Aku bangun dari dudukku, dan mulai memutari kamar, sial tak ada satupun benda tajam yang bisa digunakan. Kubuka pintu kamar mandi, sama saja.
"Kamu cari apa?" tanyanya ikut berdiri, pemuda itu terlihat bingung."Sesuatu yang tajam, buat nyayat biar keluar darah," jelasku padanya."Yah, ketauanlah kalau lihat ada yang luka. Pasti papa meminta untuk mengecek semuanya," ucap Kenzi"Lalu?" tanyaku, Kenzi mengangkat pundaknya.Kami kembali duduk, bersisian di tepian ranjang, mencoba mencari kembali ide, bagaimana untuk mendapatkan darah tanpa terlihat luka. Aku menemukan ide kembali saat memainkan bibirku, kutoleh pria muda di sampingku dengan senyum menyeringai.Kenzi mengerutkan kening dan menyipitkan matanya melihat senyum anehku. Aku mulai merapat dan mendekatkan wajahku padanya, dia mencondongkan tubuhnya ke belakang. Kutangkup wajah itu dengan kedua tanganku, kutaut bibir itu."Auchh, gadis gila apa yang kamu lakukan?" Kenzi mendorongku, memegangi bibirnya."Cepetan," ucapku menunjuk sprei, darah segar keluar dari bibirnya, aku baru saja mengigit kuat bibir dalam pria muda itu. Darah segar membasahi bibir dan mulutnya, dia masih bergeming melihat darah di tanganya selepas mengusap bibirnya.Buru-buru aku mendorong tubuhnya ke atas ranjang. Kenzi mulai paham sepertinya, dia mengusapkan bibirnya di atas sprei berwarna putih itu. Kenapa darahnya terus keluar, apa terlalu keras aku mengigitnya tadi.Aku mengambil tissu di atas nakas dan memberikan padanya."Sakit tau," serunya padaku, aku hanya memainkan bibirku."Kan kamu bilang, harus bagian yang nggak kelihatan," alasanku."Kenapa bukan bibirmu sendiri?""Ye, kan aku cuma bantuin.""Kamu kan punya kepentingan juga akan hal ini," ucapnya lagi."Sudah, yang penting kan beres, bawel banget kayak emak-emak," sungutku."Siapa bilang beres?""Pa lagi?" tanyaku.Malu-malu pria muda itu menjelaskan. Dia benar mana ada cuma darah saja, ah kenapa aku tak memikirkannya."Terus gimana?, kamu aja nggak doyan sama aku," ucapku."Ya, aku sendiri.""Ya sudah sana,""Mana bisa kalau kamu di sini, sana masuk kamar mandi," suruhnya padaku."Ihh, ribet amat," ucapku, kemudian beranjak malas masuk ke kamar mandi."Jangan ngintip," teriaknya."Ih, siapa juga," balasku.Lumayan lama aku berdiam di dalam kamar mandi, tak ada ada suara tapi sedikitpun tak berniat mengintipnya. Entahlah apa yang kurasakan sekarang, semua diluar bayanganku, harusnya aku berjibaku memberikan pelayanan terbaikku, menyerahkan keperawananku, pada pria yang sudah membayarku.Setelah beberapa lama, ada teriakan sudah dari luar kamar mandi. Akupun segera keluar, terlihat dia menarik spreai, membuatnya berantakan. Kemudian beranjak kekamar mandi, aku memindai ranjang yang sudah awut-awutan itu. Tersenyum miris, kami dua insan dengan permasalahan berbeda bekerja sama dalam satu misi, penipuan."Bagaiamana?" tanyanya selepas keluar dari kamar mandi, " seperti habis terjadi pertempuran seru bukan?""Pertempuran?" tanyaku bingung."Polos banget sih kamu," ucapnya.Kembali dia menjelaskan dengan bahasa yang dapat kumengerti. Aku tertawa, lucu saja, semoga tak ada yang curiga."Terus kita ngapain?" tanyaku. Aku duduk diatas karpet tebal, bersandar di pingiran ranjang, menarik bantal kemudian mendekapanya.Pria muda itu ikut duduk di sampingku. Sesaat kami hanya diam, hingga kami mulai saling bercerita, dia lebih banyak bercerita, beda denganku, tak ada hal menyenangkan yang bisa aku bagi, tak ada kisah lucu, atau kisah lainnya.Entah mulai jam berapa kami tertidur, mataku mengerjap, pria muda itu masih terlelap, dalam posisi duduk menyandar di ranjang. Begitupun saat aku bangun, aku bersandar di lengannya. Kupindai wajah itu, pria ini sangat tampan. Rambutnya hitam tebal, alis yang indah, hidung mancung, bibir .. ah bibir itu masih terlihat sedikit bengkak karena gigitanku semalam.Kenapa pria sekeren ini harus suka dengan pria juga. Apakah pria yang dekat dengannya juga sekeren ini. Terus, bagaimana cara mereka bercumbu kalau sesama pria. Ah, aku merinding sendiri membayangkannya.Sepertinya sudah mau pagi, aku beranjak kekamar mandi, membersihkan diriku, ada rasa lega dan kecewa, takut, dan bahagia semua menjadi satu. Apa yang terjadi, terjadilah pusing kepalaku memikirkannya. Air hangat kualirkan dari atas kepalaku, bergerak turun.Aku tak tau sekarang dimana, Jenny membawaku ke sebuah rumah yang cukup besar, dan langsung memasukkan aku kekamar ini. Sebelum dia pergi dia hanya mengingatkanku kembali cara melayani pemesanku.Pria itu masih tertidur saat aku keluar dari kamar mandi. Aku jongkok didekatnya, menepuk pipinya pelan. Dia membuka satu matanya, kemudian menguap beberapa kali. Baru melihat ke arahku yang masih jongkok disampingnya."Mandi?" tanyanya memperhatikan rambutku yang setengah basah. Aku mengangguk pelan, kemudian berdiri. Pria itu mengapai tanganku, memintaku menariknya."Badanku sakit semua," keluhnya, kemudian merenggangkan tanganya keatas kepalanya, memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Baru berjalan kemudian ke kamar mandi. Tak berapa lama dia sudah keluar, terlihat segar dan tampan."Ada apa?" tanyanya padaku, saat menyadari kuterus menatapnya. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Dia merapikan dirinya di depan cermin, di sampingku."Ada apa lagi?" tanyanya lagi, saat aku membuka kembali beberapa kancing bajunya."Diamlah jangan bawel," ucapku. Dia merentangkan tangannya, kuberikan sebuah tanda merah di dadanya. Kembali kancing kutautkan setelahnya, senyum tipis menghias bibirku.Kami berdiri berhadapan, kenapa ada rasa sedih saat akan melepasnya. Rasa apa ini, aku sendiri tak memahaminya. Kupaksanan senyumku, walau ada yang perih dalam hatiku. Tapi kenapa ada sakit menyapa dada ini."Jaga diri ya," ucapnya. Kedua tanganya menyentuh bahuku, aku mengangguk pelan. Apa yang harus kujaga, aku menertawakan diriku sendiri."Jaga rahasia kita," ucapnya lagi. Kembali aku hanya sangup mengangguk."Apakah kita akan bertemu kembali suatu hari nanti?" tanyaku padanya."Entahlah, terima kasih untuk malam yang begitu mengesankankan, kita tim yang hebat." Pria itu tersenyum lebar."Terima kasih sudah mendengar kisahku," ucapku lagi.Pria itu mengangguk, mengusap rambutku pelan, berbalik badan berjalan kepintu."Selamat tinggal, terima kasih untuk semuanya," ucapnya menoleh kearahku, sesaat kemudian membuka p
Zanna, bersiaplah sayang. Bersahabatlah dengan takdirmu nikmati surga duniamu. Dengan begitu kau tak akan terluka, menikmati semua dengan ikhlas, tanpa rasa terpaksa.Pandanganku lepas keluar jendela mobil, jalanan sore ini nampak padat, mobil yang Pak Rahman kemudikan beberapa kali melambat dan berhenti. Ingin rasanya waktu berhenti juga dan aku tak harus kembali ke tempat itu lagi. Ah, kenapa rasa itu hadir lagi, rasa enggan. Zanna, apa yang kau risaukan sayang? Kehormatan? Sejak kapan orang miskin punya kehormatan. Siapa dirimu harus memikirkan kehormatan, yang perlu kau pikirkan bagaimana hari ini bisa makan, keluargamu punya tempat tinggal.Aku tersenyum getir bahkan diriku sendiri saja seolah telah hilang harapan. Sedikitpun tak kudapati sebuah sinar, yang bisa memberi petunjuk jalan agar lepas dari semua hal ini. Bahkan mimpi indah pun enggan menyapaku. Aku tak memiliki mimpi apapun sekarang.Kemarin anak terbuang ini masih bermimpi tentang banyak uang dan hidup senang. Tapi,
Yang pasti dia akan puas karena mendapatkan keperawananku, tapi apa ada jaminan dia tak mengatakan hal ini pada Mami Erna. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.Aku berjalan mondar mandir dalam kamar kecil itu, mencari ide untuk mengatasi masalah ini. Pandanganku tertuju pada pembalut di dalam kantong plastik yang tergantung di balik pintu. Kuambil dua buah dan memasukkan kedalam tas. Aku mengaku saja baru dapat haid setelah berhubungan dengan pria itu. Pasti darahnya sama saja bukan.Sepasang pakaian dalam juga aku masukkan dalam tas, bergegas aku keluar kamar dan kembali ke ruang Mami Erna sebelum dia memarahiku karena lama menunggu.Pria itu membukakan pintu, saat aku mengetuknya."Kak, langsung aku bawa, ya. Besok aku kembalikan," ucap pria itu menoleh ke dalam ruangan."Iya, sudah sana. Sehari saja, tak kau kembalikan Kakak suruh Jenny kesana," balas Mami Erni dari dalam ruangan.Pria itu tertawa terkekeh.Tangannya langsung menarikku, setelah menutup pintu ruang kerja Ma
"Kamu suka?" Bisiknya disela tautannya. Nafasnya mulai memburu, senyum terulas saat menyadari aku telah ikut tengelam dalam permainan kotor ini. Berlahan aku mulai membalasnya, bekal teori yang telah aku dapatkan mulai aku praktekkan. "Wauw, mulai nakal rupanya," ucapnya. Senyum tipis kuulas. Aku sudah pasrah, apa yang terjadi, terjadilah. Untuk apa bertahan, jelas-jelas aku sudah hina dan hitam.Suara dan getaran panggilan di ponselnya mengalihkan fokus kami. Terlihat kesal saat panggilan itu tak berhenti juga."Sial," umpatnya, kemudian mengangkat panggilan tersebut."Iya, honey," jawabnya dengan memaksa agar terdengar manis."Di depan?" Suaranya terdengar kanget."I ... iya aku bukain. Sebentar aku kebelet, sabar ya." ucap pria itu. Menutup pangilan dan membanting ponselnya di atas ranjang. Dia kemudian melihat kearahku. Wajahnya terlihat memerah. Dia merapikan baju dan rambutnya. Akupun juga merapikan pakaianku."Kamu sembunyi dulu, di kamar depan," perintahnya. Aku menyahut tas
"Maaf, aku sedang haid," ucapku setelah mendorongnya pelan. Mata pria itu menyipit seolah memastikan apa yang baru saja didengarnya."Maksudmu?""Aku datang bulan, sekarang," jawabku memberi penjelasan."Kau sedang tidak berbohong?" Pria itu sedikit memiringkan kepalanya, sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan."Untuk apa aku berbohong, lihat sendiri saja kalau tak percaya," balasku lagi kemudian.Kening kami masih beradu, desah nafas hangatnya masih terasa olehku. Aku akui, dia memiliki paras dan tubuh yang sempurna sebagai laki-laki. Pantas saja, para wanita menginginkannya. Sangat mabusiawi aku sebagai seorang perempuan juga merasakan ketertarikan seperti yang lainnya."Aku lapar, ayo pulang," ucapku lagi. Dia masih tetap memeluk tubuhku."Kau berhutang padaku." "Bukan salahku," jawabku membela diri."Aku tak peduli, ingat kamu berhutang padaku untuk satu malam," ucapnya lagiBibirnya kembali menautku, aku hanya membiarkan tak menolak tak juga membalasnya."Aku g
Dia sengaja tak menyapaku, pura-pura tak mengenalku. Kenapa ada perih dalam hatiku. Apa juga alasanku, untuk sakit hati. Ah rasa ini kenapa menyesakkan hati, ada apa ini?Aku menatap wajahku di cermin yang terpasang di dalam toilet, semua wanita pasti ingin terlahir dengan kecantikan alami, aku memilikinya. Namun, kecantikan ini pula yang akhirnya membawaku ke lembah hitam, dunia pelacu*an. Haruskah aku syukuri, atau sebaliknya aku sesali anugerah kecantikan dan tubuh indah ini. Ah, tak ada gunanya mendebat takdir, bersahabat dengannya akan lebih baik untukku. Aku mengambil bedak dari tasku, menyapukan tipis ke wajahku, lipstik berwarna lembut kuoleskan di bibir. Menyisir rambut dengan tanganku dan merapikan pakaianku.Langkahku terhenti di depan toilet, pria muda itu berdiri di sana. Senyumnya terulas saat melihatku, dia tak melupakanku. Aku mengigit bibirku, ada rasa lega dan bahagia menyeruak, tapi kenapa dadaku sesak. Sepertinya hati ini terharu, melihat pria muda itu tersenyum,
Aku berjalan pelan menuju kamarku, entah mengapa kamarku terpisah sendiri. Anak asuh Mami Erna yang lain ada di sebelah kanan bangunan. Mereka juga bisa bertegur sapa dengan yang lain. Di samping kamarku hanya ada dua kamar, yang di tempati penjaga dan pembantu di sini.Siang itu aku kembali membersihkan diri, kemudian merebahkan badanku di atas ranjang. Bayangan Kenzi tadi siang berdiam dalam benakku. Ah, ada sesuatu yang aku lupakan tapi apa. Sejenak aku mencari apa, oh ... nomor telepon Kenzi, aku melupakannya.Kenzi sudah menyimpan nomor teleponku, akankah dia menelponku. Kenapa aku berharap sekali, pria itu menghubungiku. Tak tau diri sekali diriku ini, siapalah aku ini berharap dia menghubungiku. Ingin tidur, kantuk sepertinya engan menyapapku. Aku pergi saja ke dapur biasanya Mba Mimi dan Mba Marni sedang masak untuk makan malam. Benar saja kedua orang itu tengah sibuk di dapur."Zanna, ngapain main di dapur?" tanya Mba Marni padaku."Mau bantulah Mba, kayak biasanya," jawabku
Tangan itu mengusap lembut punggungku, memberikan sensasi yang berbeda, tautan bibirnya juga kurasa lebih halus dari sebelumnya. Berlahan tapi pasti, aku mulai terhanyut oleh cumbuannya. Kesadaran itu mulai menepi, yang ada hanya nafsu yang menuntut untuk dipuaskan.Tubuhku semakin menghangat, deru nafas berlomba dengan syahdunya lengkuhan hasrat. Aku semakin terbang tinggi, melayang dalam rasa yang tak bisa aku gambarkan. "Kamu milikku," bisiknya.Hasrat sudah terpetik, semua sudah dimulai, dan harus ada penyelesaian dalam permainan ini. Ketika semua yang melekat dalam tubuh ini luruh satu persatu, selaras dengannya luruh juga asa yang masih tersisa. Tak ada keajaiban kembali, yang ada hanya kenyaataan bahwa semua akan berakhir dan berawal pada malam ini.Dalam sekejap, nafsu terkutuk sudah membekapku, menguasai sepenuhnya sadarku. Menjadi gila akan lebih baik, hingga tak ada rasa terpaksa. Rela atau tidak tak penting lagi, jadi aku tak akan menyiksa diri lagi.Ini pertama kalinya,