"Maaf, aku sedang haid," ucapku setelah mendorongnya pelan. Mata pria itu menyipit seolah memastikan apa yang baru saja didengarnya."Maksudmu?""Aku datang bulan, sekarang," jawabku memberi penjelasan."Kau sedang tidak berbohong?" Pria itu sedikit memiringkan kepalanya, sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan."Untuk apa aku berbohong, lihat sendiri saja kalau tak percaya," balasku lagi kemudian.Kening kami masih beradu, desah nafas hangatnya masih terasa olehku. Aku akui, dia memiliki paras dan tubuh yang sempurna sebagai laki-laki. Pantas saja, para wanita menginginkannya. Sangat mabusiawi aku sebagai seorang perempuan juga merasakan ketertarikan seperti yang lainnya."Aku lapar, ayo pulang," ucapku lagi. Dia masih tetap memeluk tubuhku."Kau berhutang padaku." "Bukan salahku," jawabku membela diri."Aku tak peduli, ingat kamu berhutang padaku untuk satu malam," ucapnya lagiBibirnya kembali menautku, aku hanya membiarkan tak menolak tak juga membalasnya."Aku g
Dia sengaja tak menyapaku, pura-pura tak mengenalku. Kenapa ada perih dalam hatiku. Apa juga alasanku, untuk sakit hati. Ah rasa ini kenapa menyesakkan hati, ada apa ini?Aku menatap wajahku di cermin yang terpasang di dalam toilet, semua wanita pasti ingin terlahir dengan kecantikan alami, aku memilikinya. Namun, kecantikan ini pula yang akhirnya membawaku ke lembah hitam, dunia pelacu*an. Haruskah aku syukuri, atau sebaliknya aku sesali anugerah kecantikan dan tubuh indah ini. Ah, tak ada gunanya mendebat takdir, bersahabat dengannya akan lebih baik untukku. Aku mengambil bedak dari tasku, menyapukan tipis ke wajahku, lipstik berwarna lembut kuoleskan di bibir. Menyisir rambut dengan tanganku dan merapikan pakaianku.Langkahku terhenti di depan toilet, pria muda itu berdiri di sana. Senyumnya terulas saat melihatku, dia tak melupakanku. Aku mengigit bibirku, ada rasa lega dan bahagia menyeruak, tapi kenapa dadaku sesak. Sepertinya hati ini terharu, melihat pria muda itu tersenyum,
Aku berjalan pelan menuju kamarku, entah mengapa kamarku terpisah sendiri. Anak asuh Mami Erna yang lain ada di sebelah kanan bangunan. Mereka juga bisa bertegur sapa dengan yang lain. Di samping kamarku hanya ada dua kamar, yang di tempati penjaga dan pembantu di sini.Siang itu aku kembali membersihkan diri, kemudian merebahkan badanku di atas ranjang. Bayangan Kenzi tadi siang berdiam dalam benakku. Ah, ada sesuatu yang aku lupakan tapi apa. Sejenak aku mencari apa, oh ... nomor telepon Kenzi, aku melupakannya.Kenzi sudah menyimpan nomor teleponku, akankah dia menelponku. Kenapa aku berharap sekali, pria itu menghubungiku. Tak tau diri sekali diriku ini, siapalah aku ini berharap dia menghubungiku. Ingin tidur, kantuk sepertinya engan menyapapku. Aku pergi saja ke dapur biasanya Mba Mimi dan Mba Marni sedang masak untuk makan malam. Benar saja kedua orang itu tengah sibuk di dapur."Zanna, ngapain main di dapur?" tanya Mba Marni padaku."Mau bantulah Mba, kayak biasanya," jawabku
Tangan itu mengusap lembut punggungku, memberikan sensasi yang berbeda, tautan bibirnya juga kurasa lebih halus dari sebelumnya. Berlahan tapi pasti, aku mulai terhanyut oleh cumbuannya. Kesadaran itu mulai menepi, yang ada hanya nafsu yang menuntut untuk dipuaskan.Tubuhku semakin menghangat, deru nafas berlomba dengan syahdunya lengkuhan hasrat. Aku semakin terbang tinggi, melayang dalam rasa yang tak bisa aku gambarkan. "Kamu milikku," bisiknya.Hasrat sudah terpetik, semua sudah dimulai, dan harus ada penyelesaian dalam permainan ini. Ketika semua yang melekat dalam tubuh ini luruh satu persatu, selaras dengannya luruh juga asa yang masih tersisa. Tak ada keajaiban kembali, yang ada hanya kenyaataan bahwa semua akan berakhir dan berawal pada malam ini.Dalam sekejap, nafsu terkutuk sudah membekapku, menguasai sepenuhnya sadarku. Menjadi gila akan lebih baik, hingga tak ada rasa terpaksa. Rela atau tidak tak penting lagi, jadi aku tak akan menyiksa diri lagi.Ini pertama kalinya,
Mataku terasa berat untuk dibuka, kulihat sekeliling, aku sudah berada di dalam kamar. Sepertinya aku tertidur semalam saat bercerita tentang kelamnya kisahku. Berarti, pria itu yang mengangkatku sampai di sini. Kepalaku masih terasa sakit, menangis semalam sepertinya membuatnya terasa berat.Untuk kesekian kalinya aku terselamatkan, tapi, entah sampai kapan. Apa yang Tuhan rancanakan untukku? Akankah ada hal manis yang bisa kudapatkan. Atau, nasib baik sudah mulai mau menyapaku. Semoga saja begitu, meski aku takut untuk melambungkan sebuah pengharapan.Aku masih takut untuk bermimpi atau pun berharap untuk aku bisa terbebas dari situasi ini. Seperti sebuah hal yang mustahil untukku. Dan lagi aku juga tidak tau apa yang aku bisa lakukan di luar. Apakah hidupku akan menjadi lebih baik, tidak ada jaminan untuk gadis miskin sepertikuAku beranjak pelan, menuju kamar mandi. Mataku terlihat bengkak akibat menangis tadi malam. Kubasuhkan air hangat ke wajah kuyuku. Setidaknya mencuci muka
"Sudahlah, kita lanjutkan nanti. Habiskan sarapanmu, aku mau mandi dulu." Bara meneguk tehnya, kemudian turun dari kursinya. Diraihnya kepalaku dan mengecupnya, sebelum beranjak ke kamar. Roti di tanganku masih tersisa separuh sebenarnya. Tadi, masih bisa kurasakan nikmat, akan tetapi, entah sekarang kenapa berubah menjadi hambar.Aku memaksanya masuk kedalam mulut dan menekannya dengan teh hangat yang tadi Bara buatkan untukku. Apa yang pria itu ucapkan memang benar adanya, mungkin hari ini aku selamat, siapa yang bisa menjamin, esok akan terulang lagi keajaiban ini. Tidak ada jaminan untuk hal itu, semua pasti akan terjadi sesuai dengan yang seharusnya. Semua hanya soal waktu saja.Langkahku gontai, menuju kamar. Terdengar suara air dari arah kamar mandi. Aku mengambil tasku dari atas nakas. Kemudian keluar, menuju kamar satunya yang berada tepat di depan kamar Bara. Melempar tasku ke atas ranjang dan melangkah ke kamar mandi.Air hangat yang mengalir membasahi tubuhku, sedikit mer
"Entahlah, tarifmu masih terlalu mahal hahaha, aku tak tau, hanya ini yang bisa aku lakukan sementara.""Aku akan mengembalikan uangmu," ucapku."Ini bisnis, kamu tak akan mengerti, dan kalau aku tak sangup lagi membayarmu, maafkan aku.""Kenapa kau begitu baik padaku, kenapa kau mau membantuku?" tanyaku, padanya. Mataku tiba-tiba kembali mengembun."Jangan menangis, aku tak suka melihatnya, jangan juga tanya mengapa, aku sendiri tak mengerti, kenapa repot-repot membantumu." Bara mengusap air mataku denga ibu jarinya. Sebuah kecupan dia berikan di keningku."Maaf, aku buru-buru. Sore aku akan menjemputmu." Pria itu menepuk pelan pipiku, dan kembali mengecup keningku. Aku memaksakan senyumku. Sebuah kecupan aku berikan di pipi pria itu, sebelum aku turun.Seperti apapun dia, Bara malaikatku sekarang. Hanya padanya bergantung sedikit asa yang masih tersisa. Dirinya lah tempatku mengadu dan berkeluh kesah, padanya juga aku mulai berani bermanja.Siang ini, pikiranku masih tenang, bayanga
"Kamu benar-benar rela melakukannya?" tanyanya padaku. Aku mengangguk pasti."Maafkan aku," ucapnya lagi."Tak perlu meminta maaf, memang sudah seharusnya seperti ini."Bara membalikkan badanya, akupun mengikutinya, kami duduk bersila dan saling berhadapan."Apa kamu percaya pada sebuah cinta?" tanyanya padaku. Aku mengelengkan kepalaku, aku tak percaya cinta itu ada."Kenapa?" tanyanya lagi."Kalau memang cinta itu ada, aku tak mungkin berada di sini. Aku akan hidup bahagia bersama kedua orang tuaku," jawabku."Kamu benar," ucapnya lagi."Dulu aku tak serapuh ini, sekarang hal kecil saja sangup membuatku menangis," ucapku lagi."Oh ya," ucapnya sambil mengusap air mataku yang tiba-tiba mengalir saat menyebutkan kata orang tua."Dulu aku tak pernah peduli dengan orang lain, tapi dirimu, membuatku berbeda. Aku peduli padamu, aku ingin melindungimu, tapi apa dayaku, aku hanya seorang pecundang. Hanya seorang pria bejat yang tak berani menghadapi dunia."Aku tersenyum dan mengeleng, dia