Share

P 200 J Bab 3

Tidak suka perempuan, lalu untuk untuk apa dia membayarku mahal-mahal.

"Kamu tau, aku sama sekali tak terangsang melihatmu, sama sekali tak ada hasrat untuk menyentuhmu, aku akui kamu sangat cantik. Tapi, aku tak bisa melakukannya," jelasnya padaku.

"Papa, meminta asistennya untuk memesan seorang gadis untukku, dengan harapan aku bisa sembuh dari penyakitku," lanjutnya.

"Memangnya kamu sakit apa?" tanyaku kemudian. Tak memanggilnya dengan sebutan Tuan lagi.

"A ... aku gay," jawabnya.

"Gay, apa itu?" Pria muda itu menoleh kearahku.

"Kamu tak tau, gay?" tanyanya balik. Aku mengeleng.

"Aku menyukai sesama pria."

"Hahh," seruku kaget. Aku tak habis pikir, pria suka pria, apa lagi ini.

"Su ... suka pria?" ulangku. Kenzi mengangguk.

Dia mulai menceritakan, tentang jati dirinya. Anak kedua dari tiga bersaudara, dan dia anak lelaki satu-satunya. Keluarga pengusaha, aku tak paham dengan istilah yang dia gunakan. Karena salah pergaulan, berawal dari pengaruh sepupunya, yang sering mengajaknya ke komunitas penyuka sesama, akhirnya terbawa arus.

Jujur aku yang hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama tak terlalu mengerti dengan apa yang dia ceritakan. Sewaktu sekolah, aku juga tergolong biasa saja. Kudengarkan dengan seksama walau aku tak memahaminya. Inti dari semua ceritanya, bisa kusimpulkan, dia tidak menyukai wanita.

"Kamu sendiri, kenapa sampai di sini?" tanyanya padaku.

Aku mulai menceritakan kisahku, sebagai anak yang lahir tanpa mengenal siapa ayahku, dan ibuku yang tega meninggalkan diriku begitu saja. Semua kuceritakan dengan gamblang, tanpa air mata. Air mataku sudah lama habis, yang ada sekarang hanya keinginan lepas dari kemiskinan, bisa membalas budi pada Mama Ella dan memiliki barang -barang yang aku suka.

"Kamu tegar sekali," ucapnya mendengar ceritaku.

"Bukan tegar, aku sudah mati rasa," jawabku. Kesakitan yang teramat sakitlah, yang membuat jiwaku seakan mati, tak peduli apapun lagi.

"Benarkah kau sama sekali tak tertarik padaku," godaku padanya.

Kembali kurapatkan tubuhku padanya. Kenzi sedikit condong kebelakang memberi jarak diantara tubuhku dengan tubuhnya. Entah aku merasa ini lucu sekali, tapi di satu sisi ada rasa peduli, merasa kasihan pada pemuda ini.

"Aku, juga ingin hidup normal. Tapi ini sulit sekali."

"Apa kamu memiliki pacar pria juga?" Kenapa aku jadi begitu penasaran, hal ini mengundang banyak tanya dalam benakku.

"Baru dekat,"

"Sedekat apa?"

"Ya dekat, kenapa kepo sekali?"

Aku memajukan bibirku, saat nada suaranya sedikit meninggi. Padahal banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya.

"Terus, sekarang kita ngapain?" tanyaku kemudian. Ah, melayang sudah impianku, kenapa dia yang dikirimkan padaku. Jangankan merengut kesucianku, memegangku saja dia tak berhasrat.

Kenzi menoleh kearahku, sesaat netra kami saling menatap. Andai saja aku tak tau kenyataan tentangnya, mungkin akan ada debaran dan gejolak dalam dadaku, ditatap pria setampan dia.

Aku membuang pandanganku, berdecak kesal. Sial ...

"Kenapa?" tanyanya.

"Masih tanya kenapa?" sungutku.

"Iya, harusnya kamu senang, tak ada yang menjamah tubuhmu dengan hina, yang hanya ingin menyesap madumu saja."

"Oh ya, tapi aku sebaliknya, aku tak senang. Mimpiku akan baju mahal, perhiasan, uang dan ponsel baru melayang sudah. Tak ada darah perawan, tak ada bayaran untukku, dipikir mereka aku tak becus melayanimu," ucapku kesal.

"Apakah begitu pentingnya uang bagimu, hingga rela kamu korbankan harga diri dan kesucianmu?"

Mendengar kalimat itu, entah mengapa ada yang seperti menyayat hatiku, sakit.

"Tuan, Anda tak pernah merasahan hidup miskin bukan? tak pernah merasakan hari ini makan besok sampai lusa puasa. Pasti tak pernah, Anda dilahirkan di tengah keluarga kaya raya, sedangkan aku?"

Aku tersenyum getir, kemudian tertawa, menertawakan ketidakberuntunganku dan segala kisah pahitku.

"Maaf, aku tak bermaksud membuatmu bersedih," ucapnya.

Aku tertawa mendengarnya, tapi entah mengapa tiba-tiba ada bulir bening melucur di pipiku. Seumur hidupku, baru kali ini aku bicara dengan hati, dan menceritakan pada seseorang tentang sakit yang kurasakan.

Tak pernah kusesali takdirku, aku percaya apapun yang aku dapatkan pasti memang sudah menjadi garis hidupku. Tapi aku tetaplah manusia biasa, dan hari ini baru kurasakan kesakitan yang selama ini kutahan.

Selama ini aku tak punya teman, tak ada tempatku mencurahkan segala risau dalam hatiku. Aku sendiri, dan ditempa, dipaksa untuk menjadi tegar, menjadi kuat.

"Maafkan aku," ucapnya lagi, "Hai, apa yang kamu lakukan?"

"Kamu yang membuatku menangis, tangung jawab," ucapku sambil melanjutkan mengusap air mataku dengan kemejanya.

"Aku akan mengganti kerugianmu, tenang saja," ucapnya padaku.

Senyumku langsung terbit seketika, tak sulit baginya yang seorang anak pengusaha untuk memberi ganti rugi padaku pastinya.

"Tapi, masalahnya, kalau aku tak berhasil menidurimu, aku dibuang dari keluargaku yang otomatis semua fasilitasku ditarik, dan aku menjadi gembel, lebih miskin dari dirimu."

Senyumku langsung sirna seketika.

"Sekarang bantu aku memikirkan bagaimana caranya agar kita bisa memberikan bukti, kalau aku sudah menidurimu," ucapnya lagi.

"Kita coba lagi, siapa tau kamu sudah mulai tertarik padaku," ucapku padanya.

"Kalaupun aku tertarik padamu, aku tak akan tega melakukan hal itu."

Ucapannya sebenarnya membuatku merasa malu, sebuah tamparan bagiku, yang menghinakan diriku sendiri. Sayangnya, itu hanya pikiran bersih yang hanya terkadang hadir. Selebihnya pikiranku diisi bagaiamana caranya agar aku tak hidup susah lagi.

"Aku ada ide," ucapku padanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status