepi, yang ada hanya nafsu yang menuntut untuk dipuaskan.Tubuhku semakin menghangat, deru nafas berlomba dengan syahdunya lengkuhan hasrat. Aku semakin terbang tinggi, melayang dalam rasa yang tak bisa aku gambarkan. "Kamu milikku," bisiknya.Hasrat sudah terpetik, semua sudah dimulai, dan harus ada penyelesaian dalam permainan ini. Ketika semua yang melekat dalam tubuh ini luruh satu persatu, selaras dengannya luruh juga asa yang masih tersisa. Tak ada keajaiban kembali, yang ada hanya kenyaataan bahwa semua akan berakhir dan berawal pada malam ini.Dalam sekejap, nafsu terkutuk sudah membekapku, menguasai sepenuhnya sadarku. Menjadi gila akan lebih baik, hingga tak ada rasa terpaksa. Rela atau tidak tak penting lagi, jadi aku tak akan menyiksa diri lagi.Ini pertama kalinya,
Mataku terasa berat untuk dibuka, kulihat sekeliling, aku sudah berada di dalam kamar. Sepertinya aku tertidur semalam saat bercerita tentang kelamnya kisahku. Berarti, pria itu yang mengangkatku sampai di sini. Kepalaku masih terasa sakit, menangis semalam sepertinya membuatnya terasa berat.Untuk kesekian kalinya aku terselamatkan, tapi, entah sampai kapan. Apa yang Tuhan rancanakan untukku? Akankah ada hal manis yang bisa kudapatkan. Atau, nasib baik sudah mulai mau menyapaku. Semoga saja begitu, meski aku takut untuk melambungkan sebuah pengharapan.Aku masih takut untuk bermimpi atau pun berharap untuk aku bisa terbebas dari situasi ini. Seperti sebuah hal yang mustahil untukku. Dan lagi aku juga tidak tau apa yang aku bisa lakukan di luar. Apakah hidupku akan menjadi lebih baik, tidak ada jaminan untuk gadis miskin sepertikuAku beranjak pelan, menuju kamar mandi. Mataku terlihat bengkak akibat menangis tadi malam. Kubasuhkan air hangat ke wajah kuyuku. Setidaknya mencuci muka
"Sudahlah, kita lanjutkan nanti. Habiskan sarapanmu, aku mau mandi dulu." Bara meneguk tehnya, kemudian turun dari kursinya. Diraihnya kepalaku dan mengecupnya, sebelum beranjak ke kamar. Roti di tanganku masih tersisa separuh sebenarnya. Tadi, masih bisa kurasakan nikmat, akan tetapi, entah sekarang kenapa berubah menjadi hambar.Aku memaksanya masuk kedalam mulut dan menekannya dengan teh hangat yang tadi Bara buatkan untukku. Apa yang pria itu ucapkan memang benar adanya, mungkin hari ini aku selamat, siapa yang bisa menjamin, esok akan terulang lagi keajaiban ini. Tidak ada jaminan untuk hal itu, semua pasti akan terjadi sesuai dengan yang seharusnya. Semua hanya soal waktu saja.Langkahku gontai, menuju kamar. Terdengar suara air dari arah kamar mandi. Aku mengambil tasku dari atas nakas. Kemudian keluar, menuju kamar satunya yang berada tepat di depan kamar Bara. Melempar tasku ke atas ranjang dan melangkah ke kamar mandi.Air hangat yang mengalir membasahi tubuhku, sedikit mer
"Entahlah, tarifmu masih terlalu mahal hahaha, aku tak tau, hanya ini yang bisa aku lakukan sementara.""Aku akan mengembalikan uangmu," ucapku."Ini bisnis, kamu tak akan mengerti, dan kalau aku tak sangup lagi membayarmu, maafkan aku.""Kenapa kau begitu baik padaku, kenapa kau mau membantuku?" tanyaku, padanya. Mataku tiba-tiba kembali mengembun."Jangan menangis, aku tak suka melihatnya, jangan juga tanya mengapa, aku sendiri tak mengerti, kenapa repot-repot membantumu." Bara mengusap air mataku denga ibu jarinya. Sebuah kecupan dia berikan di keningku."Maaf, aku buru-buru. Sore aku akan menjemputmu." Pria itu menepuk pelan pipiku, dan kembali mengecup keningku. Aku memaksakan senyumku. Sebuah kecupan aku berikan di pipi pria itu, sebelum aku turun.Seperti apapun dia, Bara malaikatku sekarang. Hanya padanya bergantung sedikit asa yang masih tersisa. Dirinya lah tempatku mengadu dan berkeluh kesah, padanya juga aku mulai berani bermanja.Siang ini, pikiranku masih tenang, bayanga